Minggu, 18 Agustus 2013

Seni Kerajinan Ukir Jepara

Seni Kerajinan Ukir Jepara
SP. Gustami 2000. Kanisius: yogyakarta.

BAB I
PENGANTAR

Kegiatan pertukangan di Jepara telah dikenal oleh penduduk sejak berabad lampau. Mulai zaman pemerintahan ratu Shima yang merintis jalan bagi  timbulnya kota pelabuhan sehingga memungkinkan adanya kegiatan pertukangan dan perundagian. Pada masa pemerintahan Demak, di Jepara hadir tokoh putrid lainnya yaitu ratu Kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa. Tokoh wanita ini berhasil mengembangkan kegiatan pertukangan dan perundagian menjadi sangat maju, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan rumah para saudagar dan kaum bangsawan, rumah ibadat, galangan kapal, serta pembuatan perabot rumah tangga. Ketika itu, kegiatan pertukangan dan perundagian mendapat perhatian yang sangat besar dari pemerintah kerajaan.
Pada abad ke-19 sampai ke-20 kegiatan pembuatan mebel ukir telah mengalami pertumbuhan yang menggembirakan berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh R.A. Kartini. Melalui pameran-pameran yang digelar disertai publikasi tertulis di media massa, R.A. Kartini berhasil mempopulerkan aktivitas pembuatan mebel ukir di kalangan masyarakat internasional. Efeknya, banyak orang Eropa Barat yang memesan barang-barang berukir dari Jepara, yang lebih lanjut dapat mengangkat nasib para seniman dan perajin mebel ukir ke taraf hidup yang lebih baik.
Pada awal abad ke-19 adalah awal berkembangnya kembali kegiatan pertukangan dan perundagian, khususnya membuat mebel ukir. Pada abad ke-20, terutama pada dua dasawarsa terakhir abad ini, adalah pencapaian puncak kejayaan mebel ukir Jepara sehingga Jepara mendapat pengakuan sebagai sentra industri mebel ukir di Jawa Tengah pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sudah barang tentu banyak variabel yang berpengaruh bagi perkembangannya, antara lain masuknya unsur-unsur gaya seni yang  bercorak Hindu, Cina, Islam, dan Eropa.
Dalam buku ini diungkapkan seluk-beluk seni kerajinan mebel ukir Jepara abad ke-19 sampai ke-20 dengan disertai penelusuran kegiatan pertukangan dan perundagian sebelumnya karena dipandang sebagai suatu proses pembentukan yang tidak dapat diabaikan. Seperti sudah dikemukakan bahwa pada abad ke-16 di Jepara terdapat seorang tokoh wanita yang terkenal, yaitu ratu Kalinyamat. Tokoh wanita ini tidak hanya memperlihatkan kemampuannya di bidang politik dan militer saja, tetapi juga memperlihatkan perhatian yang besar di bidang sosial, ekonomi, seni, budaya, dan agama. Salah satu bukti besarnya perhatian ratu Kalinyamat terhadap seni dapat dilihat melalui hasil yang dicapai dalam mengembangkan bentuk-bentuk ornament seni ukir bernafaskan Islam. Karya seni itu masih dapat disaksikan di masjid dan makam Mantingan, Jepara hingga saat ini.
Sebagai kota pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa, peranan Jepara tampak mulai jelas sejak masuknya pengaruh Arab dan Cina, yang mengantarkan kegiatan industri pertukangan dan perundagian mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16 dan ke-17. Pada waktu itu, industri pertukangan dan perundagian sudah sangat maju, misalnya aktivitas pertukangan di bidang pembangunan rumah, pembangunan galangan kapal, pembuatan mebel, dan perabot rumah tangga, perundagian di bidang seni pahat dan ukir kayu, dan lain sebagainya.
Masuknya pengaruh kebudayaan Eropa Barat di kepulauan Nusantara, didahului dengan aktivitas perdagangan Portugis pada paroh pertama abad ke-16. Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC) berhasil menguasai tempat-tempat yang paling strategis di kawasan Nusantara. Konsentrasi kekuasaan pemerintah Belanda umumnya terdapat di kota-kota penting, seperti kota provinsi, kota kabupaten, dan kota kecamatan. mereka membangun permukiman didukung para tukang dari negeri asal. Hadirnya tukang dari Eropa itu membawa pengaruh masuknya unsur-unsur seni dari negeri mereka ke dalam seni budaya Indonesia. Sejak abad ke-17, peresapan itu mulai berkembang, meskipun pada awalnya sangat terbatas, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Derasnya unsur- unsure seni Eropa yang
dimanfaatkan dalam proses produksi mengakibatkan makin besarnya pengaruh gaya seni Eropa Barat ke dalam seni budaya Indonesia.
            Masa kemerdekaan dan pembangunan yang dimulai sejak tahun 1945 sampai tahun 1980-an, merupakan proses perkembangan menuju terwujudnya periode kejayaan mebel ukir Jepara dalam menggapai prestasi nasional. tahun 1990-an, Jepara mendapat pengakuan umum sebagai sentra industri mebel ukir di Jawa Tengah. Perkembangan lebih lanjut, Jepara makin memantapkan diri sebagai pusat industri mebel ukir pada tingkat nasional dan internasional.

BAB II
KONDISI LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT DAERAH TINGKAT II KABUPATEN JEPARA

Secara geografis Jepara berbatasan di sebelah utara, barat, dan selatan dengan laut Jawa, sebelah timur dengan Demak, Kudus, dan pegunungan Muria kabupaten Pati. Sebagai kota tua, Jepara memiliki sejarah yang panjang. Pada abad ke-7, Jepara diperintah oleh seorang ratu yang arif, bijaksana, keras dan tegas dalam menegakkan disiplin, serta penuh tanggung jawab dalam mengendalikan pemerintahan. Ia bertakhta di kerajaan Kalingga, bergelar ratu Shima. Sebagian besar wilayah kerajaan berupa tanah datar, sebagian lainnya berupa lereng gunung dan bukit-bukit kecil yang ditumbuhi hutan belukar. Pada waktu itu kerajaan Kalingga sudah memiliki pelabuhan, sebagai sarana transportasi laut dari dan ke pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Majapahit, kota Juwana dan Pati termasuk wilayah Sandang Garba, artinya raja kaum pedagang, yang ditafsirkan sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-17, lingkungan kerajaan di Jepara sudah memiliki jalan-jalan protocol sesuai kondisi zamannya. Jalur darat antara Kudus-Jepara-Demak sampai Semarang, sudah dibangun. Seiring dengan kemajuan itu, lingkungan hidup sudah tertata dengan baik, keadaan masyarakat sudah semakin maju.
Dewasa ini Jepara merupakan salah satu Kabupaten Daerah Tingkat II di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kondisi geografis daerah ini tidak seluruhnya datar. Sebagian di  antaranya berupa pegunungan dan sedikit berawa-rawa. Kabupaten Jepara terdiri dari dua belas kecamatan, yaitu: Jepara kota, Tahunan, Pecangakan, Welahan, Batealit, Mlonggo, Bangsri, Keling, Mayong, Nalumsari, Kedung, dan Karimunjawa. Secara astronomis, letak Jepara mengalami sedikit perubahan, yaitu pada posisi 3º 23’ 20” sampai 4º 9’ 35” BT sampai 6º 47’ 44” LS. Luas  daerah Jepara berkisar 1004, 13 kilometer persegi, dengan ketinggian 0 sampai 1301 meter di atas permukaan laut.
Di lihat dari keadaan hidrologis, wilayah Dati II Kabupaten Jepara bagian timur merupakan lereng barat Gunung Muria. Dari kaki pegunungan ini mengalir beberapa sungai  besar dan kecil, yang sangat mendukung usaha pertanian dan berpengaruh besar pada kesejahteraan sosial ekonomi dan kehidupan masyarakat. Luas dan tata guna tanah Dati II Kabupaten Jepara seluruhnya mencakup 100,413,189 hektar, yang penggunaannya sebagai tanah sawah sebanyak 26,624,368 hektar atau 17,559 %, dari total luas tanah di Jepara. Tanah sawah meliputi pengairan teknis, pengairan setengah teknis, pengairan sederhana PU, pengairan non PU, tadah hujan, pasang surut, sawah lebak dan polder, serta sawah sementara yang tidak digarap. Tanah berair meliputi rawa-rawa, tambak, dan kolam. Jumlah keseluruhan dari tanah berair dan tanah kering 73,788,821 hektar atau 73,485 %.
Komoditas subsektor perkebunan yang dikelola oleh masyarakat dan Negara, yaitu kelapa dan jambu mete sebagai komoditas tahunan, sedangkan tebu merupakan komoditas musiman. Ada pula perkebunan swasta besar yang dibina oleh Dinas Perkebunan, yakni PT. Sumber Arto I, II, dan III HGU, berlokasi di desa Kaligarang, kecamatan Keling, serta perusahaan HPL milik Pemerintah Daerah Tingkat II Jepara yang berlokasi di desa Pakis kecamatan Mlonggo. Perusahaan swasta itu bergerak dalam perkebunan kopi, kapok, kelapa, coklat, dan kakao. Jenis tanaman lain yang diusahakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Jepara, ialah lada  dan kapas.
Jepara sangat potensial dalam bidang perikanan, baik dalam penangkapan ikan laut maupun dalam budi daya tambak dengan sarana panti pembenihan udang windu berskala besar maupun kecil, yang didukung oleh beberapa lembaga pendidikan, penelitian, dan pengembangan. Jenis ikan yang dihasilkan dan mampu menembus pasar ekspor antara lain: ikan kembung dan bayar, tongkol, teri, pari, cucut, tengiri, udang jerbung, dan cumi-cumi. Produk-produk ikan lokal umumnya untuk konsumsi lokal masyarakat setempat dan daerah sekitarnya. Semua kegiatan di bidang perikanan itu erat kaitannya dengan keberadaan dan kehidupan pantai.
Pada tahun 1996, penduduk Jepara mencapai 835.007 orang, terdiri dari 412. 538 orang perempuan dan 422. 468 orang laki-laki. Dari jumlah keseluruhan itu, terdapat 48 orang warga Negara asing. tingkat kepadatan penduduk mencapai rata-rata 831 jiwa per kilometer persegi. Pada tahun 1995, laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0,98%.
Adapun jenis-jenis mata pencaharian hidup secara keseluruhan antara lain menjadi pegawai negeri sipil, TNI, Polri, pengusaha, buruh industri pabrik, petani, perajin, peternak, nelayan, pedagang, sopir, dan pegawai biro-biro jasa lainnya. Mata pencaharian yang cukup dominan ialah pencaharian hidup subsektor industri kecil. terdapat sentra-sentra industri yang beragam dan potensial, yang semuanya memiliki peluang pasar yang cukup baik.
Daerah penghasil mebel ukir Jepara yang paling besar dan dapat diandalkan terdapat di Kecamatan Jepara kota dan Tahunan. Kedua Daerah Kecamatan ini merupakan produsen mebel ukir yang paling potensial. Kemudian disusul kecamatan Batealit, Mlonggo, dan Bangsri. Sebaliknya, sebagian kecil dari penduduk di kecamatan Keling dan Kedung yang menyandarkan hidupnya sebagai perajin mebel ukir. Sedangkan penduduk kecamatan Welahan, Mayong, Karimunjawa, dan Nalumsari lebih banyak bergerak di bidang pertanian, perdagangan, dan nelayan. Tetapi, dari data yang ada menunjukkan, bahwa unit usaha mebel ukir terus merambat ke kecamatan lain dengan cukup cepat.
Akibat adanya kegiatan macam-macam indutri di Jepara, terutama industri mebel ukir, telah menimbulkan berbagai bentuk perubahan yang dinamis dalam kehidupan masyarakat. Perubahan itu menyangkut pola hidup, bentuk-bentuk perkumpulan profesi keahlian, kelompok-kelompok bermain, maupun bentuk-bentuk kebudayaan spiritual dan material. Sudah barang tentu, akibat terjadinya perubahan, sosial itu terdapat dampak positif dan negatifnya. Dampak positif kompleksitas perubahan akibat adanya perkembangan industri telah menambah semaraknya kehidupan masyarakat di daerah Jepara. Kemajuan-kemajuan yang dicapai masyarakat menuntut terpenuhinya faktor pendukung dan penunjang, misalnya sarana dan prasarana telekomunikasi, pemasaran, sarana hiburan, pendidikan, biro jasa, transportasi, dan ekspedisi pengiriman barang yang turut menyandarkan pendapatannya lewat kegiatan industri. Sedangkan pengaruh negatif sebagai akibat kemajuan dan perubahan itu adalah timbulnya keinginan-keinginan negatif yang menjurus ke perilaku yang bersifat destruktif dan tindakan yang melanggar norma susila.

BAB III
PERAN TOKOH WANITA DALAM PROSES PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MEBEL UKIR JEPARA

Terdapat beberapa tokoh wanita Jepara yang berhasil menelorkan gagasan kreatif dan tindakan mendasar sehingga melapangkan jalan menuju terwujudnya industri seni kerajinan mebel ukir di daerah itu. Gagasan dan tindakan kreatif itu dapat diperhatikan melalui usaha mereka memperjuangkan kemerdekaan bagi kaumnya, pembangunan fasilitas umum, pengadaan tempat-tempat hunian dan rekreasi, serta cetusan gagasan kreatif pengembangan berbagai bidang industri kecil dan kerajinan. Usaha-usaha kreatif mendorong terciptanya perubahan dan perkembangan industri seni tradisional di bidang mebel ukir itu antara lain menyangkut pengembangan bentuk, pengembangan fungsi produk, pengayaan unsur, dan motif hias, pembauran gaya, peningkatan menejemen organisasi, pemantapan menejemen produksi, dan pengembangan pemasaran.
Pada abad ke-7 terdapat seorang ratu bernama Ratu Shima. Dia berkuasa dan memerintah di kerajaan Ho-ling. Oleh para pakar, kerajaan Ho-ling disesuaikan dengan kerajaan Kalingga, yang letaknya berada di Jawa Tengah bagian utara, dan diperkirakan di daerah Jepara. Menurut Wolters, ratu Shima memerintah rakyat dan kerajaannya dengan arif, adil, dan bijaksana. Keadilan dan kearifan itu terlihat pada kepatuhannya menegakkan hokum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh kerajaan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak menimbulkan keraguan dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pemerintahan yang kuat seperti itu menjadikan dirinya sangat disegani, tidak hanya oleh rakyatnya sendiri tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain.
Pada masa lampau, penduduk di Jawa Tengah, selain telah mengenal jenis bangunan rumah bertingkat atau rumah panggung, juga telah mengenal pembuatan perabot. Ratu Shima dinyatakan duduk di atas singgasana terbuat dari gading gajah. Perilaku ini merupakan petunjuk berkembangnya keterampilan penduduk tentang pembuatan mebel, sehingga tempat tinggal penduduk sudah dilengkapi dengan perabotan.
Jauh sesudah pemerintahan Ratu Shima berlalu, yakni pada abad ke-16, di Jepara terdapat seorang tokoh wanita yang sangat terkenal yaitu Ratu Kalinyamat. Pigeaud menjelaskan bahwa Ratu Kalinyamat menikah dengan Sunan Hadirin, yakni seorang keturunan Cina bernama Wintang, yang telah menjadi Islam berkat bimbingan Sunan Kudus. Perkawinan antara petualang-petualang asing dengan gadis-gadis  kalangan bangsawan tinggi seperti itu merupakan peristiwa yang dianggap biasa, tetapi dengan syarat kedua belah pihat telah memeluk agama Islam.
Pada zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara Telah berkembang menjadi kota pelabuahan penting. Menurut Schrieke, pelabuhan Jepara merupakan pelabuhan yang baik bagi dunia pelayaran karena mampu menampung kapal besar bermuatan dua ratus ton atau lebih. Bersamaan dengan perkembangan pelabuhan itu, juga dikembangkan unit usaha industri galangan kapal. Pada abad ke-16, industri galangan kapal di Jawa sangat terkenal di Asia Tenggara. Ratu Kalinyamat bersama suaminya membangun dan mengembangkan industri galangan kapal besar-besaran yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tenaga kerja tersebut melibatkan arsitek, tukang kayu, dan para pekerja kasar, yang dipimpin langsung oleh Sunan Hadirin dan Ratu Kalinyamat. Dengan demikian, masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dapat dinyatakan sebagai periode penting, yaitu periode pertumbuhan dan perkembangan bidang industri pertukangan. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dinyatakan penting bagi pertumbuhan bidang industri, karena kegiatan pertukangan pada waktu itu merupakan rangkaian proses tak terpisahkan bagi terbentuknya industri pertukangan di Jepara yang kelak berubah bentuk menjadi industri mebel ukir.
Tiga abad sesudah pemerintahan Ratu Kalinyamat muncul tokoh wanita Jepara yang lain. Tokoh abad ke-19 dan ke-20 ini juga memiliki kualifikasi sebagai figure pejuang gigih dan menaruh perhatian besar di bidang sosial, politik, ekonomi, seni, budaya, dan agama. Tokoh itu ialah Raden Ajeng (R.A) Kartini. Ia lahir pada tahun 1879, pada waktu berlangsungnya hegemoni colonial Belanda. R.A. Kartini adalah putra keempat dari delapan bersaudara dari putra R.M.A.A. Sosroningrat, seorang Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880 sampai tahun 1905.
Perhatian R.A. Kartini terhadap tradisi budaya bangsa diperlihatkan melalui kepeduliannya mengembangkan bidang-bidang kesenian, yaitu pada seni batik, tenun, perhiasan, gamelan, melukis atau menggambar, kesenian wayang, dan mengukir kayu. Usaha-usaha yang dilakukan oleh R.A. Kartini memperlihatkan kepeduliannya sebagai seorang anggota masyarakat yang terikat kepada adat.  Dia merasa mempunyai kewajiban moral untuk menolong kesulitan yang dihadapi oleh perajin. Cara-cara yang dilakukan ialah dengan menghimpun para seniman dan perajin ukir di kabupaten untuk mengerjakan berbagai barang pesanan.
Kehadiran tokoh Siti Hartinah Soeharto di zaman modern, yang dampaknya merasuk di era globalisasi ini, tetap membawa kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat perajin, khususnya perajin mebel ukir Jepara. Perhatiannya terhadap seni budaya bangsa layak mendapatkan penghargaan yang setara dengan pengabdiannya. Tanda-tanda kehidupan post modern yang diwarnai oleh hadirnya kembali seni-seni tradisional buatan tangan itu turut membantu usaha-usaha pengembangan yang dilakukan oleh Tien Soeharto. Perannya dalam memacu perkembangan mebel ukir Jepara tampak pada cara-cara member peluang dan kesempatan kepada para perajin untuk terlibat dalam pembangunan, baik dalam pembangunan fisik maupun rohani, yang dampaknya berpengaruh kuat pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, seni, budaya, dan agama. Dampaknya telah berhasil mengantarkan bidang industri seni tradisional mencapai puncak kejayaan di akhir abad ke-20 seperti dapat disaksikan melalui hadirnya pusat-pusat industri seni kerajian di Indonesia, berdirinya perusahaan-perusahaan dengan spesialisasi tertentu, dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat perajin berkat profesinya yang mendapatkan penghargaan yang setara dengan ketrampilan yang dibaktikan.

BAB IV
PROSES PELEMBAGAAN DAN PEMBAURAN GAYA SENI

             Keaneka ragaman seni ornamen yang diterapkan pada mebel ukir Jepara juga memperlihatkan adanya gejala pembauran. Hal demikian dapat dibuktikan melalui hadirnya motif-motif hias dari berbagai daerah dan Negara yang diterapkan dalam proses produksi. unsur-unsur seni budaya berbagai daerah dan luar negeri teramu dalam proses perencanaan desain dan pengolahan barang produksi sehingga terciptalah karya seni yang tidak lagi secara eksplisit adanya pengaruh luar.
            Di depan sudah dikemukakan bahwa antara abad ke-16 sampai ke-18 telah terjadi pembauran tenaga teknik dari berbagai Negara dalam hubungannya dengan pembangunan rumah hunian, fasilitas umum, rumah ibadat, pembuatan perkakas rumah tangga meja dan kursi, dan barang-barang keperluan hidup lainnya. Pada masa pemerintahan kompeni Belanda di Jakarta, tukang batu, tukang kayu, dan tukang mebel, terdiri dari orang-orang Belanda, Tionghoa, dan Indonesia. Mereka membuat elemen bangunan, meja, kursi, perabot mebel lainnya yang mengakibatkan lahirnya gaya campuran antara unsur-unsur gaya seni timur dan barat. Oleh karena itu, sejak abad ke-17 di Jakarta terdapat bangunan-bangunan gaya campuran unsur Eropa-Indonesia, Tionghoa, India, Arab, dan Belanda. Dengan demikian pembauran gaya seni pun tidak terhindarkan.
            Tradisi orang Jepara hidup di perantauan untuk menimba pengalaman sudah berlangsung sebelum abad ke-16. Tradisi tersebut merupakan salah satu indikator timbulnya sikap keterbukaan para perajin dalam menerima pengaruh pembauran yang dapat mempercepat proses perubahan dan perkembangan.
            Kenyataan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kegiatan industri mebel ukir di Jepara kian memacu proses kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Terpacunya proses kelembagaan dimaksud akhirnya memunculkan beberapa kelembagaan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi, politik, seni, budaya, dan aspek-aspek lain dalam pembangunan bangsa dan negara.
            Eksistensi industri mebel ukir, meliputi a. kelembagaan seni, b. pelindung, pengusaha, dan perajin, c. pasar lokal dan pasar global. munculnya lembaga-lembaga tersebut ternyata memberikan kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan industri seni mebel ukir di tanah air dari waktu ke waktu.
            Perlu diketengahkan bahwa pada abad ke-18 kegiatan industri seni dan kerajinan masih diwarnai dan didasarkan pada seni-seni tradisional yang sudah dikenal oleh masyarakat perajin. Meskipun para perajin bersikap terbuka terhadap pengaruh luar, namun mereka cukup tangkas meramu berbagai pengaruh dalam proses penciptaan sehingga kehadiran pengaruh tersebut justru memacu perkembangan seni kerajinan di Indonesia. Dengan demikian, wajarlah jika Jepara terdapat ragam hias dari berbagai daerah di Indonesia yang kelak dimanfaatkan sebagai unsur hias produk industri mebel ukir. unsur gaya seni Eropa Barat antara lain gaya seni renaissance, klasik, barok, rokoko, dan romantic juga telah banyak mewarnai perkembangan industri mebel ukir Jepara.


BAB V
PRODUK INDUSTRI MEBEL UKIR JEPARA ABAD XIX-XX

            Sejak zaman kuna, bangsa Indonesia dapat dinyatakan sudah mengenal pembuatan barang-barang seni dan kerajinan. Pengenalan itu diketahui melalui berkembangnya kebudayaan Dong Son pada awal tarikh masehi, yang sisa-sisa peninggalannya masih dapat disaksikan sampai dewasa ini. Pada zaman purba pengetahuan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk membuat karya seni dan kerajinan telah berkembang dengan baik. Mereka telah mengenal pembuatan barang-barang dengan teknik dan bahan yang sederhana, mudah dikerjakan, bahkan sampai barang-barang yang memerlukan teknik yang rumit dan kompleks dengan bahan yang sulit dikerjakan. Bahan-bahan yang mudah dikerjakan itu antara lain tanah liat, sedangkan bahan yang sulit dikerjakan antara lain kayu, logam, dan batu.
            Mebel ukir dapat digolongkan sebagai salah satu jenis produk seni kerajinan. Perwujudannya merupakan ungkapan cita rasa estetik benda fungsional yang didukung oleh kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan teknik dengan tujuan unutuk memenuhi kebutuhan hidup.
            Pada abad ke-19 perkembangan industri ditandai dengan terjadinya revolusi industri di Inggris yaitu suatu momentum masinalisasi teknik produksi berhadapan dengan teknik produksi manual yang sudah berlangsung sebelumnya. Peristiwa besar itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri seni kerajinan tangan pada umumnya dan seni kerajinan mebel ukir pada khususnya, yang berlangsung hingga permulaan abad ke-20.
            Abad ke-19 merupakan abad penting dalam pertumbuhan kegiatan industri seni dan kerajinan di Indonesia. kegiatan industri seni dan kerajinan merupakan bagian dari kegiatan nonpertanian yang pada awal dekade abad itu kembali menunjukkan peranannya dalam perekonomian masyarakat Jawa.
            Pada abad ke-19 pemasaran mebel ukir makin berkembang luas, dan sistem kerja upah pun sudah mulai berkembang. lebih lanjut dikemukakan bahwa di bidang seni kerajinan, para perajin sudah mendapatkan upah yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang tinggal di pusat industri mebel ukir seperti di Jepara. Oleh karena itu, banyak perajin yang berdatangan ke pusat-pusat kota industri untuk bekerja dan memburu rizki melalui bidang seni kerajinan.
            Ketika pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa pada tahun 1830 terjadilah degradasi nilai pada perekonomian masyarakat. Hancurnya perekonomian masyarakat tidak hanya menjadi masalah di kalangan masyarakat Jawa tetapi sudah menjadi masalah masyarakat Indonesia pada umumnya. Sesudah tahun 1830 kegiatan industri nonpertanian, khususnya di bidang industri kerajinan kayu di Jawa telah menunjukkan pertumbuhan dan peningkatan jumlah perajin yang sangat pesat.
            Pada tahun 1833-1850, jumlah perajin mengalami perkembangan dari 1.209.600 orang menjadi 2.077.550 orang. Dengan demikian, apabila pada awal perkembangannya terasa sangat lamban, namun setelah terbukti bahwa kegiatan nonpertanian atau industri kecil itu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, maka perkembangannya semakin meningkat dengan cepat. Pada sekitar tahun 1860, produk industri seni kerajinan dan pertukangan menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah ekonomi yang dipandang tepat dan meyakinkan. Pada tahun 1870, terjadi penurunan jumlah pengusaha industri nonpertanian, yaitu tinggal 8.000 perajin. Kegiatan perajin yang paling menonjol adalah pekerjaan pertukangan di bidang pembangunan galangan kapal, pembuatan perahu layar, pembangunan rumah, dan pembuatan mebel ukir yang pada bagian tertentu dihiasi dengan ukiran-ukiran.
            Pada tahun 1880, kegiatan industri kecil di Jepara baru mencapai 10,5 persen dengan jumlah perusahaan 12.215 buah dengan bermacam-macam jenis usaha yang melibatkan 116.456 buruh. Selebihnya sebesar 76,8 persen atau sebanyak 89.332 orang  berusaha di bidang pertanian, 7,8 persen atau 9.102orang adalah kaum pedagang, dan 3 persen atau 3.508 orang berusaha di bidang pelayanan publik.
            Melihat potensi industri yang tumbuh di Jepara pada waktu itu, R.A. Kartini menaruh perhatian besar untuk mengembangkannya. Pada dekade terakhir abad ke-19, tidak kurang dari 50 orang tenaga ahli mebel ukir dikumpulkan oleh R.A. Kartini di kompleks kabupaten Jepara untuk mengerjakan berbagai pesanan. Pesana-pesanan datang dari berbagai kalangan, di antaranya para bangsawan, orang-orang kaya, dan para pejabat di Jawa. Selain itu terdapat pula pesanan yang datang dari orang-orang Eropa.
            Pada akhir abad ke-20 ini perkembangan mebel ukir Jepara memperlihatkan tannda-tanda kesamaan dengan bentuk-bentuk dan teknik-teknik mebel ukir Eropa Barat pada masa lampau. hal itu tentu ada hubungannya dengan hadirnya pengusaha dan investor asing yang turut menanamkan modalnya di daerah Jepara.
            Sistem produksi juga berkembang selaras dengan tingkat kemajuan perusahaan. Perusahaan yang masih berskala kecil, pada umumnya menggunakan sistem produksi tradisional, yaitu sistem produksi pembuatan suatu barang yang sejak awal hingga akhir diselesaikan oleh perajin yang bersangkutan. Adapun beberapa perusahaan yang berskala besar, terutama untuk perusahaan-perusahaan tingkat ekspor, umumnya telah menggunakan sistem produksi modern dengan aliran kerja yang sudah teratur.
            Karya buatan tahun 1910-1918 yang dipamerkan pada tahun1926, dihiasi dengan ornamen berupa motif makara, ular naga, dan stilisasi tumbuh-tumbuhan. Sebagian dari barang-barang itu dibuat dengan konstruksi yang sangat dekat dengan rakitan kereta kencana pada zaman Majapahit. Karya-karya yang dipamerkan di Bandung tampaknya lebih bervariasi, antara lain bruidsbed (kerobongan) yaitu tempat tidur raja yang terbuat dari kayu, draag-stoel (jempana) dengan ornamen bentukl garuda dan naga yang tampak artistik.
            Pada akhir abad ke-20, industri kerajinan mebel ukir tersebut telah menarik perhatian para pedagang Eropa Barat, Asia, dan Amerika untuk mengembangkan usahanya di Jepara. Pada dekade ke-7 dan ke-8 abad 20, industri mebel ukir Jepara mengalami perkembangan pesat diantaranya karena didukung oleh PT. Agung yang membuka usaha di desa Tahunan.
            Pada waktu itu, Ibu Negara Tien Soeharto sudah menunjukkan peranannya yang sangat besar. Upayanya yang menonjol adalah memasukkan mebel ukir Jepara ke dalam interior Istana Presiden, terbukti bahwa di Istana Presiden terdapat ruang khusus yang disebut dengan ruang Jepara.
            Jumlah perusahaan (unit usaha) yang ada pada beberapa tahun terakhir ini mengalamai perkembangan yang besar. pada tahun 1991 baru terdapat 1.973 unit usaha sedangkan tahun 1995 sudah mencapai 2.216 unit usaha. Kenaikan jumlah unit usaha yang tinggi itu diikuti pula dengan naiknya investasi. Dalam rangka memperluas jaringan pasar mebel ukir juga telah dilaksanakan berbagai kegiatan pameran di dalam dan di luar negeri. Selain pameran juga telah diadakan kontak dagang dengan berbagai pengusaha asing.  

BAB VI
POLA PERKEMBANGAN DAN PENYEBARAN

            Berkenaann dengan strategi pengembangan industri mebel ukir, Pemerintah Daerah Tingkat II Jepara telah berusaha keras untuk memperbaiki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran usaha perajin. Upaya itu antara lain berkaitan dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana produksi, transportasi, telekomunikasi, dan pemasaran.
            Jaringan pemasaran melalui berbagai cara dan media juga telah dikembangkan, baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. Publikasi yang dilakukan sebagai jabaran usaha promosi diantaranya dilaksanakan melalui pameran di dalam dan luar negeri.
            Industri mebel ukir Jepara telah jauh berkembang meninggalkan industri sejenis di tempat lain. Daerah perkembangannya semakin luas, sehingga Sembilan dari dua belas kecamatan di wilayah Kabupaten Jepara menjadi kawasan industri mebel ukir. Sudah barang tentu banyak tenaga kerja lokal yang terserap di sentra Industri tersebut.
            Pada zaman modern ini, komunitas perajin Jepara juga telah menunjukkan kepiawaian dan keperkasaannya di bidang industri mebel ukir. Kerja keras mereka telah menghasilkan karya-karya bermutu tinggi yang mampu merebut minat masyarakat dan pasar internasional. Prestasi itu memacu perkembangan industri mebel ukir, sekaligus menjadi media berlangsungnya penerusan tradisi bangsa Indonesia secara berkesinambungan.
            Perilaku perajin pelaksana yang cukup unik dan karakteristik ialah sikap mereka yang santun dan peduli terhadap perusahaan di mana mereka bekerja. Umumnya mereka memahami dan peduli terhadap kesulitan pengusaha jika suatu waktu terlambat gajian. Mereka mau bekerja keras di suatu perusahaan karena perusahaan juga mau menggaji mereka sesuai dengan yang diharapkan.
            Demi menjaga  kelangsungan industri kecil kerajinan tangan tersebut, maka konsep hubungan antara perajin pelaksana dengan pengusaha atau juragan seperti dijelaskan di atas perlu dikembangkan. Hal itu sangat penting artinya bagi kelangsungan pertumbuhan industri mebel ukir pada khususnya dan industri kecil pada umumnya. Dengan adanya rasa saling mengerti dan menyadari akan keadaan masing-masing, maka apabila timbul kesulitan, kedua pihak akan berusaha untuk dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi sehingga kelangsungan perusahaan tetap dapat terjaga. Para pengusaha yang senantiasa mempertimbangkan arti pentingnya perajin akan dapat membentuk ikatan kekeluargaan dengan baik.
            Perubahan demi perubahan telah terjadi dalam perjalanan mebel ukir Jepara seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia. Diketahui bahwa industri mebel ukir Jepara memeperoleh peluang besar untuk berkembang lebih jauh, namun disisi lain eksistensinya dihadapkan pada kenyataan-kenyataan baru yang penuh tantangan dan hambatan sehubungan lajunya perkembangan dunia yang mengarah ke pasar global. Telah diutarakan bahwa dewasa ini produk industri mebel ukir Jepara telah menjadi salah satu andalan ekspor nonmigas.
            Perlu dipahami bahwa kegiatan pembinaan dan pengembangan akan menjadi salah satu kunci penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantintas indusrti mebel ukir di Jepara. Upaya pembinaan dan pengembangan itu perlu dilaksanakan secara terprogram, terpadu, dan kontinyu. Jalur-jalur pembinaan perlu dipertimbangkan secara seksama sehingga jalur-jalur pembinaan formal maupun non formal benar-benar dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Pembinaan melalui jalur formal, antara lain berkaitan dengan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah yang terkait, yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya, Departemen Koperasi, dan Departemen Keuangan, serta balai-balai latihan yang terkait.
            Berkait dengan pembinaan melalui jalur non formal, antara lain terkait erat dengan peran dan fungsi berbagai lembaga nonpemerintah diantaranya Kamar Dagang Indonesia, Dewan Kerajinan Nasional dan Daerah, Asosiasi Profesi terkait, dan perusahaan-perusahaan yang representatif. Selain itu, dapat diupayakan pula keterlibatan para pakar swasta, yaitu mereka yang secara mandiri memiliki reputasi baik sebagai konsultan yang relevan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...