Dr.
MATIUS ALI
PSIKOLOGI FILM
Membaca Film Lewat Psikoanalisis
Lacan-Zizek
Bab
1
Tiga
Kata Kunci Psikoanalisis Freud dan Lacan
A.
Sigmund
Freud: Id, Ego dan Superego
Menurut Freud, seni adalah
pemenuhan kehendak yang tidak sadar (unconscious).
1.
Id
:
Energi-energi psikis instingtif paling mendasar dalam jiwa manusia. Ada dua
macam energi, yakni:
·
Eros : Kumpulan energi psikis yang
konstruktif; membangun dan merawat hidup. Wujud konkretnya adalah seksualitas
dalam bentuk libido.
·
Thanatos: Energi psikis yang bersifat
merusak, mendorong kematian, anti-kehidupan. Contoh: agresifitas.
·
Id merealisasikan prinsip kenikmatan (pleasure principle).
2.
Ego:
Prinsip Realitas (Reality Principle).
·
Ego adalah bagian dari Id yang melindungi individu dari
dorongan luar.
·
Ego berperan sebagai jembatan antara Id dan dunia luar yang menjalankan
proses individuasi.
·
Ego berfungsi mengontrol Id dan mengatur Superego.
·
Ego adalah sebagian kesadaran yang
paling dekat dengan dunia luar.
Peranan Ego:
Ego berfungsi untuk merepresi dorongan Id
yang tidak bisa berkompromi dengan realitas. Ego mendamaikan dengan realitas
tersebut. Proses perdamaian terjadi melalui tiga pilihan: pertama, memenuhinya; kedua,
menundanya; dan ketiga,
mentransformasikannya.
3.
Superego:
Suara hati dan EgoIdeal.
·
Superego adalah introyeksi norma-norma
eksternal,larangan tokoh dominan, hukunm yang secara tanpa ampun dipaksakan ke
Ego dan dijadikan miliknya.
·
Ego Ideal adalah Superego yang dipatuhi,
dituruti, dijadikan tokoh ideal dalam mengidentifikasikan tingkah-laku serta
cita-cita yang menyenangkan dan baik.
·
Suara Hati: Superego yang
mengintroyeksikan kaidah baik-buruk dengan sangsi-sangsi berupa hukuman yang
lalu menjadi ‘aturan mental’ si anak.
·
Superego secara langsung memerintahkan
untuk berbuat baik-buruk, sedangkan penentunya adalah Ego.
Contoh:
Film-film A. Hitchcock: The Birds, Vertigo, The Rope dan Psycho.
B.
Jacques
Lacan: The Real, The Imaginary, The Symbolic
1. “Yang
Real” (The Real)
Yang Real adalah dunia sebelum ditangkap oleh
bahasa atau arena yang belum terbahasakan; wilayah gelap yang tidak diketahui
oleh manusia. Kondisi ini adalh semacam
kondisi alami (the state of nature)nya
Thomas Hobbes. Lacan menggambarkannya
sebagai “saat kepenuhan” atau “keutuhan” (wholeness,
unity) yang hilang ketika kita masuk kedalam bahasa. Tetapi yang Real tetap berpengaruh, karena tidak dapat ditembus oleh fantasi
dan struktur linguistik. Yang Real ini
terjadi pada masa seorang anak berusia 0-6 bulan.
The
Real
bukan merupakan bagian dari the symbolic,
tetapi justru arena yang menegaskan the
symbolic dan the imaginary. Ia tidak dapat disatukan kedalam yang
simbolik.
The
Real
merujuk pada dimensi keabadian dari lackness,
sehingga setiap konstruksi yang Simbolik, ada sebagai sebuah jawaban historis
tertentu yang tidak pernah cukup atas lackness. Setiap bentuk yang Simbolis adalah upaya
untuk menembus batas-batas eksternal yang Real.
Keterikatan kita
pada yang Simbolik membuat subjek selalu bergerak ke arah yang Real.
Yang Real adalah suatu wilayah psikis yang
belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan. Yang ada hanyalah pemenuhan utuh dan kesatuan
sempurna. Wilayah yang Real pada mulanya dinikmati oleh subjek sebagai suatu kondisi
yang tidak berkekurangan (pengalaman atau kondisi ibu). Karenanya, tidak ada bahasa didalamnya, tidak
ada kehilangan dan belum ada keterpisahan; sehingga yang Real tidak dimediasi oleh bahasa. Kemudian, yang
Real adalah suatu kehilangan yang tidak dapat diraih kembali, ketika subjek
mulai masuk kedalam bahasa (wilayah
simbolik).
2. “Yang
Imajiner” (The Imaginary)
Yang imajiner
ditandai dengan proses yang disebut “tahap cermin” (mirror stage). Tahap ini
terjadi pada anak yang berusia 6-18 bulan. Menurut Lacan manusia dilahirkan
secara prematur, artinya mereka tidak dapat secara langsung mengkoordinasikan
gerakan dan organ-organ tubuhnya hingga usia tertentu.
Tahap cermin
mencakup dinamisme libidinal disebabkan oleh identifikasi si anak dengan “Aku
ideal” atau “ego ideal”. Tahap ini adalah tahap pengenalan awal dirinya sebagai
“aku”, sebelum kemudian masuk kedalam wilayah bahasa.
3. “Yang
Simbolis” (The Symbolic)
Tatanan simbolik
merupakan wilayah realitas yang telah diungkapkan melalui bahasa. Ia merupakan kerangka impersonal yang berlaku
dalam masyarakat, sebuah arena dimana setiap orang mengambil bagian
didalamnya. Tahap ini terjadi pada
seorang anak yang berusia 18 bulan – 4 tahun.
Tatanan simbolik merupakan ranah makna sosial, logika dan diferensi yang
diterima didalam dan melalui itu si anak mulai menampilkan keinginan dan karenanya
membentuk sebuah subjek manusiawi.
Bagi Kojeve,
manusia pada umumnya adalah keinginan (akan pengakuan). Keinginan menunjukan suatu kekurangan akan
suatu hal atau yang lain. Keinginan
adalah ‘kehadiran dari ketidakhadiran’ (Presence
of absence).
Menurut
Saussure, bahasa dibentuk oleh sistem penandaan yang terdiri atas: signifier dan the signified. Signifier
adalah imaji mental (mental-image)
dari bunyi tanda, sedangkan the signified
adalah konsep yang dialokasikan dengan bunyi tersebut.
Jadi, satu signifier dapat berhubungan atau
digantikan oleh signifier lain,
misalmnya: kata “merah” bisa merujuk pada klub sepak bola Liverpool, komunisme,
berani, malu, panas, terbakar atau darah. Karenanya kita dapat mengakses realita apapun
tanpa melalui hukum penandaan ini.
Hubungan antara
signifier dan the signified adalah kontigen, tidak stabil, maka subjek itu
sendiri selalu bersifat ringkih dan tiidak stabil.
Bab
2
Tahap
Cermin (The Mirror Stage)
Lacan meminjam istilah
‘tahap cermin’ (stade du miroir)
berbekal dari tulisan Henri Walton pada 1931.
Memang Lacan diinsipirasikan oleh tulisan Kojeve’s, yang mengatakan
bahawa untuk menjadi up-to-date pada
tahun 30an, kita harus maju dari filsafat Descartes yang dibangun tas ‘saya
berfikir’ (cogito) ke Freud serta
filsafat Hegel yang berdasarkan pada ‘Saya berhasrat’ (I desire). Desiere disini
adalah Begierdenya Hegel, bukan Wunschnya Freud. Begierde adalah ‘hasrat’ melalui mana hubungan kesadaran dengan
diri diungkapkan: masalahnya adalah mengakui yang lain (the other) atau ke-lain-an (otherness)
sejauh kesadaran menemukan dirinya dalam gerakan ini. Yang lain adalah objek hasrat yang diinginkan
oleh kesadaran dalam hubungan-cermin negatif yang membuatnya mengenali dirinya
di dalamnya. Hasrat (Wunsch, Desire) dalam arti Freudian
adalah lebih dari sekedar sebuah kecenderungan, aspirasi, pemenuhan kehendak
tak sadar. Karenanya, menurut kojeve,
dalam transisi dari filsafat ‘saya berpikir’ ke filsafat ‘ saya berhasrat’,
terdapat sebuah pemisahan antara ‘aku’nya pikiran (hasrat) dan ‘aku’ (ego, moi), dilihat sebagai sumber
kesalahan dan tempat representasi semata.
Menurut Merleau-Pontry,
Lacan memahami esensi Mitos Narsisus secara lebih mendalam dan melampaui apa
yang dikatakan Freud, sehingga membuka jalan bagi sebuah pendekatan
fenomenologis terhadap masalah. Lacan
merevisi serta memperkaya mitos Narsisus; karena begitu mencintai imagenya sendiri, sehingga ia terjun
kedalam air dan mati tenggelam. Memang
Freud adalah orang pertama yang melihat unsur seksual dalam mitos tersebut,
yakni: libido yang diarahkan pada
tubuh si subjek sendiri. Namun Lacan
menggunakan legenda tersebut secara lebih penuh serta menyatukan
komponen-komponen lainnya.
Pada 1949, Lacan
mengubah pendapatnya tentang ‘tahap cermin’.
Sekarang ia menolak konsep Cogito Descartes dan menunjukan pengalaman
psikoanalisis, “Secara mendasar bertentangan dengan semua filsafat yang
diturunkan dari Cogito”. Dalam versi 1966, yang dimasukan dalam Ecrits, ia mengoreksi ceramahnya serta
memperkuat kritiknya atas Cogito: Ia
mengatakan bahwa ‘tahap cermin’ adalah “Sebuah pengalaman yang membimbing kita
untuk menentang filsafat apapun yang berasal dari Cogito” (Ecrits, hal.
1). Kemudian Lacan berkenalan dengan
Antropologi Levi-Strauss.
Bab
3
Membaca
Lacan:Kembali ke Freud
Lacan mulai ‘kembali ke
Freud’ melalui pembacaan linguistik seluruh bangunan psikoanalisis dan
merumuskan dalam satu kalimat: “yang tidak sadar (The unsconsious) itu terstruktur seperti sebuah bahasa”. Persepsi utama tentang yang tidak sadar
adalah bahawa yang tidak sadar merupakan wilayah dorongan-dorongan tidak
rasional (irrational drives), yakni: sesuatu yang bertentangan dengan diri
sadar yang rasional. Bagi Lacan, gagasan
akan yang tidak sadar ini termasuk dalam filsafat hidupnya kaum Romantik dan
tidak ada hubungan dengan Freud.
Ketidaksadaran (Freud) menimbulkan skandal bukan karena klaim bahwa diri
rasional tunduk pada wilayah insting irasional buta yang lebih luas, tetapi
karena ia menunjukan bagaimana yang tidak sadar itu sendiri mematuhi tata
bahasa serta logikanya sendiri: artinya yang tidak sadar itu berbicara dan
berpikir.
Yang tidak sadar (The unsconsious) bukan tempat
penyimpanan dorongan-dorongan liar yang harus dijinakan oleh sang Ego, tetapi
merupakan tempat dimana kebenaran traumatis berbicara dengan bebas. Disinilah letak slogan Freud versi Lacan: “Where it was,I am to became” (Wo es war, sol
lich werden): bukan “sang Ego mengalahkan Id”, tempat tersimpannya
dorongan-dorongan tidak sadar, tetapi saya harus berani mendekati tempat yang
menyimpan kebenaranku”. Apa yang menunggu
saya ‘di sana’ bukanlah sebuah Kebenaran mendalam yang harus saya
identifikasikan, tetapi sebuah kebenaran tidak bertahankan yang harus saya
pelajari, agar dapat hidup bersamanya.
Kebanyakan konsep kunci
Lacan tidak memiliki padanannya dalam teori Freud. Misalnya, Freud tidak pernah
menyebutkan ketiga tahapannya Lacan, yakni: ‘yang Imajiner’ (the Imaginary), ‘yang Simbolis’ (the Symbolic) dan ‘yang Real’ (the Real). Freud juga tidak pernah
berbicara tentang ‘the big Other’
sebagai ‘tatanan simbolis’ (symbolic
order); ia berbicara tentang ‘ego’, bukan ‘subjek’. Istilah-istilah
tersebut diimpor oleh Lacan dari disiplin lain sebagai alat untuk membuat
distringsi yang secara implisit sudah ada dalam pemikiran Freud, walaupun Freud
sendiri tidak menyadarinya.
Jadi tesis lacan adalah
bahwa Freud tidak menyadari akan konsepsi ‘bicara’ (speech) yang sudah terimplikasi oleh teori dan praktik
psikoanalisisnya. Dan kita hanya dapat
mengembangkan gagasan ini jika kita merujuk pada teori linguistik, teori
‘tindak bicara’ (speech-acts)
Saussure dan dialektika pengenalan Hegel.
Menurut Zizek, the big Other beroperasi pada tahap
Simbolis. Lalu, tatanan Simbolik ini
terdiri dari apa saja? Ketika kita bicara atau mendengarkan, kita tidak
semata-mata berinteraksi dengan orang lain; tindak bicara kita bertumpu pada
penerimaan kita terhadap jaringan aturan yang kompleks serta
pengandaian-pengandaian lainnya.
Pertama, ada aturan tata bahasa yang harus saya kuasai secara buta dan
spontan, yakni: jika saya tidak mengikuti aturan-aturan tersebut, bicara saya
akan hancur, berantakan. Kemudian ada
latar belakang partisipasi kita dalam dunai kehidupan yang membuat kita
mengerti satu sama lainnya dalam percakapan.
Aturan yang saya ikuti terbagi dua, yakni: pertama, aturan-aturan serta
makna yang saya ikuti secara buta, karena kebiasaan, tetapi jika saya
berefleksi, paling tidak saya dapat menyadari (seperti aturan tata bahasa); dan
kedua, ada aturan-aturan yang saya ikuti, makna-makna yang membayangi saya
dalam ketidaktahuan (seperti larangan yang tidak sadar).
The
big Other dapat dipersonifikasikan atau didewakan dalam satu
pelaku (agen), yakni: ‘Tuhan’ yang mengawasi saya dari tempat jauh atau gerakan
seperti Kebebasan, Komunisme, Kebangsaan dan untuk mereka saya siap memberikan
hidup saya. Ketika saya berbicara, saya
bukan semata-mata seorang individual (small
other) yang berinteraksi dengan ‘small
other’ lainnya, tetapi the big Other
selalu ada disana.
Bagi Lacan, bahasa
adalah sebuah hadiah bagi umat manusia, yang sama bahayanya dengan kuda Trojan:
artinya, bahasa menawarkan dirinya untuk kita pakai secara gratis, tetapi
sekali kita menerimanya, ia akan menjajah kita.
Tatanan Simbolis muncul dari sebuah hadiah, sebuah penawaran yang
menandai isinya sebagai netral, agar dapat menjadi sebuah hadiah. Ketika hadiah yang ditawarkan diterima, maka
yang menjadi masalah bukan isinya, tetapi hubungan antara si pemberi dan
penerima terbangun, sehingga mereka terlibat dalam sejenis komunikasi simbolis
yang efektif. Setiap tindak komunikatif
juga sekaligus menyimbolkan fakta komunikasi.
Menurut Roman Jokobson, bicara manusia tidak hanya menyampaikan pesan,
tetapi selalu juga secara reflektif menyatakan kumpulan simbol dasar antar
subjek yang berkomunikasi.
Tahap paling elementer
dari pertukaran simbolis adalah yang disebut ‘gestur kosong’ (empty gesture), yakni: sebuah tawaran yang
dibuat atau dimaksudkan untuk ditolak.
Gagasan tentang
hubungan sosial yang dibangun melalui, gestur kosong, membuat kita mampu
mendefinisikannya. Secara tepat apa itu
figur anti-sosial. Apa yang ada diluar
genggaman anti-sosial adalah fakta bahwa “banyak tindakan manusia dilakukan…
hanya demi interaksi itu sendiri.
Penggunaan bahasa yang anti-sosial secara paradoks menyamai standar
gagasan tentang bahasa sebagai sarana komunikasi murni, seperti tanda yang menyampaikan
makna. Ia menggunakan bahasa, tetapi
tidak tertawan disitu. Jadi, jalur anti-sosial benar-benar mempraktikan gagasan
moralitas kaum pragmatis, dimana moralitas merencanakan sebuah tingkah laku
melalui kalkulasi kepentingan kita secara cerdas. Melakukan kejahatan adalah sebuah kalkulasi
yang salah, bukan sebuah tindakan yang salah.
Lacan juga merujuk pada
karya George Lukacs, History and Class Consciousness (1923), bagi Lukacs,
kesadaran (consciousness) diluar
objek yang diketahui, sedangkan kesadaran pada dirinya sendiri adalah bersifat
‘praktis’ (practical), sebuah tindakan yang mengubah objek tersebut. Contoh,
sekali seorang buruh ‘menganggap dirinya termasuk dalam tataran ploretariat’,
ini mengubah realitasnya, artinya: ia bertindak secara berbeda. Jadi, momen
transformasi subjektif yang benar terjadi saat deklarasi, bukan pada saat
tindakan. Momen deklarasi refleksif ini
berarti bahwa setiap ‘ujaran’ (utterance)
bukan hanya menyampaikan isi tertentu, tetapi sekaligus “menyampaikan caranya
subjek menghubungkan diri dengan isinya’.
Kita tidak boleh lupa bahwa kegunaan fungsi sebagai sebuah gagasan
refleksif, yakni: selalu melibatkan pernyataan manfaat sebagai makna.
Claude Levi-Strauss,
seorang antropologi Perancis, menyatakan bahwa baginya, ‘makanan’ (food) juga disajikan sebagai ‘makanan
untuk pikiran’ (food for thought). Ada tiga cara menyiapkan makanan, yakni:
mentah (raw), dibakar atau dipanggang
(boiled) dan direbus (boiled), yang membentuk sebuah segitiga semiotik. Kita menggunaknnya untuk menyimbolkan oposisi
mendasar antara ‘alam’ (nature) dan
‘budaya’ (culture), sedangkan
‘direbus’ (boiled) adalah sebagai
mediasi di antara kedua kutub tersebut.
Hegel adalah orang
pertama yang menafsirkan triad geografis (Jerman, Perancis dan Inggris), yang
mengungkapkan tiga sikap eksistensial.
Orang Jerman yang selalu reflektif, orang Perancis yang terburu-buru
dalam revolusi dan orang Inggris yang pragmatis-utilitaris-moderat. Dalam posisi politik, triad ini dapat dibaca
sebagai: ‘Konservatisme’ (Jerman), ‘Radikalisme Revolusioner’ (Perancis) dan
‘Liberalisme Moderat’ (Inggris). Dan
dalam kehidupan sosial: ‘Metafisika Puisi’ (Jerman), ‘Politik’ (Perancis) dan
‘Ekonomi’ (Inggris).
Bab
4
Subjek
Interaktif dan Interpasif
Interpasifitas adalah
sisi lain dari interaktifitas. Sebagai
contoh interpasifitas adalah acara TV yang diputar di stasiun-stasiun TV. Suara tertawa direkam dan dimasukan kedalam
soundtrack, sebagai reaksi terhadap scene yang komik. Walaupun saya tidak tertawa dan hanya menatap
layar TV setelah seharian kerja keras, namun saya merasa lega setelah
pertunjukan selesai, seolah-olah soundtrack itu telah melakukan ‘tertawa’ buat
saya. Jika kita dapat menangkap proses ini
dengan benar, maka akn muncul istilah “Interpasifitas” sebagai kembaran dari
“Interaktifitas”.
Di dalam dunia politik
dan pendidikan sekarang, bahayanya bukan ‘pasifitas’ tetapi ‘pseudo-aktivitas’,
yakni: dorongan untuk aktif dan berpartisipasi.
Orang selalu intervensi, mencoba untuk melakukan sesuatu; akademisi
berpartisipasi dalam debat yang tidak bermakna.
Hal yang benar-benar sulit adalah untuk melangkah mundur dan menarik
diri darinya. Orang-orang yang memiliki
kekuasaan seringkali bahkan lebih suka dengan sebuah partisipasi kritis hanya
melibatkan kita dalam dialog untuk dipecahkan.
Untuk menghadapi modus interpasifitas, langkah kritis pertama adalah
“mundur kedalam pasifitas” dan menolak untuk berpartisipasi. Langkah awal ini
akan membuka jalan bagi aktifitas sejati, bagi sebuah tindakan yang akan secara
aktif mengubah koordinat suasana tersebut.
Perbedaan antara Freud
dan Lacan adalah jika Freud terfokus pada ‘dinamika pemindahan psikis’ (psychic
dynamics of transference) sebagai sebuah hubungan intersubjektif, artinya
pasien memindahkan perasaan tentang ayahnya kepada sang analisis, sehingga
ketika ia tampaknya berbicara tentang sang analisis ia ‘sebenarnya’ berbicara
tentang ayahnya; maka Lacan meramalkan struktur formal makna yang diandaikan
dari kekayaan empiris fenomena pemindahan.
Banyak pembaca Lacan
gagal menangkap bahwa figur ‘subjek yang diandaiakan tahu’ (subject supposed to
know) adalah sebuah fenomena sekunder, sebuah pengecualian, sesuatu yang muncul
melawan latar belakang yang lebih mendasar dari ‘subjek diandaikan untuk
percaya’ (subject supposed to believe) yang membentuk ciri tatanan simbolis.
Ada sebuah lelucon antropologis terkenal yang mengatakan bahwa ada kelompok
masyarakat primitif yang percaya bahwa mereka berasal dari ikan atau burung dan
ketika ditanya tentang kepercayaan ini, mereka menjawab: “Tentu saja tidak,
saya tidak sebodoh itu!, tetapi saya diberitahukan bahwa sebagian leluhur saya
sebenarnya percaya”. Singkatnya, mereka memindahkan kepercayaan mereka pada
yang lain.
Budaya (culture) muncul
sebagai kehidupan sentral dalam kategori dunia. Budaya adalah hal-hal yang kita
lakukan tanpa benar-benar mempercayainya, tanpa menanggapinya secara serius.
Emosi yang saya lakukan
melalui topeng atau ‘kepribadian palsu’ (false pesona) dapat menjadi otentik
dan benar daripada apa yang saya andaikan, saya rasakan di dalam diri sendiri.
Reality show TV:
kehidupan yang dimasuki disana adalah sama nyatanya, walaupun show ini dibuat
‘untuk kenyataan’ namun orang masih berakting didalamnya, artinya: mereka
semata-mata bermain dengan diri mereka sendiri.
Apa yang kita lihat adalah tokoh-tokoh fiktif, bahkan jika mereka
memainkan perannya yang nyata (real).
Les-non-dupes errant:
orang yang tidak mau masuk kedalam fiksi simbolis, yang hanya mempercayai mata
mereka, adalah yang paling keliru. Apa
yang tidak ditangkap seorang sinis (yang hanya percaya pada matanya) adalah efisiensi
tatanan simbolis, yakni cara bagaimanafiksi ini membangun realitas.
Celah (gap) antara
identitas psikologis langsung dan identitas simbolis saya adalah apa yang
disebut oleh Lacan sebagai ‘pengebirian simbolis’ (symbolic castration), dengan
phallus sebagai penanda (signifer).
Penanda (signifer)
adalah sebuah istilah teknis yang ditemukan oleh Saussure, yang dipakai oleh
Lancan dalam cara yang khas; penanda bukan hanya merupakan aspek material dari
sebuah tanda (sign), sebagai lawan dari ‘maknanya’ (the signifed), tetapi adalh
sebuah fitur, tanda, yang mewakili subjek.
Saya adalah apa saya melalui penanda-penanda yang mewakili saya,
penanda-penanda membentuk atau membangun identitas simbolis saya.
Identitas
simbolissubjek selalu ditentukan secara historis, tegantung pada sebuah
konteks, ideologis yang khusus. Louis
Althusser menyebutnya sebagai ‘interpelasi ideologis’, artinya identitas
simbolis yang diberikan pada kita merupakan hasil dari ideologi penguasa yang
‘menginterpelasi’ kita.
Histeria muncul ketika
seorang subjek mulai mempertanyakan atau merasa tidak nyaman dalam identitas
simbolisnya. Masalh bagi penderita
histeria adalah bagaimana membedakan antara dia itu apa (hasratnya yang
sebenarnya) dan apa yang dilihat atau diinginkan dari orang lain dari dirinya.
Hal ini akan merujuk pada konsep Lacan yang lain, yakni: “Hasrat kita adalah
hasrat yang lain (the other), baik dalam genitif subjektif maupun objektif
hasrat untuk orang lain, hasrat untuk dihasrati oleh yang lain terutama
berhasrat bagi apa yang dihasrati oarng lain.
Cemburu dan kebencian adalah komponen yang membentuk hasrat manusia.
Menurut model Rawls
tentang masyarakat yang adil, kesenjangan sosial dapat ditoleransi hanya sejauh
mereka juga membantu mereka yang ada di tangga sosial bawah, dan sejauh bukan
berdasarkan pada hirarki warisan, tetapi pada kesenjangan alami yang dianggap
bersifat kontigen bukan kebaikan bermakna.
Apa yang tidak dilihat oleh rawls adalah bahwa masyarakat demikian akan
menciptakan kondisi bagi sebuah ledakan kebencian yang tidak terkendali:
artinya, di dalamnya, saya akan
mengetahui bahwa status inferior saya itu dibenarkan sepenuhnya dan akan menghilangkan
kesalahan dari kegagalan saya pada ketidakadilan sosial.
Bab
5
Fantasi
Menurut Lacan
Fantasi mendasar
merupakan hal yang sangat pribadi, karena memberikan subjek ilusi sebuah inti
yang konsisten. Bagi Lacan, fantasi
adalah reaksi defensif atas represi primer yang kemudian juga direpresikan. Fantasi adalah apa yang membentuk hasrat (desire) kita. Zizek memberikan sebuah ilustrasi bagus dalam
televisi tentang bagaimana perbedaan seksual bekerja dalam fantasi. Tulisan-tulisan
Zizek sangat terkonsentrasi pada fantasi maskulin tentang wanita. Psikoanalisis tradisional menyebut trauma
awal ini sebagai ‘kastrasi’ (castration). Represi traumatis pertama ini ditutupi oleh Hukum
Simbolik (Oedipal law), dimana
saringan pengontrolannyamembuat subjek mampu untuk hidup dengannya.
Makna seksual biasanya
dianggap berasal dari fantasi mendasaryang disisipkan diantaranya. Menurut Zizek, fantasi mengamati konsepsi
milik kita sendiri adalah sebuah bentuk fantasi mendasar. Brennan menyatakan bahwa kecenderungan Lacan
untuk mengidentifikasikan wanita sebagai objek fantasi mendasar adalah
konsisten dengan apa yang disebut Brennan sebagai ‘fantasi fondasional’ (foundational fantasy), melalui mana
subjek membayangkan bahawa mereka dapat mengontrol tatanan simbolik (dan yang
politis), karena mereka dapat mengontrol objek-objek (wanita dan komoditi lain)
di dalamnya.
Menurut Zizek, fantasi
muncul sebagai reaksi terhadap ketidakberdayaan tubuh yang terfragmentasi (corp morcele) yang muncul dari kesan
kuat ‘dorongan kematian’ (death drive). Rasa ‘keterpecahan’ (rupture) dan ‘keterpisahan’ (separation)
“dari kehilangan akan dukungan didalam ada (being)”
harus dikurangi atau dihilangkan. Fakta menarik mengenai fantasi ini adalah
bahwa tahap kedua membentuk sebuah perantara niscaya antara keduanya, tetapi
tidak pernah dilaporkan oleh para pasien; keberadaannya hanya bisa disimpulkan..
Penjelasan Zizekdimulai dari kenyataan akan dorongan serta menanamkan bahwa
kepatuhan pada pengawasan adalah kekerasan, keterpecahan dan kesakitan. Pengalaman ini diseksualisasikan dalam arti
bahwa pemotongan traumatis adalah pemotongan seksualitas, kematian dan
simbolisasi.
Secara mendasar,
fantasi tinggal dalam fakta bahwa ia menghancurkan pertentangan standar antara
‘subjektif’ dan ‘objektif’: tentu saja secara definisi, fantasi tidaklah
objektif (merujuk pada sesuatu yang ada secara independen, lepas dari persepsi
subjek); namun fantasi juga tidak bersifat subjektif (sesuatu yang termasuk dalam
atau menjadi milik intuisi pengalaman sadar subjek, produk dari imajinasi
subjek). Jadi, fantasi lebih termasuk
dalam ‘kategori aneh dari subjektif yang objektif (objectively subjective).
Artinya, cara mengadakannya sesuatu, secara objektif tampak demikian,
walaupun bagi kita tampaknya tidaklah demikian.
Pada Maret 2003, Donald
Rumsfeld terlibat dalam suatu perdebatan tentang hubungan antara yang diketahui
(the known) dan yang tidak diketahui
(the unknown). Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu (known knowns); ada hal-hal yang kita
tahu bahwa kita tidak tahu (known unknowns);
serta ada lagi hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown unknowns). Namun kita lupa menambahkan yang ke-empat,
yakni: ‘hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tahu’ (unknown knowns) yang persisnya adalah ‘unconscious’nya Freud, “Pengetahuan yang tidak mengetahui dirinya
sendiri”; dan ini adalah inti dari fantasi (Lacan).
Fantasi adalah sarana
melalui mana jiwa (psyche) menetapkan
hubungannya dengan ‘kenikmatan’ (jouissance). Fantasi tidak bertentangan dengan ‘realitas’:
sebaliknya fantasi adalah apa yang membentuk struktur yang kita sebut realitas
dan menentukan garis bentuk hasrat (desire).
Realitas sendiri dapat berfungsi sebagai sebuah pelarian dari perjumpaannya
dengan the Real. Dalam pertentangan antara realitas dan mimpi,
fantasi berbeda di pihak realitas dan di dalam mimpi kita berjumpa dengan the Real yang traumatis.
Ada ambiguitas mendasar
dalam pengertian tentang fantasi: di satu sisi, fantasi adalah layar (screen) yang melindungi kita dari
perjumpaan dengan the Real; di sisi
lain, secara mendasar fantasi sendiri (apa yang disebut Freud sebagai
fundamental fantasy), yang menyediakan koordinasi dasar dari kemampuan subjek
untuk berhasrat (to desire) – tidak
akan pernah disubjektifikasikan dan harus tetap tinggal (terepresi), agar dapat
berfungsi.
Bab
6
Lacan
dan Kubrick (Fantasi dalam Film Eyes Wide Shut)
Mengapa Lacan
menuliskan the big Other dengan O
huruf besar? Dalam the seminar of Jacques
Lacan, Book III: The Psychoses, Lacan menyamakan the big Other dengan ketidakmungkinan subjek lain untuk menembus,
melampaui ‘tembok bahasa’ meletakkan kita pada kutub lain dari imaji dominan
yang disebut Lacan sebagai the big Other,
yakni: logika sebuah otomatisme yang menjalani pertunjukan, sehingga ketika
subjek berbicara, dia hanya ‘diucapkan’, melupakan dirinya dan bukan menjadi
tuan rumahnya sendiri. Pandangan Lacan
terfokus pada dialektika intersubjektif pengenalan; kemudian ia mengajukan
mekanisme tanpa nama yang mengatur interaksi subjek (dari Fenomenologi ke
Strukturalisme), the big Other adalah
tatanan simbolis tanpa nama yang disubjektifikasikan.
Lacan mendefinisikan
cinta sebagai: “Cinta adalah memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya..”, harus
ditambah dengan... “Kepada orang yang tidak menginginkannya”.
Fungsi utama tatanan
simbolis beserta hukum dan kewajibannya adalah untuk membuat koeksistensi kita
dengan orang lain minimal dapat tertahankan: pihak ketiga harus masuk diantara
aku dan tetanggaku, agar hubungan kami tidak meletus dalam kekerasan.
Dalam kosmologi
Pra-Kantian, manusia semata-mata adalah manusia yang memiliki akal budi,
berjuang melawan nafsu hewani dan kegilaan yang ilahi, sedangkan dalam filsafat
Kantekses yang harus diperjuangkan bersifat imanen serta menyangkut inti
subjektifitas itu sendiri. inilah alasan
mengapa dalam Idealisme Jerman, metafora untuk subjektifitas adalah ‘Night’ (Night of the World), berbeda
dari gagasan Pencerahan tentang ‘Cahaya Akal-budi’ (Light of Reason) yang berjuang melawan kegelapan disekitarnya.
Menurut pandangan
standar, dimensi subjektifitas adalah dimensi fenomenal pengalaman diri: Saya
adalah seorang subjek, pada saat saya dapat mengatakan pada diriku, “Tidak
peduli mekanisme tak diketahui apapun yang mengatur tindakan, persepsi dan
pikiranku, tidak seorangpun dapat mengambil dariku apa yang kulihat dan apa
yang kurasakan sekarang.
Menurut Freud subjek
yang tidak sadar muncul hanya ketika aspek kunci dari pengalaman subjek
(fantasi mendasarnya) tidak terakses baginya, secaraprimordinal terrepresi.
Secara radikal, bagian tidak sadar adalah fenomena yang tidak terakses, bukan
mekanisme objektif yang mengatur pengalaman fenomenal saya. Jadi, ciri subjektif manusia yang benar
adalah jurang (gap) yang memisahkan
keduanya, yakni: Fakta bahwa fantasi, secara paling mendasar, menjadi tidak
terakses oleh subjek. Ketidakteraksesan
inilah yang membuat subjek menjadi ‘kosong’ (empty).
Sebuah hubungan yang
sama sekali meruntuhkan gagasan standar tentang subjek yang mengalami dirinya
secara langsung melalui kondisi psikisnya: ada sebuah hubungan aneh antara
subjek non-fenomenal yang kosong dan fenomena yang tetap tidak terakses bagi
subjek. Dengan kata lain, psikoanalisis memperbolehkan kita untuk merumuskan
sebuah fenomenologi paradoks tanpa subjek fenomena muncul bukan sebagai
fenomena ‘dari’ (of) seorang subjek,
tetapi muncul ‘bagi’ (to) seorang
subjek.
Jika fungsi mimpi
adalah untuk memperpanjang tidur, jika mimpi dapat memndekati realitas yang
menyebabkannya, tidaklah kita dapat mengatakan bahwa mimpi berkores-pondensi
dengan realitas ini tanpa bangun dari tidur? Namun, memang ada hal yang disebut
aktifitas somnabulistis.
Dalam seni kontemporer,
kita seringkali menjumpai usaha keras untuk kembali ke the Real, mengingatkan
penonton atau pembaca bahwa ia melihat fiksi, membangunkan dirinya dari sebuah
mimpi indah.
Apa yang kita hadapi
disini adalah ambiguitas mendasar dari ide tentang fantasi. Walaupun fantasi adalah layar yang melindungi
kita dari perjumpaan dengan the Real,
namun fantasi sendiri secara paling mendasar-apa yang disebut Freud sebagai
‘fantasi fundamental’, yang menyediakan koordinat paling mendasar dari
kemampuan subjek untuk berhasrat-tidak pernah mendapat disubjektifikasikan dan
harus tetap terrepresi agar dapat berfungsi. Dalam film Stanley Kubrick, Eyes
Wide Shut, mengingatkan kita pada kesimpulan yang tampaknya fulgar. Bagi Lacan, tanggung jawab etis terakhir
adalah sebuah penyadaran sejati: artinya bukan hanya sadar dari tidur atau
mimpi, tetapi juga sadar dari pesona fantasi yang mengendalikan kita bahkan
ketika kita dalam keadaan sadar.
Bab
7
The
Real dalam Film Alien
Lamella
adalah suatu bentuk ekstra datar yang bergerak seperti amuba. Ia dalah sedikit
lebih rumit, namun ia pergi kemana-mana. Dan karena ia adalah sesuatu yang
terkait dengan kehilangan yang dialami oleh makhluk seksual dalam seksualitas.
Lamella adalah libido melalui insting hidup yang murni, yakni: hidup abadi,
hidup yang tidak terrepresi, hidup yang tidak membutuhkan organ tubuh, hidup
yang tidak terhancurkan. Lamella
adalah apa yang dikurangi dari makhluk hidup berdasarkan fakta bahwa ia tunduk
pada siklus reproduksi seksual.
Seperti apa yang
dikatakan oleh Lacan, bahwa lamella
itu tidak ada, tidak nyata, sebuah entitas kemiripan murni (pure semblance), sebuah penampakan jamak
yang tampaknya melihat kekosongan pusat-statusnya adalah murni bersifat
fantasmatis. Dorongan libido yang tidak terhancurkan adalah apa yang disebut
Freud sebagai ‘dorongan kematian’ (death
drive). Freud menyamakan dorongan kematian dengan ‘paksaan untuk
mengulangi’ (compulsion to repeat),
sebuah dorongan aneh untuk mengulangi pengalaman menyakitkan masa lalu yang
tampaknya tumbuh melampaui batas-batas alami organisme yang dipengaruhi serta
bertahan terus bahkan sesudah kematian organisme tersebut.
Bentuk kehidupan alien
adalah kehidupan yang semata-mata kehidupan, hidup sebagai demikian: ia bukan
merupakan suatu spesies khusus seperti esensi sebuah spesies, menjadi makhluk,
makhluk alami – ia adalah Alam atau Kodrat (Nature)
yang berinkarnasi atau yang sublim, wadah mimpi buruk wilayah alami yang
dimengerti sebagai sama sekali lebih rendah, dihabiskan oleh, dorongan-dorongan
Darwinian untuk bertahan hidup dan berproduksi.
Bahwa the Real yang
ilmiah adalah persis apa yang sama sekali tidak kita miliki. Secara menyeluruh, kitaterpisah darinya… kita
sama sekali tidak akan pernah menjelaskan hubungan antara makhluk bahasa (parletres) yang secara seksual kita
sebut sebagai lelaki dan makhluk bahasa lain yang secara seksual kita sebut
sebagai wanita.
Kita harus membuat distingsi
antara I’object petit a sebagai
‘penyebab hasrat’ dan sebagai ‘objek hasrat’. Jika objek hasrat adalah
semata-mata objek yang diinginkan, maka penyebab hasrat adalah ciri istimewa
yang membuat kita menginginkan objek tersebut, detail kecil yang biasanya tidak
kita sadari serta seringkali bahkan disalah-artikan sebagai sebuah hambatan,
meskipun kita menginginkan objek tersebut.
Sikap melankolis adalah
awal dari filsafat. Status objek penyebab hasrat adalah sebuah anamophosis yaitu sesuatu yang jika
dilihat dari depan, bukan apa-apa, hanya merupakan sebuah kekosongan. Artinya,
ia hanya mendapatkan bentuk tertentu ketika dilihat secara miring.
‘Objek kecil lain’ (object petit a) ini adalah sebuah
entitas yang tidak memiliki konsistensi substansial, yang pada dirinya sendiri
adalah ‘bukan apa-apa, tetapi kekacuan’; dan yang mendapatkan bentuk tertentu
hanya jika dilihat dari sebuah pendirian miring dari hasrat serta ketakutan
subjek-jadi, hanya merupakan sebuah ‘bayangan dari apa yang tidak ada’.
Object a merupakan
objek aneh yang buak apa-apa, melainkan inskripsi subjek itu sendiri dalam
bidang objek, dalam samaran sebuah bisul yang hanya mengambil sebuah bentuk,
ketika bagian bidan ini terdistorsi oleh hasrat subject secara anamorfosis.
Lacan mencapai sebuah
pembalikan yang dapat dicerahkan oleh bagian teori relativitas Einstein, yakni:
dari yang partikular ke yang universal. Karena teori khusus sudah
memperkenalkan ide tentang ruang lengkung, maka ia melihat lengkungan ini
sebagai akibat dari materi: kehadiran materi yang membuat ruang menjadi
lengkung, artinya hanya sebuah ruang kosong saja tidak akan bisa dilengkungkan.
Paradoks ini dapat
diselesaikan dengan membedakan antara objek dan penyebab hasrat. Betapapun
dekatnya saya dengan objek hasrat tersebut, penyebabnya tetap tinggal di tempat
yang berjarak, menipu.
Solusi Freud terhadap
pertentangan antara mendekat atau menjauhnya subjek dari objek hasratnya dan
‘kecepatan tetap’ (dan jarak darinya) dari objek penyebab hasrat tinggal
didalam ‘ruang lengkung sang hasrat’ (curved
space of desire).
Jalan tersingkat untuk merealisdasikan
sebuah hasrat adalah dengan menghindari objek tujuannya, yakni mengambil jalan
putar dan menunda perjumpaannya.
Bab
8
Ego-Ideal
dan Super-Ego dalam Casblanca
Freud memakai tiga
istilah khusus untuk agensi yang mendorong subjek untuk bertindak secara etis,
yakni: Ego-Ideal (Idealich),
Ideal-Ego (Ich-ideal) dan Super Ego (Uber-Ich). Lacan memperkenalkan sebuah
distingi yang tepat antara ketiga istilah ini: ‘Ego-Ideal’ berarti imaji-diri
subjek yang diidealkan (cara saya ingin menjadi, cara saya ingin orang lain
melihat saya); ‘Ideal-Ego’ adalah agensi yang tatapannya (gaze) saya coba untuk impresikan dengan imaji-ego saya, yakni the
big Other yang mengawasi serta memaksa saya untuk memberikan yang terbaik,
ideal yang saya coba ikuti dan aktualisasikan.
Super ego adalah agensi
yang sama dalam aspek yang sadistis, dendam serta menghukum. Super ego itu
tidak ada urusannya dengan suara hati moral sejauh menyangkut tuntutannya yang
paling diwajibkan, sebaliknya super ego adalah agensi anti-etika, stigmatisasi
penghianatan etis kita. Bagi Lacan agensi yang benar adalah agensi keempat yang
tidak terdapat dalam triadnya Freud, yakni: ‘hukum sang hasrat’ (the law of
desire), hukum yang memberitahukan anda untuk bertindak sesuai dengan hasrat
anda.
Dalam bahasa Lacan,
pada saat kritis ‘tiga setengah detik’, Ilse dan Rick tidak melakukannya untuk
the big Other (dalam hal ini adalah kepantasan penampilan publik yang tidak
boleh dilukai), tetapi mereka memang melakukannya untuk imajinasi fantasmatis
kita yang kotor. Ini adalah struktur transgresi inheren pada titik paling
murni. Kesadaran bahwa mereka tidak
melakukannya, justru memberikan kendali bebas bagi kesimpulan yang berlawanan.
Penampakan memang mempunyai arti: Anda dapat memiliki fantasi kotor yang banyak,
tetapi itu berarti bahwa versi yang lebih tidak menunjukan tanda bersalah akan
diintegrasikan kedalam wilayah publik hukum simbolis seperti yang direkam oleh
the big Other.
Akibat tambahan yang
jahat ini, bukan mengancam sistem dominasi simbolis, malah merupakan transgresi
yang tertanam didalamnya, bahwa hukum publik memerlukan dukungan dari kecabulan
Super-Ego tersembunyi, sekarang menjadi lebih aktual dari sebelumnya.
Walaupun melanggar
aturan komunis yang sudah jelas, sandi demikian semangat komunitas pada bentuk yang
paling murni, dengan menjalankan tekanannya pada individu untuk memainkan
identifikasi kelompok. Berlawanan dengan hukum yang tertulis, sandi Super-Ego
cabul demikian pada dasarnya dibicarakan secara rahasia di suatu tempat yang
tidak kelihatan orang.
Apocalypse Now adalah
bahwa kekuatan menghasilkan eksesnya sendiri, yang harus dihancurkan dalam
sebuah operasi yang mencerminkan apa yang dilawannya.
Bab
9
Lacan
dan Hitchcock
1.
”Yang
Lain Tidak Harus Mengetahui Semuanya”
(The Other Must Not Know All)
Salah
satu adegan kunci dalam film Hitchcock, Saboteur
adalah tarian pengumpulan dana yang diadakan di istana seorang mata-mata Nazi
kaya, menunjukkan cara bagaimana kedangkalan the big other (bidang etiket, aturan sosial dan tata-krama) tetap
menjadi tempat dimana kebenaran ditentukan dan karenanya menjadi tempat dimana
permainan dijalankan.
Titik
kritis yang harus dicatat adalah bahwa situasi ‘tatapan impoten’ tidak pernah
bersifat ganda, artinya: tidak pernah hanya merupakan konfrontasi antara
seorang subyek dan musuhnya.
Jika
kita mempunyai tiga unsur, yakni: pertama,
orang ketiga(innocent) yang melihat
semuanya, tetapi gagal untuk menangkap makna sebenarnya dari apa yang
dilihatnya; kedua, agen yang
bertindak dalam samaran, seolah-olah hanya mengikuti aturan permainan sosial
yang terjadi – memberikan sebuah pukulan menentukan pada musuh; dan ketiga, adalah musuh itu sendiri, yakni:
pengamat impoten yang mengerti sepenuhnya implikasi sebenarnya dari tindakan
tersebut, tetapi dikutuk sebagai peran seorang saksi pasif, karena tindakan
netralnya akan menimbulkan kecurigaan orang ketiga (innocent), yakni the big Other.
2.
Pemindahan
Rasa Bersalah (Transference of Guilt)
Gagasan
tentang the big Other (tatanan simbolik)
didasarkan pada penipuan ganda khusus yang menjadi jelas dalam sebuah adegan
kayra Marx Brothers, Duck Soup,
dimana Groucho membela clientnya di depan pengadilan hukum dengan mengikuti
argumen yang memihak pada kegilaannya.
Titik
sangat penting di sini adalah bahwa ‘pemindahan rasa bersalah’ ini tidak
menyangkut interior psikis tertentu, sebagian terrepresi, hasrat yang ditolak
dan tersimpan dalam di bawah topeng kesopanan, tetapi disebaliknya, merupakan
sebuah jaringan hubungan intersubyektif luar yang radikal.
Perbedaan
ciri utama yang tidak dapat disematkan pada kualitas positif tertentu adalah
apa yang disebut oleh Lacan sebagai le
trait unaire, yakni: ciri tunggal, sebuah titik identifikasi simbilos,
tempat melekatnya subyek yang Real.
Tesis
Lacan bahwa ”The big Other tidak
memiliki eksistensi”, berarti the big
Other tidak eksis sebagai subyek sejarah; ia tidak diberikan sebelumnya
serta tidak mengatur aktifitas kita secara teleologis. ‘Tujuan’ (telos) selalu merupakan sebuah ilusi
retroaktif dan “kondisi-kondisi yang secara esensial merupakan hasil tambahan”
adalah sangat kontingen. Dengan latar belakang inilah kita harus mendekati
definisi klasik Lacan tentang komunikasi, dimana pembicara menerima dari orang
lain, pesannya sendiri dalam bentuk terbalik yang sebenarnya. Justru dalam
“hasil tambahan esensial” dari aktifitasnya dalam hasil yang tidak terduga
bahwa pesannya adalah benar, makna efektif dikembalikan ke subyek. Masalahnya
adalah bahwa subyek tidak selalu siap untuk mengenalinya dalam kekacauan, yang
menghasilkan makna sebenarnya dari tindakannya.
3.
Wanita
Tidak Ada (Woman deosn’t exist)
Karena
status sentral penipuan di dalam hubungan dengan tatanan simbolis, maka kita
harus menariksebuah kesimpulan yang radikal: Satu-satunya cara agar ‘tidak’
tertipu adalah dengan mempertahankan jarak dari tatanan simbolis, yakni:
menerima posisi seorang psikotis. Seorang psikotis persisnya adalah seorang
subyek yang ‘tidak ditipu oleh tatanan simbolis’.
Kesalahan
seorang paranoid tidak terletak di dalam ketidakpercayaannya yang radikal,
yakni dalam keyakinan bahwa ada sebuah penipuan universal – di sini dia memang
benar, karena tatanan simbolis adalah tatanan tertinggi dari penipuan mendasar
– tetapi dalam kepercayaannya terhadap seorang agen tersembunyi yang
memanipulasi penipuan ini dan mencoba menipunya untuk menerma bahwa “Wanita itu
tidak ada”.
4.
Sublimasi
dan Kejatuhan Objek
Sublimasi
biasanya disamakan dengan deseksualisasi, yakni: dengan pemindahan (displacement) cathexis libido dari objek ‘kasar’ yang diduga untuk memuaskan
dorongan mendasar tertentu menjadi sebuah bentuk kepuasan ‘tinggi’ (elevated) dan ‘sopan’ (cultivated). Daripada membuat sebuah
serangan langsung terhadap wanita, kita lebih baik mencoba membujuk, merayu dan
menaklukannya dengan menulis surat serta puisi cinta; daripada memukul musuh
kita sampai tidak sadar, lebih baik kita menulis sebuah esai yang menghilangkan
kritik terhadap dirinya – ‘tafsir’ psikoanalisis dangkal akan mengusulkan bahwa
aktifitas puitis kita hanya merupakan sebuah cara yang sublim dan secara tidak
langsung menyediakan bagi kebutuhan tubuh, kritik canggih kita, yakni sebuah
penyaluran kembali (rechanneling)
agresi fisik kita secara sublim.
Lacan
berbeda pendapat tentang masalah derajad nol kepuasan yang mengalami sebuah
proses sublimasi. Titik awalnya bukan merupakan obyek yang dinyatakan langsung,
kepuasan ‘kasar’, tetapi kebalikannya, yakni: kekosongan primordial di sekitar
mana dorongan beredar, ‘kekurangan’ (the
lack) yang menerima eksistensi positif dalam bentuk Thing yang tidak berbentuk (Thing
menurut Freud adalah substansi kenikmatan yang tidak mungkin untuk
dicapai). Objek sublim persisnya adalah “sebuah objek yang diangkat ke martabat
Thing”, artinya sebuah objek biasa,
objek sehari-hari yang mengalami semacam transsubstansi dan mulai berfungsi
dalam ekonomi simbolis subyek sebagai sebuah perwujudan Thing yang tidak mungkin, yakni : ‘Ketiadaan’ (Nothingness) yang sudah di materialisasikan.
5.
Phallic
Anamorphosis
Menurut
S. Zizek, ada lima variasi bentuk ‘aneh’ (uncanny)
dalam film-film Hitchcock:
a. Dalam
film Rope: yang pertama muncul di
sini adalah ‘tempat kejadian’ (spot)
dan kemudian situasi kehidupan desa sehari-hari, yakni: pesta (party) yang dibangun untuk menutupinya.
b. Film
The Man Who Knew Too Much: Dalam
sebuah scene pendek dimana sang tokoh
(James Stewart) menuju tempat ahli mengisi tubuh hewan yang mati dengan kapas (taxidermist), Ambrose Chappell; jalan
yang dilalui digambarkan seolah-olah dipenuhi oleh suasana sinis, tetapi
sebenarnya jalan tersebut hanya merupakan sebuah jalan biasa di pedesaan
London, agar ‘noda’ satu-satunya di dalam gambar tersebut adalah ‘tokoh itu
sendiri’, yakni: tatapan curiganya sendiri yang melihat ancaman dimana-mana.
c. Film
The Trouble with Harry: Sebuah ‘noda’
(sebuah tubuh) mencoreng kehidupan sehari-hari pedalaman kota Vermont, tetapi
orang-orang yang tersandung, tidak memberikan reaksi traumatis provokatif,
malah memperlakukannya sebagai sebuah ganggaun kecil serta melanjutkan kegiatan
mereka sehari-hari.
d. Film
Shadow of a Doubt: ‘Noda’ di sini
adalah paman Charlie, karakter inti dalam film, seorang pembunuh patologis yang
bergabung dengan keluarga adik perempuannya di sebuah kota kecil di Amerika. Di
mata penduduk setempat, dia adalah seorang dermawan ramah; hanya keponakannya
(Charlie) yang ‘mengetahui terlalu banyak’ dan melihat dia sebagaimana adanya –
Mengapa ? Jawabannya terletak pada kesamaan identitas mereka: artinya Mereka
berdua membentuk dua bagian dari satu personalitas yang sama (seperti Marion
dan Norman dalam film Psycho).
e. Film
The Birds: Merupakan ironi terakhir
Hitchcock, dimanaunsur tidak alami (unnatural)
yang mengganggu kehidupan sehari-hari adalah burung-burung, yakni: alam itu
sendiri.
6.
Noda
Sebagai Tatapan the Other
Bagian
akhir film Rear Window, menunjukkan
secara sempurna bagaimana objek gairah yang mendorong gerak tafsir akhirnya
adalah tatapan (gaze) itu sendiri.
Film
Rear Window mendeklarasikan film-film The Man Who Knew Too Much, Psycho dan The Birds. Pertama-tama, suara ini
mengubahnya menjadi sebuah lagu sedih yang janggal, lewat mana Doris Day
(penyanyi) mencapai anaknya yang diculik (lagu Que sera sera), kemudian menjadi suara sang ibu yang sudah mati,
yang menghantui Norman sampai akhirnya suara burung yang menggaok secara
semrawut.
7.
The Tracking Shot
Prosedur
formal yang dipakai oleh Hitchcock untuk mengisolasikan noda (stain), sisa dari the Real yang ‘menjulur keluar’ adalah ‘tracking shot’.
Tracking
shot ini mengingatkan kita pada struktur yang
diperkenalkan oleh Moebius, yakni: Dengan bergerak menjauhi sisi realitas,
tiba-tiba kita berada di sisi the Real
yang pencabutannya malah membentuk realitas.
Jika
montase adalah proses ‘anal’ (Tahap anal adalah tempat metafora – satu objek
untuk yang lain, memberikan kotoran atau faeces
sebagai ganti dari phaulus) yang
sempurna, maka ‘tracking shot’nya
Hitchcock mewakili titik dimana ekonomi ‘anal’
berubah menjadi ’phallic’. Montase
membawa pemaknaan metafora tambahan yang muncul dari penjajaran fragmen-fragmen
yang terkait. Lacan menekankan bahwa metafora dalam ekonomi libidinal adalah
sebuah proses anal yang nyata:
artinya kita memberikan sesuatu (shit)
untuk mengisi kekosongan, yakni mengejar apa yang tidak kita miliki.
Selain
tracking pada titik nol, kita
mendapatkan paling tidak tiga varian lainnya dalam film Hitchcock:
a. Tracking shot ‘histeris’
yang tergesa-gesa: Sebagai contoh dalam
film The Birds, dimana kamera tidak
bergerak terlalu cepak ke arah titik melalui jumb cuts.
b. Tracking shot
terbalik yang dimulai dari sebuah detail aneh dan mundur ke pandangan keseluruhan
realitas: Perhatikan long shot dalam Shadow of a Doubt, dimulai dengan tangan
Teresa Wright yang memegang cincin pemberian pamannya (seorang pembunuh) dan
kemudian mundur ke belakang dan ke atas, pada pandangan keseluruhan ruang baca
perpustakaan, dimana dia (Teresa) hanya tampak seperti sebuah titik kecil di
tengah frame; atau tracking shot terbalik dalam film Frenzy.
c. Paradoks
‘trackng shot statis’ dimana kamrea
tidak bergerak: Perubahan dari realitas ke the
Real dicapai dengan mencampurkan objek heterogen ke dalam frame. Sebagai contoh adalah dalam film The Birds, dimana perubahan demikian
dicapai dalam jangka waktu satu shot
tetap yang panjang.
8.
Superego
Maternal: Mengapa burung-burung menyerang?
Yang
harus kita ingat adalah isi libidinal noda (blot)
a la Hitchcock: walaupun logikanya
bersifat phallic, noda tersebut
memberitahukan sebuah agensi yang mengganggu serta menghalangi aturan ‘Nama
sang Ayah’ (Nom du Pѐre): artinya, noda tersebut
mematerialisasikan Superego Maternal.
Secara
Ekologis, judul film ini dapat dibaca sebagai “Burung-burung Dunia,
Bersatulah!”(Birds of the World, Unite!):
Secara ekologis, burung berfungsi sebagai sebuah pemadatan (kondensial) alam yang
tereksploitasi manusia yang berlebihan.
9.
Perjalanan
dari Oedipus ke Narsisisme Patologis
Dimana
kita harus meletakkan posisi Superego Maternal dalam totalitas karya Hitchcock?
Kita
dapat melihat bagaimanaketiga versi ketidakmungkinan hubungan seksual dalam
film-film Hitchcock, sebenarnya merujuk pada ketiga bentuk ekonomi libidinal.
Pertama, tahap perjalanan awal dengan rintangan yang menggerakkan hasrat
reunifikasi, tertanam kuat dalam ideologi klasik subjek ‘otonom’ yang diperkuat
melalui cobaan berat; Kedua, tahap tokoh ayah yang pensiu menyebabkan
kemunduran subjek ‘otonom’ yang dilawankan dengan tokoh (hero) yang berjaya, dingin dan ‘heteronom’; dan tahap Ketiga adalah
tokoh khasnya Hitchcock pada tahun 1950an-1960an dengan ciri ‘narsisme
patologis’ yang didominasi oleh figur Superego maternal cabul. Jadi, Hitchcock
selalu mementaskan pergolakan keluarga dalam masyarakat kapitalisme tua;
‘rahasia’ yang real dalam filmnya adalah selalu rahasia keluarga, sebuah
kebalikan yang suram.
10. Sebuah Eksperimen Mental: Burung
Tanpa Burung
Walaupun
burung yang ditampilkan Hitchcock memang memberikan wujud pada agensi Super-ego
maternal, hal pokok adalah tidak menangkap hubungan antara kedua ciri yang
sudah dijelaskan sebagai sebuah tanda hubungan, sebuah kolerasi antara ‘simbol’
dan ‘makna’nya.
Karenanya,
jelaslah mengapa film The Birds,
menurut Francois Regnault merupakan film yamg mengakhiri sistem Hitchcock:
artinya, burung-burung sebagai inkarnasi akhir dalam Bad Objectnya Hitchcock adalah sebagai rekan dari kekuasaan hukum
maternal dan persis hubungan dengan Bad
Object yang mempesona serta hukum maternal yang menetapkan inti fantasi
Hitchcock.
11. Montase Hitchcock
Montase
biasanya dilihat sebagai sebuah cara menghasilkan potongan-potongan film,shot-shot individual yang terputus, dari
fragmen-fragmen the Real, sebuah efek
‘ruang sinematis’ (cinematic space).
Kita
sudah menjelaskan bahwa unsur pokok mendasar dari dunia Hitchcock adalah yang
disebut ‘noda’ atau ‘bintik’ (spot).
Fungsi ‘tracking shot’ Hitchcock yang
terkenal adalah justru untuk menghasilkan sebuah noda: artinya, dalam tracking shot, kamera bergerak dari
sebuah shot yang mantap ke close-up sebuah detail yang tetap
menjadi sebuah noda yang kabur, yakni: bentuk sejati dari apa yang hanya dapat
diakses melalui ‘pandangan dari samping’ yang anamorfotis.
Dalam
montase Hitchcock ada dua shot yang
diperbolehkan dan yang dilarang. Yang diperbolehkan adalah shot objektif dari orang yang mendekati Thing dan shot subjektif
yang mempresentasikan Thing seperti
yang dilihat orang tersebut. Yang dilarang adalah shot objektif dari Thing,
dari objek ‘aneh’ dan terutama shot
subjektif orang yang mendekati dari perspektif objek ‘aneh’ itu sendiri.
12. Dorongan Kematian (Death Drive)
Momen
montase Hitchcock – momen dimana Oscar mendekati Sylvia – merupakan momen
dimana Oscar menerima hasrat Sylvia sebagai hasratnya sendiri atau merujuk pada
definisi Lacan tentang hasrat histeria sebagai hasrat the Other.
Bab 10
Subjek Model Lacan
Teori Lacan terbaca
seperti sebuah narasi klasik, yakni: mulai dengan kelahiran (birth), kemudian bergerak melalui wilayah
tutub, tahap cermin, akses pada bahasa dan kompleks Oedipus. Wilayah bahasa dan
kompleks Oedipus termasuk dalam wilayah yang disebut Lacan sebagai ‘tatanan
simbolik’ (the symbolic order), serta
menandai kematangan subyek didalam budaya. Setiap tahap narasi dimengerti
sehubungan dengan ‘kehilangan atau kekurangan-diri’ (self-loss/lack).
1.
Kelahiran,
Pemetaan (Mapping) Wilayah dan The
Lack
Konsep
tentang ‘kekurangan’ (lack) selalu
muncul dalam tulisan dan seminar Lacan. Konsep ini menggambarkan setiap momen
dalam perkembangan subjek. Lacan mengikuti Aristophanes, percaya bahwa solusi
satu-satunya bagi kehilangan yang dialami subjek sebagai akibat pembagian
seksualitas adalah heteroseksual atau melahirkan (procreation).
Dialektika
kedatangan subjek sebagai adanya sendiri, sehubungan dengan ‘yang Lain’ (the
Other) – terkait dengan fakta bahwa subjek bergantung pada penanda (signifier) dan penanda adalah termasuk
dalam wilayah the Other. Kekurangan ini mengambil kekurangan yang lain, yakni:
the Real. Kekurangan sebenarnya adalah kehilangan bagian diri melalui makhluk
hidup (manusia), dalam memproduksi dirinya secara seksual, telat jatuh dalam
pukulan berupa kematian individual.
Menurut
Lacan, skenario pembedaan seksual dari budaya ke dalam mana subjek kemudian
diasimilasikan, menunjukan ‘jalan’ menuju ‘pemenuhan seksual’, yakni: jalan
menuju keselamatan personal. Kata ‘innocent’
adalah sangat inspiratif, karena menunjukan bahwa kompleks Oedipus
mengakibatkan diferensi seksual yang ditemukan pada saat kelahiran, dan ide
tentang “the lack” adalah sesuatu
yang dipelajari subjek hanya setelah subjek masuk ke dalam tatanan simbolis.
Aliran
libido diarahkan pada asimilasi menyeluruh dari segala sesuatu yang dialami
sebagai menyenangkan dan tidak ada batas-batas yang dikenali. Freud menyebut
posisi ini sebagai oceanic self atau
Lacan lebih menyukai istilah I’hommelette.
2.
Yang
Imajiner (The Imaginary)
Yang
imajiner adalah istilah yang dipakai Lacan untuk menunjukan tatanan pengalaman
subjek yang di dominasi oleh identifikasi dan dualitas. Dalam skema Lacan, yang
Imajiner bukan hanya mendahului tatanan simbolis yang memperkenalkan subjek pada
bahasa dan segitiga Oedipus (bapak-ibu-anak), namun harus bereksistensi
bersamanya di kemudian hari.
Menurut
Slavoj Zizek, yang Imajiner ditandai dengan proses yang disebut tahap cermin.
Lacan berpendapat bahwa pada dasarnya manusia lahir secara prematur dalam arti
bahwa mereka tidak dapat dengan segera mengkoordinasi gerakan serta organ-organ
tubuhnya hingga usia tertentu.
Lacan
menekankan bahwa ‘pengenalan-diri’ (self
recognition) adalah sebuah pengenalan yang salah (mis-recognition); karena subjek mengerti dirinya hanay melalui
sebuah konsepsi fiksional dimana ciri-ciri yang membatasi, -seperti fokus,
koordinasi dll- tidak dimiliki bersama.
Keterombang-ambingan
radikal antara emosi-emosi bertentangan sehubungan dengan objek yang sama
merupakan ciri khas dari semua hubungan pada tatanan Imajiner. Selama subjek
masih tetap terperangkap di dalam tatanan itu, ia tidak akan mungkin dapat menjembatani
atau mengindarkan diri dari oposisi biner yang membangun seluruh struktur
persepsi.
Hubungan
antara tatap cermin dan kompleks Oedipus, yakni: antara identifikasi pra dan
pasca simbolis. Lacan mengusulkan bahwa imaji yang ditemukan si anak dalam
cermin, secara ideologis adalah netral, artinya ia tidak memiliki determinasi
sosial.
3.
Pemaknaan
(Signification)
Lacan biasanya
merujuk pada The Freudian Thing untuk menjelaskan tentang pemaknaan. Tulisan
tersebut menyamakan ‘penanda’ (signifer)
dengan paradigma dan ‘yang ditandai’ (the
signifed) dengan sintakma. Ia juga melawankan makna dengan realitas.
Penanda (signifer) adalah struktur sinkronis
material bahasa, sejauh dalam struktur tersebut, setiap unsur memikul fungsinya
secara tepat melalui pembedaan dengan unsur lainnya. Ini adalah prinsip
distribusi yang mengatur fungsi unsur-unsur bahasa (language) pada tahap-tahap yang berbeda, yakni dari pasangan fonem
yang berlawanan sampai ungkapan majemuk untuk melepaskan bentuk-bentuk tetap.
‘Yang ditandai’
(the signifed) adalah serangkaian
percakapan atau tulisan diakronis yang diucapkan secara konkret, yang secara historis
beraksi terhadap yang pertama (signifer);
persis seperti struktur pertama yang mengatur jalan pada struktur kedua.
Dalam
argumentasi Lacan, penanda (signifer)
adalah tanda dari alienasi radikal subjek the Real – dari kodratnya yang
organis, dari bapak-ibu yang aktual atau dari pengalaman fenomenal apapun.
Bagi Lacan,
kriteria definitif sebuah penanda adalah bahwa ia meninggalkan semua hubungan
dengan ‘yang Real’ (the Real) dan
mengambil tempat dalam sistem makna yang tertutup, bukan karena ia mengambil
bagian dari sebuah materialitas yang terberi.
Bagi Lacan dan
Barthes, bahasa menjembatani semua penanda lainnya. Dalam skema Lacan, “Yang
tidak sadar itu adalah diskursus dari yang lain (the Other)”; hasrat-hasratnya merupakan tatanan sosial yang sudah
dibangun, dan diatur oleh sarana bahasa yang sama seperti halnya bagian
prasadar.
Hasrat
diproduksi melalampaui permintaan, dan dalam mengungkapkan hidup sang subjek
menurut kondisi-kondisinya, permintaan (demand)
memutuskan hubungan kebutuhan (need)
dari hidup tersebut. Dalam wujud keraguan ini, dimana kita dapat mengatakan
bahwa ia seolah-olah meminjam jiwanya yang berat dari tunas keras dari dorongan
yang terluka dan tubuh psikisnya dari kematian yang diaktualkan urutan penanda,
hasrat, ditegaskan sebagai kondisi mutlak.
4.
Yang
Simbolik (The Symbolic)
Esensi
inses-tabu adalah status pengaturannya dan status tersebut membuatnya tampak
sama seperti budaya. Sesungguhnya, pemaksaan sederhana inses-tabu
mentransfor-masikan sebuah kondisi alami menjadi sebuah kondisi budaya.
Menurut
Levi Strauss, setiap syarat negatif mengimplikasikan sebuah syarat yang
positif. Hubungan biologis adalah kurang penting dibandingkan dengan
klasifikasi serta hubungan sosial dalam pola antropologinya.
Komplek
Oedipus, sejauh kita terus mengakuinya sebagai meliputi seluruh wilayah pengalaman
kita dengan maknanya dapat dikatakan menandai batas-batas bahwa disiplin kita
menugaskan subjektivitas: yakni apa yang dapat subjek ketahui dari
partisipasinya yang tak sadar dalam gerak struktur yang komplek dari hubungan
perkawinan, melalui verifikasi efek simbolis dalam eksistensi individualnya
dari gerak yang menyentuh ke arah inses yang telah mewujudkan dirinya sejak
datangnya sebuah komunitas universal.
“Le
Nom the Pere” (The Name of the Father) sebagai penanda yang
paling penting, baik dalam sejarah subjek dan pengaturan bidang simbolis yang
lebih luas. Phallus adalah kata yang
dipakai Lacan untuk menunjuk pada semua nilai-nilai yang berlawanan dengan
lack, dan ia berusaha keras untuk menekankan status diskursifnya, buakn status
anatomisnya.
Di
satu pihak, phallus adalah sebuah
penanda bagi benda-benda yang sudah disekat dari subjek pada tahap-tahap
pembentukannya, dan tidak akan pernah dipulihkan kembali, yang semuanya dapat
diringkaskan sebagai ‘kepenuhan sang ada’ (fullness
of being).
Jadi,
phallus adalah sebuah penanda bagi
realitas atau kebutuhan organis yang dilepaskan subjek untuk mencapai makna,
agar mendapatkan akses pada tahap simbolis.
Hubungan
phallus dengan penis atau ‘yang
simbolis’ dengan ‘bapak aktual’, membutuhkan sebuah formulasi yang tepat.
Pertama adalah bahwa hubungan ini melibatkan sebuah ketidaksertaan yang tidak
dapat diredusikan.
Eksposisi
Montrelay bergantung pada pemeliharaan dua pasang oposisi, yakni antara
kategori ‘wanita’ (woman) dan
‘kewanitaan’ (feminity), serta antara
kategori ‘represi’ dan ‘penyensoran’ (censorship).
Lacan
menekankan sifat non-representasional dari peristiwa penanda yang
memperkenalkan subjektivitas; dalam elaborasinya tentang phallus, ia meminta
konsep dari sebuah representasi yang representasional (representasional representation). Fort dan da bermakna hanya dalam
hubungannya satu sama lain.
Phallus
bukan hanya merujuk pada hak istimewa yang simbolis serta kepenuhan sang ‘ada’
yang tidak pernah dapat hidup bersama, tetapi juga merujuk pada penis yang
pengorbanannya membuat mereka menjadi aktif. Phallus hanya dapat diaktifkan
dalam percakapan (discourse); dan
seperti penanda lainnya, ia ditegaskan oleh term-term yang terkait secara
paradigmatis.
Bab 11
Pendekatan Lacan Terhadap Perversi
Dalam pandangan Lacan,
perversi adalah sama dengan hasrat (desire)
itu sendiri, selama ini ia menentang hukum adaptasi serta survival yang
ditemukan dalam dunia hewan. Dalam arti ini, logika perversi hanya dapat
dipakai sebagai sebuah model dari apa yang bekerja dalam semua diri kita.
Perspektif demikian tidaklah menawarkan bimbingan khusus pada bagaimana
mendekati perversi secara klinis.
Perversi adalah sebuah
cara berfikir atau berhasrat yang mencoba untuk tetap hidup secara psikis.
Seperti juga histeria, neurosis obsesional dan fobia, perversi memiliki sebuah
logika yang mengatur posisi psikis seorang subjek sehubungan dengan orang lain.
Perversi tidak memiliki
alat-alat psikis untuk menghasilkan fantasi Oedipus yang dapat menahan kerjanya
hasrat. Sebaliknya, seorang pervert sangatlah ahli dalam menyingkapkan fantasi
orang lain serta berbagai kebohongan sosial.
Wanita bangsawan dan
femme fatale merupakan imaji-imaji dari fantasi maskulin dan demikian
imaji-imaji itu lebih banyak berbicara tentang lelaki dari pada wanita. Dalam
perversi dorongan (drive) dihambat agar tidak mencapai tujuan akhirnya, yakni:
kenikmatan, karena subjek melarang pada hukum yang melarangnya.
Tahap
cermin
Lacan menelusuri
asal-usul Ego pada apa yang disebutnya sebagai tahap cermin. Tahap cermin
adalah sebuah momen struktural dalam perkembangan psikis. Tahap cermin
memperkenalkan sang anak pada momen pengalaman, dimana dia merupakan objek
hasrat serta kasih sang ibu.
Jouissance dalam dinamika Oedipus
Jouissance
adalah term resmi yang merujuk pada hak untuk menikmati penggunaan sebuah
benda, sebagai lawan dari pemilikannya. Karena itu, Jouissancenya the Other
merujuk pada pengalaman subjek akan ‘ada’ (being)
bagi the Other sebagai objek
kenikmatan.
Lahirnya
yang tidak sadar
Valence artinya daya
tarik psikologis objek (Lewin). Valensi positif menandakan adanya kecantikan
dan daya tarik; valensi negatif menandakan ketidakmenarikan.
Hukum larangan inses
adalah sebuah proses kerja melalui mana si anak akan didorong kearah kutub
identifikasi baru yang akan membentuk Ego-ideal.
Fantasi
Oedipus
Fantasi inses bukanlah penyebab represi
primer. Fantasi ini dihasilkan setelah pembentukan bagian tak sadar. Baik pada
tahap Ego maupun tahap yang tak sadar (apa yang disebut Freud sebagai Superego
yang menyelamatkan), menghukum setiap usaha untuk melampaui batas inses.
Dari
Fantasi ke Neurosis
Fantasi merupakan
sebuah montase yang didasarkan pada keterbatasan psikis yang niscaya dari
seorang individual, yang tidak dibekali untuk menerima dalam proses
perkembangannya. Alasan mengapa hasrat manusia diberikan kesempatan untuk
beroperasi adalah karena sebuah celah harus tetap terbuka dalam sistem.
Tujuan
Psikoanalisis
Yang ditawarkan Lacan
pada psikoanalisis adalah sebuah pengertian tentang bagaimana subjek telah
disesatkan untuk percaya bahwa akses pada fantasinya terkait dengan kekuasaan
yang Lain (the Other).
Struktur
Perversi
Pervert
adalah fakta bahwa kekurangan dalam the Other tidak dapat menemukan
penanda-penanda untuk menyimbolkan maknanya, bahkan jika simbol-simbol ini
adalah murni bersifat imajiner. Seorang pervert berusaha untuk mencapai titik
dimana teka-teki dapat diformulasikan.
Strategi
Seorang Pervert
Kesenangan ada dalam proses bukan dalam
hasilnya. Seorang neurotis dapat memperoleh sebuah kesenangan terus menerus
dengan mempersilahkan fantasi untuk menemaninya; seorang pervert tidak
mempunyai kemewahan demikian. Setiap saat ia harus bekerja atas nama
dorongannya dengan jumlah jalan keluar yang terbatas.
Bab
12
Desire
dan Jouissance
Jouissance
adalah kutub lawan dari hasrat (desire).
Hasrat adalah sentral dalam pemikiran Freud dan Lacan, alam ajaran Freud hasrat
adalah Wunsch atau Bregierde (Hegel) sedangkan Lacan
melihat hasrat sebagai lack of being;
“Desire is its interpretation”, “Desire must be taken at the letter”, “Desire
is the desire of the Other”, dan lain-lain.
Bagi manusia, pemuasan
kebutuhan yang niscaya dari hidup sendiri, berjalan melalui sebuah sistem
pertukaran simbolis, sehingga membuat subjek terperangkap dalam jaring bahasa,
melalui sebuah hubungan diskursus dan sosial yang disebabkan serta dikomandokan
oleh the Other.
Kondisi akibat dari
ketegangan dan pelepasan eksterm, disebut oleh Freud sebagai ‘pengalaman
kepuasan’ (experience of satisfaction),
dicirikan dengan tangisan yang mengungkapkan kedekatan maksimum the Thing dan sekaligus pemisahan yang
pasti darinya. Maka dari saat ini dan seterusnya, hidup dijalankan dalam
pengasingan dari the Thing.
Manusia adalah seorang
subjek dengan tuntutan-tuntutan tertentu, kebanyakan bersifat oral, dan
sekaligus objek tuntutan yang dibuat oleh the Other, terutama terkait dengan
latihan perut. Jouissance menjadi
mungkin pada kondisi tidak alamiah (de-naturalized)
yang disaring melalui bahasa.
Permintaan (demand)
adalah sebuah tuntutan untuk kepuasan. Namun pelaku tuntutan bergerak melampaui
keniscayaan; itu adalah hasrat untuk yang absolut serta penanda hasrat the
Other, yakni: cintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar