Seni
Kerajinan Ukir Jepara
SP.
Gustami 2000. Kanisius: yogyakarta.
BAB
I
PENGANTAR
Kegiatan pertukangan di
Jepara telah dikenal oleh penduduk sejak berabad lampau. Mulai zaman
pemerintahan ratu Shima yang merintis jalan bagi timbulnya kota pelabuhan sehingga
memungkinkan adanya kegiatan pertukangan dan perundagian. Pada masa
pemerintahan Demak, di Jepara hadir tokoh putrid lainnya yaitu ratu Kalinyamat
yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di
pesisir utara tanah Jawa. Tokoh wanita ini berhasil mengembangkan kegiatan pertukangan
dan perundagian menjadi sangat maju, terutama dalam hubungannya dengan
pembangunan rumah para saudagar dan kaum bangsawan, rumah ibadat, galangan
kapal, serta pembuatan perabot rumah tangga. Ketika itu, kegiatan pertukangan
dan perundagian mendapat perhatian yang sangat besar dari pemerintah kerajaan.
Pada abad ke-19 sampai
ke-20 kegiatan pembuatan mebel ukir telah mengalami pertumbuhan yang
menggembirakan berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh R.A. Kartini. Melalui
pameran-pameran yang digelar disertai publikasi tertulis di media massa, R.A.
Kartini berhasil mempopulerkan aktivitas pembuatan mebel ukir di kalangan
masyarakat internasional. Efeknya, banyak orang Eropa Barat yang memesan
barang-barang berukir dari Jepara, yang lebih lanjut dapat mengangkat nasib
para seniman dan perajin mebel ukir ke taraf hidup yang lebih baik.
Pada awal abad ke-19
adalah awal berkembangnya kembali kegiatan pertukangan dan perundagian,
khususnya membuat mebel ukir. Pada abad ke-20, terutama pada dua dasawarsa
terakhir abad ini, adalah pencapaian puncak kejayaan mebel ukir Jepara sehingga
Jepara mendapat pengakuan sebagai sentra industri mebel ukir di Jawa Tengah
pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sudah barang tentu banyak variabel
yang berpengaruh bagi perkembangannya, antara lain masuknya unsur-unsur gaya
seni yang bercorak Hindu, Cina, Islam,
dan Eropa.
Dalam buku ini
diungkapkan seluk-beluk seni kerajinan mebel ukir Jepara abad ke-19 sampai
ke-20 dengan disertai penelusuran kegiatan pertukangan dan perundagian
sebelumnya karena dipandang sebagai suatu proses pembentukan yang tidak dapat
diabaikan. Seperti sudah dikemukakan bahwa pada abad ke-16 di Jepara terdapat
seorang tokoh wanita yang terkenal, yaitu ratu Kalinyamat. Tokoh wanita ini
tidak hanya memperlihatkan kemampuannya di bidang politik dan militer saja,
tetapi juga memperlihatkan perhatian yang besar di bidang sosial, ekonomi,
seni, budaya, dan agama. Salah satu bukti besarnya perhatian ratu Kalinyamat
terhadap seni dapat dilihat melalui hasil yang dicapai dalam mengembangkan
bentuk-bentuk ornament seni ukir bernafaskan Islam. Karya seni itu masih dapat
disaksikan di masjid dan makam Mantingan, Jepara hingga saat ini.
Sebagai kota pelabuhan
di pesisir pantai utara Jawa, peranan Jepara tampak mulai jelas sejak masuknya
pengaruh Arab dan Cina, yang mengantarkan kegiatan industri pertukangan dan
perundagian mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16 dan ke-17. Pada waktu
itu, industri pertukangan dan perundagian sudah sangat maju, misalnya aktivitas
pertukangan di bidang pembangunan rumah, pembangunan galangan kapal, pembuatan
mebel, dan perabot rumah tangga, perundagian di bidang seni pahat dan ukir
kayu, dan lain sebagainya.
Masuknya pengaruh
kebudayaan Eropa Barat di kepulauan Nusantara, didahului dengan aktivitas
perdagangan Portugis pada paroh pertama abad ke-16. Belanda dengan perusahaan
dagangnya (VOC) berhasil menguasai tempat-tempat yang paling strategis di
kawasan Nusantara. Konsentrasi kekuasaan pemerintah Belanda umumnya terdapat di
kota-kota penting, seperti kota provinsi, kota kabupaten, dan kota kecamatan.
mereka membangun permukiman didukung para tukang dari negeri asal. Hadirnya
tukang dari Eropa itu membawa pengaruh masuknya unsur-unsur seni dari negeri
mereka ke dalam seni budaya Indonesia. Sejak abad ke-17, peresapan itu mulai
berkembang, meskipun pada awalnya sangat terbatas, terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Derasnya unsur-
unsure seni Eropa yang
dimanfaatkan dalam proses produksi
mengakibatkan makin besarnya pengaruh gaya seni Eropa Barat ke dalam seni
budaya Indonesia.
Masa
kemerdekaan dan pembangunan yang dimulai sejak tahun 1945 sampai tahun 1980-an,
merupakan proses perkembangan menuju terwujudnya periode kejayaan mebel ukir
Jepara dalam menggapai prestasi nasional. tahun 1990-an, Jepara mendapat
pengakuan umum sebagai sentra industri mebel ukir di Jawa Tengah. Perkembangan
lebih lanjut, Jepara makin memantapkan diri sebagai pusat industri mebel ukir
pada tingkat nasional dan internasional.
BAB
II
KONDISI
LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT DAERAH TINGKAT II KABUPATEN JEPARA
Secara geografis Jepara
berbatasan di sebelah utara, barat, dan selatan dengan laut Jawa, sebelah timur
dengan Demak, Kudus, dan pegunungan Muria kabupaten Pati. Sebagai kota tua,
Jepara memiliki sejarah yang panjang. Pada abad ke-7, Jepara diperintah oleh
seorang ratu yang arif, bijaksana, keras dan tegas dalam menegakkan disiplin,
serta penuh tanggung jawab dalam mengendalikan pemerintahan. Ia bertakhta di
kerajaan Kalingga, bergelar ratu Shima. Sebagian besar wilayah kerajaan berupa
tanah datar, sebagian lainnya berupa lereng gunung dan bukit-bukit kecil yang
ditumbuhi hutan belukar. Pada waktu itu kerajaan Kalingga sudah memiliki
pelabuhan, sebagai sarana transportasi laut dari dan ke pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan
Majapahit, kota Juwana dan Pati termasuk wilayah Sandang Garba, artinya raja kaum pedagang, yang ditafsirkan sebagai
kota pelabuhan dan perdagangan. Pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-17,
lingkungan kerajaan di Jepara sudah memiliki jalan-jalan protocol sesuai
kondisi zamannya. Jalur darat antara Kudus-Jepara-Demak sampai Semarang, sudah
dibangun. Seiring dengan kemajuan itu, lingkungan hidup sudah tertata dengan
baik, keadaan masyarakat sudah semakin maju.
Dewasa ini Jepara
merupakan salah satu Kabupaten Daerah Tingkat II di wilayah Provinsi Jawa
Tengah. Kondisi geografis daerah ini tidak seluruhnya datar. Sebagian di antaranya berupa pegunungan dan sedikit
berawa-rawa. Kabupaten Jepara terdiri dari dua belas kecamatan, yaitu: Jepara
kota, Tahunan, Pecangakan, Welahan, Batealit, Mlonggo, Bangsri, Keling, Mayong,
Nalumsari, Kedung, dan Karimunjawa. Secara astronomis, letak Jepara mengalami
sedikit perubahan, yaitu pada posisi 3º 23’ 20” sampai 4º 9’ 35” BT sampai 6º
47’ 44” LS. Luas daerah Jepara berkisar
1004, 13 kilometer persegi, dengan ketinggian 0 sampai 1301 meter di atas
permukaan laut.
Di lihat dari keadaan
hidrologis, wilayah Dati II Kabupaten Jepara bagian timur merupakan lereng
barat Gunung Muria. Dari kaki pegunungan ini mengalir beberapa sungai besar dan kecil, yang sangat mendukung usaha
pertanian dan berpengaruh besar pada kesejahteraan sosial ekonomi dan kehidupan
masyarakat. Luas dan tata guna tanah Dati II Kabupaten Jepara seluruhnya
mencakup 100,413,189 hektar, yang penggunaannya sebagai tanah sawah sebanyak
26,624,368 hektar atau 17,559 %, dari total luas tanah di Jepara. Tanah sawah
meliputi pengairan teknis, pengairan setengah teknis, pengairan sederhana PU,
pengairan non PU, tadah hujan, pasang surut, sawah lebak dan polder, serta
sawah sementara yang tidak digarap. Tanah berair meliputi rawa-rawa, tambak,
dan kolam. Jumlah keseluruhan dari tanah berair dan tanah kering 73,788,821
hektar atau 73,485 %.
Komoditas subsektor
perkebunan yang dikelola oleh masyarakat dan Negara, yaitu kelapa dan jambu
mete sebagai komoditas tahunan, sedangkan tebu merupakan komoditas musiman. Ada
pula perkebunan swasta besar yang dibina oleh Dinas Perkebunan, yakni PT.
Sumber Arto I, II, dan III HGU, berlokasi di desa Kaligarang, kecamatan Keling,
serta perusahaan HPL milik Pemerintah Daerah Tingkat II Jepara yang berlokasi
di desa Pakis kecamatan Mlonggo. Perusahaan swasta itu bergerak dalam
perkebunan kopi, kapok, kelapa, coklat, dan kakao. Jenis tanaman lain yang
diusahakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Jepara, ialah lada dan kapas.
Jepara sangat potensial
dalam bidang perikanan, baik dalam penangkapan ikan laut maupun dalam budi daya
tambak dengan sarana panti pembenihan udang windu berskala besar maupun kecil,
yang didukung oleh beberapa lembaga pendidikan, penelitian, dan pengembangan.
Jenis ikan yang dihasilkan dan mampu menembus pasar ekspor antara lain: ikan
kembung dan bayar, tongkol, teri, pari, cucut, tengiri, udang jerbung, dan
cumi-cumi. Produk-produk ikan lokal umumnya untuk konsumsi lokal masyarakat
setempat dan daerah sekitarnya. Semua kegiatan di bidang perikanan itu erat
kaitannya dengan keberadaan dan kehidupan pantai.
Pada tahun 1996,
penduduk Jepara mencapai 835.007 orang, terdiri dari 412. 538 orang perempuan
dan 422. 468 orang laki-laki. Dari jumlah keseluruhan itu, terdapat 48 orang
warga Negara asing. tingkat kepadatan penduduk mencapai rata-rata 831 jiwa per
kilometer persegi. Pada tahun 1995, laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0,98%.
Adapun jenis-jenis mata
pencaharian hidup secara keseluruhan antara lain menjadi pegawai negeri sipil,
TNI, Polri, pengusaha, buruh industri pabrik, petani, perajin, peternak,
nelayan, pedagang, sopir, dan pegawai biro-biro jasa lainnya. Mata pencaharian
yang cukup dominan ialah pencaharian hidup subsektor industri kecil. terdapat
sentra-sentra industri yang beragam dan potensial, yang semuanya memiliki
peluang pasar yang cukup baik.
Daerah penghasil mebel
ukir Jepara yang paling besar dan dapat diandalkan terdapat di Kecamatan Jepara
kota dan Tahunan. Kedua Daerah Kecamatan ini merupakan produsen mebel ukir yang
paling potensial. Kemudian disusul kecamatan Batealit, Mlonggo, dan Bangsri.
Sebaliknya, sebagian kecil dari penduduk di kecamatan Keling dan Kedung yang
menyandarkan hidupnya sebagai perajin mebel ukir. Sedangkan penduduk kecamatan
Welahan, Mayong, Karimunjawa, dan Nalumsari lebih banyak bergerak di bidang
pertanian, perdagangan, dan nelayan. Tetapi, dari data yang ada menunjukkan,
bahwa unit usaha mebel ukir terus merambat ke kecamatan lain dengan cukup
cepat.
Akibat adanya kegiatan
macam-macam indutri di Jepara, terutama industri mebel ukir, telah menimbulkan
berbagai bentuk perubahan yang dinamis dalam kehidupan masyarakat. Perubahan
itu menyangkut pola hidup, bentuk-bentuk perkumpulan profesi keahlian,
kelompok-kelompok bermain, maupun bentuk-bentuk kebudayaan spiritual dan
material. Sudah barang tentu, akibat terjadinya perubahan, sosial itu terdapat
dampak positif dan negatifnya. Dampak positif kompleksitas perubahan akibat
adanya perkembangan industri telah menambah semaraknya kehidupan masyarakat di
daerah Jepara. Kemajuan-kemajuan yang dicapai masyarakat menuntut terpenuhinya
faktor pendukung dan penunjang, misalnya sarana dan prasarana telekomunikasi,
pemasaran, sarana hiburan, pendidikan, biro jasa, transportasi, dan ekspedisi
pengiriman barang yang turut menyandarkan pendapatannya lewat kegiatan
industri. Sedangkan pengaruh negatif sebagai akibat kemajuan dan perubahan itu
adalah timbulnya keinginan-keinginan negatif yang menjurus ke perilaku yang
bersifat destruktif dan tindakan yang melanggar norma susila.
BAB
III
PERAN
TOKOH WANITA DALAM PROSES PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MEBEL UKIR JEPARA
Terdapat beberapa tokoh
wanita Jepara yang berhasil menelorkan gagasan kreatif dan tindakan mendasar
sehingga melapangkan jalan menuju terwujudnya industri seni kerajinan mebel
ukir di daerah itu. Gagasan dan tindakan kreatif itu dapat diperhatikan melalui
usaha mereka memperjuangkan kemerdekaan bagi kaumnya, pembangunan fasilitas
umum, pengadaan tempat-tempat hunian dan rekreasi, serta cetusan gagasan
kreatif pengembangan berbagai bidang industri kecil dan kerajinan. Usaha-usaha
kreatif mendorong terciptanya perubahan dan perkembangan industri seni
tradisional di bidang mebel ukir itu antara lain menyangkut pengembangan bentuk,
pengembangan fungsi produk, pengayaan unsur, dan motif hias, pembauran gaya, peningkatan
menejemen organisasi, pemantapan menejemen produksi, dan pengembangan
pemasaran.
Pada abad ke-7 terdapat
seorang ratu bernama Ratu Shima. Dia berkuasa dan memerintah di kerajaan
Ho-ling. Oleh para pakar, kerajaan Ho-ling disesuaikan dengan kerajaan
Kalingga, yang letaknya berada di Jawa Tengah bagian utara, dan diperkirakan di
daerah Jepara. Menurut Wolters, ratu Shima memerintah rakyat dan kerajaannya
dengan arif, adil, dan bijaksana. Keadilan dan kearifan itu terlihat pada
kepatuhannya menegakkan hokum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh
kerajaan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak menimbulkan keraguan
dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pemerintahan yang kuat seperti itu menjadikan
dirinya sangat disegani, tidak hanya oleh rakyatnya sendiri tetapi juga oleh
bangsa-bangsa lain.
Pada masa lampau,
penduduk di Jawa Tengah, selain telah mengenal jenis bangunan rumah bertingkat
atau rumah panggung, juga telah mengenal pembuatan perabot. Ratu Shima
dinyatakan duduk di atas singgasana terbuat dari gading gajah. Perilaku ini
merupakan petunjuk berkembangnya keterampilan penduduk tentang pembuatan mebel,
sehingga tempat tinggal penduduk sudah dilengkapi dengan perabotan.
Jauh sesudah
pemerintahan Ratu Shima berlalu, yakni pada abad ke-16, di Jepara terdapat
seorang tokoh wanita yang sangat terkenal yaitu Ratu Kalinyamat. Pigeaud
menjelaskan bahwa Ratu Kalinyamat menikah dengan Sunan Hadirin, yakni seorang
keturunan Cina bernama Wintang, yang telah menjadi Islam berkat bimbingan Sunan
Kudus. Perkawinan antara petualang-petualang asing dengan gadis-gadis kalangan bangsawan tinggi seperti itu
merupakan peristiwa yang dianggap biasa, tetapi dengan syarat kedua belah pihat
telah memeluk agama Islam.
Pada zaman pemerintahan
Ratu Kalinyamat, Jepara Telah berkembang menjadi kota pelabuahan penting.
Menurut Schrieke, pelabuhan Jepara merupakan pelabuhan yang baik bagi dunia
pelayaran karena mampu menampung kapal besar bermuatan dua ratus ton atau
lebih. Bersamaan dengan perkembangan pelabuhan itu, juga dikembangkan unit
usaha industri galangan kapal. Pada abad ke-16, industri galangan kapal di Jawa
sangat terkenal di Asia Tenggara. Ratu Kalinyamat bersama suaminya membangun
dan mengembangkan industri galangan kapal besar-besaran yang mampu menyerap
tenaga kerja dalam jumlah besar. Tenaga kerja tersebut melibatkan arsitek,
tukang kayu, dan para pekerja kasar, yang dipimpin langsung oleh Sunan Hadirin
dan Ratu Kalinyamat. Dengan demikian, masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dapat
dinyatakan sebagai periode penting, yaitu periode pertumbuhan dan perkembangan
bidang industri pertukangan. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dinyatakan
penting bagi pertumbuhan bidang industri, karena kegiatan pertukangan pada
waktu itu merupakan rangkaian proses tak terpisahkan bagi terbentuknya industri
pertukangan di Jepara yang kelak berubah bentuk menjadi industri mebel ukir.
Tiga abad sesudah
pemerintahan Ratu Kalinyamat muncul tokoh wanita Jepara yang lain. Tokoh abad
ke-19 dan ke-20 ini juga memiliki kualifikasi sebagai figure pejuang gigih dan
menaruh perhatian besar di bidang sosial, politik, ekonomi, seni, budaya, dan
agama. Tokoh itu ialah Raden Ajeng (R.A) Kartini. Ia lahir pada tahun 1879,
pada waktu berlangsungnya hegemoni colonial Belanda. R.A. Kartini adalah putra
keempat dari delapan bersaudara dari putra R.M.A.A. Sosroningrat, seorang
Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880 sampai tahun 1905.
Perhatian R.A. Kartini terhadap
tradisi budaya bangsa diperlihatkan melalui kepeduliannya mengembangkan
bidang-bidang kesenian, yaitu pada seni batik, tenun, perhiasan, gamelan,
melukis atau menggambar, kesenian wayang, dan mengukir kayu. Usaha-usaha yang
dilakukan oleh R.A. Kartini memperlihatkan kepeduliannya sebagai seorang
anggota masyarakat yang terikat kepada adat.
Dia merasa mempunyai kewajiban moral untuk menolong kesulitan yang
dihadapi oleh perajin. Cara-cara yang dilakukan ialah dengan menghimpun para
seniman dan perajin ukir di kabupaten untuk mengerjakan berbagai barang
pesanan.
Kehadiran tokoh Siti
Hartinah Soeharto di zaman modern, yang dampaknya merasuk di era globalisasi
ini, tetap membawa kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat perajin, khususnya
perajin mebel ukir Jepara. Perhatiannya terhadap seni budaya bangsa layak
mendapatkan penghargaan yang setara dengan pengabdiannya. Tanda-tanda kehidupan
post modern yang diwarnai oleh hadirnya kembali seni-seni tradisional buatan
tangan itu turut membantu usaha-usaha pengembangan yang dilakukan oleh Tien
Soeharto. Perannya dalam memacu perkembangan mebel ukir Jepara tampak pada
cara-cara member peluang dan kesempatan kepada para perajin untuk terlibat
dalam pembangunan, baik dalam pembangunan fisik maupun rohani, yang dampaknya
berpengaruh kuat pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, seni, budaya, dan
agama. Dampaknya telah berhasil mengantarkan bidang industri seni tradisional
mencapai puncak kejayaan di akhir abad ke-20 seperti dapat disaksikan melalui
hadirnya pusat-pusat industri seni kerajian di Indonesia, berdirinya
perusahaan-perusahaan dengan spesialisasi tertentu, dan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat perajin berkat profesinya yang mendapatkan penghargaan
yang setara dengan ketrampilan yang dibaktikan.
BAB
IV
PROSES
PELEMBAGAAN DAN PEMBAURAN GAYA SENI
Keaneka ragaman seni ornamen yang diterapkan pada
mebel ukir Jepara juga memperlihatkan adanya gejala pembauran. Hal demikian
dapat dibuktikan melalui hadirnya motif-motif hias dari berbagai daerah dan
Negara yang diterapkan dalam proses produksi. unsur-unsur seni budaya berbagai
daerah dan luar negeri teramu dalam proses perencanaan desain dan pengolahan
barang produksi sehingga terciptalah karya seni yang tidak lagi secara
eksplisit adanya pengaruh luar.
Di
depan sudah dikemukakan bahwa antara abad ke-16 sampai ke-18 telah terjadi
pembauran tenaga teknik dari berbagai Negara dalam hubungannya dengan
pembangunan rumah hunian, fasilitas umum, rumah ibadat, pembuatan perkakas
rumah tangga meja dan kursi, dan barang-barang keperluan hidup lainnya. Pada
masa pemerintahan kompeni Belanda di Jakarta, tukang batu, tukang kayu, dan
tukang mebel, terdiri dari orang-orang Belanda, Tionghoa, dan Indonesia. Mereka
membuat elemen bangunan, meja, kursi, perabot mebel lainnya yang mengakibatkan
lahirnya gaya campuran antara unsur-unsur gaya seni timur dan barat. Oleh
karena itu, sejak abad ke-17 di Jakarta terdapat bangunan-bangunan gaya
campuran unsur Eropa-Indonesia, Tionghoa, India, Arab, dan Belanda. Dengan
demikian pembauran gaya seni pun tidak terhindarkan.
Tradisi
orang Jepara hidup di perantauan untuk menimba pengalaman sudah berlangsung
sebelum abad ke-16. Tradisi tersebut merupakan salah satu indikator timbulnya sikap
keterbukaan para perajin dalam menerima pengaruh pembauran yang dapat
mempercepat proses perubahan dan perkembangan.
Kenyataan
menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kegiatan industri mebel ukir di Jepara
kian memacu proses kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Terpacunya proses kelembagaan
dimaksud akhirnya memunculkan beberapa kelembagaan ilmu pengetahuan, teknologi,
sosial, ekonomi, politik, seni, budaya, dan aspek-aspek lain dalam pembangunan
bangsa dan negara.
Eksistensi industri mebel ukir,
meliputi a. kelembagaan seni, b. pelindung, pengusaha, dan perajin, c. pasar
lokal dan pasar global. munculnya lembaga-lembaga tersebut ternyata memberikan
kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan industri seni mebel ukir
di tanah air dari waktu ke waktu.
Perlu
diketengahkan bahwa pada abad ke-18 kegiatan industri seni dan kerajinan masih
diwarnai dan didasarkan pada seni-seni tradisional yang sudah dikenal oleh
masyarakat perajin. Meskipun para perajin bersikap terbuka terhadap pengaruh
luar, namun mereka cukup tangkas meramu berbagai pengaruh dalam proses
penciptaan sehingga kehadiran pengaruh tersebut justru memacu perkembangan seni
kerajinan di Indonesia. Dengan demikian, wajarlah jika Jepara terdapat ragam
hias dari berbagai daerah di Indonesia yang kelak dimanfaatkan sebagai unsur
hias produk industri mebel ukir. unsur gaya seni Eropa Barat antara lain gaya
seni renaissance, klasik, barok, rokoko, dan romantic juga telah banyak
mewarnai perkembangan industri mebel ukir Jepara.
BAB
V
PRODUK
INDUSTRI MEBEL UKIR JEPARA ABAD XIX-XX
Sejak zaman
kuna, bangsa Indonesia dapat dinyatakan sudah mengenal pembuatan barang-barang
seni dan kerajinan. Pengenalan itu diketahui melalui berkembangnya kebudayaan Dong Son pada awal tarikh masehi, yang
sisa-sisa peninggalannya masih dapat disaksikan sampai dewasa ini. Pada zaman
purba pengetahuan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk membuat karya seni dan
kerajinan telah berkembang dengan baik. Mereka telah mengenal pembuatan
barang-barang dengan teknik dan bahan yang sederhana, mudah dikerjakan, bahkan
sampai barang-barang yang memerlukan teknik yang rumit dan kompleks dengan
bahan yang sulit dikerjakan. Bahan-bahan yang mudah dikerjakan itu antara lain
tanah liat, sedangkan bahan yang sulit dikerjakan antara lain kayu, logam, dan
batu.
Mebel
ukir dapat digolongkan sebagai salah satu jenis produk seni kerajinan.
Perwujudannya merupakan ungkapan cita rasa estetik benda fungsional yang
didukung oleh kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan teknik dengan tujuan
unutuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada
abad ke-19 perkembangan industri ditandai dengan terjadinya revolusi industri
di Inggris yaitu suatu momentum masinalisasi teknik produksi berhadapan dengan
teknik produksi manual yang sudah berlangsung sebelumnya. Peristiwa besar itu
sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri seni kerajinan tangan pada
umumnya dan seni kerajinan mebel ukir pada khususnya, yang berlangsung hingga
permulaan abad ke-20.
Abad
ke-19 merupakan abad penting dalam pertumbuhan kegiatan industri seni dan
kerajinan di Indonesia. kegiatan industri seni dan kerajinan merupakan bagian
dari kegiatan nonpertanian yang pada awal dekade abad itu kembali menunjukkan
peranannya dalam perekonomian masyarakat Jawa.
Pada
abad ke-19 pemasaran mebel ukir makin berkembang luas, dan sistem kerja upah pun
sudah mulai berkembang. lebih lanjut dikemukakan bahwa di bidang seni
kerajinan, para perajin sudah mendapatkan upah yang lebih tinggi, terutama bagi
mereka yang tinggal di pusat industri mebel ukir seperti di Jepara. Oleh karena
itu, banyak perajin yang berdatangan ke pusat-pusat kota industri untuk bekerja
dan memburu rizki melalui bidang seni kerajinan.
Ketika
pemerintah kolonial
menerapkan sistem tanam paksa pada tahun 1830 terjadilah degradasi nilai pada
perekonomian masyarakat. Hancurnya perekonomian masyarakat tidak hanya menjadi
masalah di kalangan masyarakat Jawa tetapi sudah menjadi masalah masyarakat
Indonesia pada umumnya. Sesudah tahun 1830 kegiatan industri nonpertanian,
khususnya di bidang industri kerajinan kayu di Jawa telah menunjukkan pertumbuhan
dan peningkatan jumlah perajin yang sangat pesat.
Pada
tahun 1833-1850, jumlah perajin mengalami perkembangan dari 1.209.600 orang
menjadi 2.077.550 orang. Dengan demikian, apabila pada awal perkembangannya
terasa sangat lamban, namun setelah terbukti bahwa kegiatan nonpertanian atau
industri kecil itu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat, maka perkembangannya semakin meningkat dengan cepat.
Pada sekitar tahun 1860, produk industri seni kerajinan dan pertukangan menjadi
salah satu alternatif pemecahan masalah ekonomi yang dipandang tepat dan
meyakinkan. Pada tahun 1870, terjadi penurunan jumlah pengusaha industri
nonpertanian, yaitu tinggal 8.000 perajin. Kegiatan perajin yang paling
menonjol adalah pekerjaan pertukangan di bidang pembangunan galangan kapal,
pembuatan perahu layar, pembangunan rumah, dan pembuatan mebel ukir yang pada
bagian tertentu dihiasi dengan ukiran-ukiran.
Pada
tahun 1880, kegiatan industri kecil di Jepara baru mencapai 10,5 persen dengan
jumlah perusahaan 12.215 buah dengan bermacam-macam jenis usaha yang melibatkan
116.456 buruh. Selebihnya sebesar 76,8 persen atau sebanyak 89.332 orang berusaha di bidang pertanian, 7,8 persen atau
9.102orang adalah kaum pedagang, dan 3 persen atau 3.508 orang berusaha di
bidang pelayanan publik.
Melihat
potensi industri yang tumbuh di Jepara pada waktu itu, R.A. Kartini menaruh
perhatian besar untuk mengembangkannya. Pada dekade terakhir abad ke-19, tidak
kurang dari 50 orang tenaga ahli mebel ukir dikumpulkan oleh R.A. Kartini di
kompleks kabupaten Jepara untuk mengerjakan berbagai pesanan. Pesana-pesanan
datang dari berbagai kalangan, di antaranya para bangsawan, orang-orang kaya,
dan para pejabat di Jawa. Selain itu terdapat pula pesanan yang datang dari
orang-orang Eropa.
Pada
akhir abad ke-20 ini perkembangan mebel ukir Jepara memperlihatkan tannda-tanda
kesamaan dengan bentuk-bentuk dan teknik-teknik mebel ukir Eropa Barat pada
masa lampau. hal itu tentu ada hubungannya dengan hadirnya pengusaha dan
investor asing yang turut menanamkan modalnya di daerah Jepara.
Sistem
produksi juga berkembang selaras dengan tingkat kemajuan perusahaan. Perusahaan
yang masih berskala kecil, pada umumnya menggunakan sistem produksi
tradisional, yaitu sistem produksi pembuatan suatu barang yang sejak awal
hingga akhir diselesaikan oleh perajin yang bersangkutan. Adapun beberapa
perusahaan yang berskala besar, terutama untuk perusahaan-perusahaan tingkat
ekspor, umumnya telah menggunakan sistem produksi modern dengan aliran kerja
yang sudah teratur.
Karya buatan tahun 1910-1918 yang
dipamerkan pada tahun1926, dihiasi dengan ornamen berupa motif makara, ular
naga, dan stilisasi tumbuh-tumbuhan. Sebagian dari barang-barang itu dibuat
dengan konstruksi yang sangat dekat dengan rakitan kereta kencana pada zaman
Majapahit. Karya-karya yang dipamerkan di Bandung tampaknya lebih bervariasi,
antara lain bruidsbed (kerobongan)
yaitu tempat tidur raja yang terbuat dari kayu, draag-stoel (jempana) dengan ornamen bentukl garuda dan naga yang
tampak artistik.
Pada
akhir abad ke-20, industri kerajinan mebel ukir tersebut telah menarik
perhatian para pedagang Eropa Barat, Asia, dan Amerika untuk mengembangkan
usahanya di Jepara. Pada dekade ke-7 dan ke-8 abad 20, industri mebel ukir
Jepara mengalami perkembangan pesat diantaranya karena didukung oleh PT. Agung
yang membuka usaha di desa Tahunan.
Pada
waktu itu, Ibu Negara Tien Soeharto sudah menunjukkan peranannya yang sangat
besar. Upayanya yang menonjol adalah memasukkan mebel ukir Jepara ke dalam
interior Istana Presiden, terbukti bahwa di Istana Presiden terdapat ruang
khusus yang disebut dengan ruang Jepara.
Jumlah
perusahaan (unit usaha) yang ada pada beberapa tahun terakhir ini mengalamai
perkembangan yang besar. pada tahun 1991 baru terdapat 1.973 unit usaha
sedangkan tahun 1995 sudah mencapai 2.216 unit usaha. Kenaikan jumlah unit
usaha yang tinggi itu diikuti pula dengan naiknya investasi. Dalam rangka
memperluas jaringan pasar mebel ukir juga telah dilaksanakan berbagai kegiatan
pameran di dalam dan di luar negeri. Selain pameran juga telah diadakan kontak
dagang dengan berbagai pengusaha asing.
BAB
VI
POLA
PERKEMBANGAN DAN PENYEBARAN
Berkenaann
dengan strategi pengembangan industri mebel ukir, Pemerintah Daerah Tingkat II
Jepara telah berusaha keras untuk memperbaiki berbagai sarana dan prasarana
yang mendukung kelancaran usaha perajin. Upaya itu antara lain berkaitan dengan
upaya peningkatan sarana dan prasarana produksi, transportasi, telekomunikasi,
dan pemasaran.
Jaringan
pemasaran melalui berbagai cara dan media juga telah dikembangkan, baik di
tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. Publikasi yang
dilakukan sebagai jabaran usaha promosi diantaranya dilaksanakan melalui
pameran di dalam dan luar negeri.
Industri
mebel ukir Jepara telah jauh berkembang meninggalkan industri sejenis di tempat
lain. Daerah perkembangannya semakin luas, sehingga Sembilan dari dua belas
kecamatan di wilayah Kabupaten Jepara menjadi kawasan industri mebel ukir.
Sudah barang tentu banyak tenaga kerja lokal yang terserap di sentra Industri
tersebut.
Pada
zaman modern ini, komunitas perajin Jepara juga telah menunjukkan kepiawaian
dan keperkasaannya di bidang industri mebel ukir. Kerja keras mereka telah
menghasilkan karya-karya bermutu tinggi yang mampu merebut minat masyarakat dan
pasar internasional. Prestasi itu memacu perkembangan industri mebel ukir,
sekaligus menjadi media berlangsungnya penerusan tradisi bangsa Indonesia
secara berkesinambungan.
Perilaku
perajin pelaksana yang cukup unik dan karakteristik ialah sikap mereka yang
santun dan peduli terhadap perusahaan di mana mereka bekerja. Umumnya mereka
memahami dan peduli terhadap kesulitan pengusaha jika suatu waktu terlambat
gajian. Mereka mau bekerja keras di suatu perusahaan karena perusahaan juga mau
menggaji mereka sesuai dengan yang diharapkan.
Demi
menjaga kelangsungan industri kecil
kerajinan tangan tersebut, maka konsep hubungan antara perajin pelaksana dengan
pengusaha atau juragan seperti dijelaskan di atas perlu dikembangkan. Hal itu
sangat penting artinya bagi kelangsungan pertumbuhan industri mebel ukir pada
khususnya dan industri kecil pada umumnya. Dengan adanya rasa saling mengerti
dan menyadari akan keadaan masing-masing, maka apabila timbul kesulitan, kedua
pihak akan berusaha untuk dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi
sehingga kelangsungan perusahaan tetap dapat terjaga. Para pengusaha yang
senantiasa mempertimbangkan arti pentingnya perajin akan dapat membentuk ikatan
kekeluargaan dengan baik.
Perubahan
demi perubahan telah terjadi dalam perjalanan mebel ukir Jepara seiring dengan
kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia. Diketahui bahwa industri mebel
ukir Jepara memeperoleh peluang besar untuk berkembang lebih jauh, namun disisi
lain eksistensinya dihadapkan pada kenyataan-kenyataan baru yang penuh
tantangan dan hambatan sehubungan lajunya perkembangan dunia yang mengarah ke
pasar global. Telah diutarakan bahwa dewasa ini produk industri mebel ukir
Jepara telah menjadi salah satu andalan ekspor nonmigas.
Perlu
dipahami bahwa kegiatan pembinaan dan pengembangan akan menjadi salah satu
kunci penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantintas indusrti mebel ukir di
Jepara. Upaya pembinaan dan pengembangan itu perlu dilaksanakan secara
terprogram, terpadu, dan kontinyu. Jalur-jalur pembinaan perlu dipertimbangkan
secara seksama sehingga jalur-jalur pembinaan formal maupun non formal
benar-benar dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Pembinaan melalui
jalur formal, antara lain berkaitan dengan peran dan fungsi lembaga-lembaga
pemerintah yang terkait, yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pariwisata,
Seni dan Budaya, Departemen Koperasi, dan Departemen Keuangan, serta
balai-balai latihan yang terkait.
Berkait
dengan pembinaan melalui jalur non formal, antara lain terkait erat dengan peran
dan fungsi berbagai lembaga nonpemerintah diantaranya Kamar Dagang Indonesia,
Dewan Kerajinan Nasional dan Daerah, Asosiasi Profesi terkait, dan
perusahaan-perusahaan yang representatif. Selain itu, dapat diupayakan pula
keterlibatan para pakar swasta, yaitu mereka yang secara mandiri memiliki
reputasi baik sebagai konsultan yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar