Minggu, 18 Agustus 2013

PSIKOLOGI FILM

Dr. MATIUS ALI
PSIKOLOGI FILM
Membaca Film Lewat Psikoanalisis Lacan-Zizek

Bab 1
Tiga Kata Kunci Psikoanalisis Freud dan Lacan
A.    Sigmund Freud: Id, Ego dan Superego
Menurut Freud, seni adalah pemenuhan kehendak yang tidak sadar (unconscious).
1.      Id : Energi-energi psikis instingtif paling mendasar dalam jiwa manusia. Ada dua macam energi, yakni:
·         Eros : Kumpulan energi psikis yang konstruktif; membangun dan merawat hidup. Wujud konkretnya adalah seksualitas dalam bentuk libido.
·         Thanatos: Energi psikis yang bersifat merusak, mendorong kematian, anti-kehidupan. Contoh: agresifitas.
·         Id merealisasikan prinsip kenikmatan (pleasure principle).

2.      Ego: Prinsip Realitas (Reality Principle).
·         Ego adalah bagian dari Id yang melindungi individu dari dorongan luar.
·         Ego berperan sebagai jembatan antara Id dan dunia luar yang menjalankan proses individuasi.
·         Ego berfungsi mengontrol Id dan mengatur Superego.
·         Ego adalah sebagian kesadaran yang paling dekat dengan dunia luar.
Peranan Ego: Ego berfungsi untuk merepresi dorongan Id yang tidak bisa berkompromi dengan realitas. Ego mendamaikan dengan realitas tersebut. Proses perdamaian terjadi melalui tiga pilihan: pertama, memenuhinya; kedua, menundanya; dan ketiga, mentransformasikannya.


3.      Superego: Suara hati dan EgoIdeal.
·         Superego adalah introyeksi norma-norma eksternal,larangan tokoh dominan, hukunm yang secara tanpa ampun dipaksakan ke Ego dan dijadikan miliknya.
·         Ego Ideal adalah Superego yang dipatuhi, dituruti, dijadikan tokoh ideal dalam mengidentifikasikan tingkah-laku serta cita-cita yang menyenangkan dan baik.
·         Suara Hati: Superego yang mengintroyeksikan kaidah baik-buruk dengan sangsi-sangsi berupa hukuman yang lalu menjadi ‘aturan mental’ si anak.
·         Superego secara langsung memerintahkan untuk berbuat baik-buruk, sedangkan penentunya adalah Ego.
Contoh:
Film-film A. Hitchcock: The Birds, Vertigo, The Rope dan Psycho.

B.     Jacques Lacan: The Real, The Imaginary, The Symbolic
1.      “Yang Real” (The Real)
Yang Real adalah dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasakan; wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia.  Kondisi ini adalh semacam kondisi alami (the state of nature)nya Thomas Hobbes.  Lacan menggambarkannya sebagai “saat kepenuhan” atau “keutuhan” (wholeness, unity) yang hilang ketika kita masuk kedalam bahasa.  Tetapi yang Real tetap berpengaruh, karena tidak dapat ditembus oleh fantasi dan struktur linguistik.  Yang Real ini terjadi pada masa seorang anak berusia 0-6 bulan.
The Real bukan merupakan bagian dari the symbolic, tetapi justru arena yang menegaskan the symbolic dan the imaginary.  Ia tidak dapat disatukan kedalam yang simbolik.
The Real merujuk pada dimensi keabadian dari lackness, sehingga setiap konstruksi yang Simbolik, ada sebagai sebuah jawaban historis tertentu yang tidak pernah cukup atas lackness.  Setiap bentuk yang Simbolis adalah upaya untuk menembus batas-batas eksternal yang Real.
Keterikatan kita pada yang Simbolik membuat subjek selalu bergerak ke arah yang Real.
Yang Real adalah suatu wilayah psikis yang belum ada keterpisahan, tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan.  Yang ada hanyalah pemenuhan utuh dan kesatuan sempurna.  Wilayah yang Real pada mulanya dinikmati oleh subjek sebagai suatu kondisi yang tidak berkekurangan (pengalaman atau kondisi ibu).  Karenanya, tidak ada bahasa didalamnya, tidak ada kehilangan dan belum ada keterpisahan; sehingga yang Real tidak dimediasi oleh bahasa.  Kemudian, yang Real adalah suatu kehilangan yang tidak dapat diraih kembali, ketika subjek mulai masuk kedalam bahasa (wilayah simbolik).

2.      “Yang Imajiner” (The Imaginary)
Yang imajiner ditandai dengan proses yang disebut “tahap cermin” (mirror stage).  Tahap ini terjadi pada anak yang berusia 6-18 bulan. Menurut Lacan manusia dilahirkan secara prematur, artinya mereka tidak dapat secara langsung mengkoordinasikan gerakan dan organ-organ tubuhnya hingga usia tertentu.
Tahap cermin mencakup dinamisme libidinal disebabkan oleh identifikasi si anak dengan “Aku ideal” atau “ego ideal”. Tahap ini adalah tahap pengenalan awal dirinya sebagai “aku”, sebelum kemudian masuk kedalam wilayah bahasa.

3.      “Yang Simbolis” (The Symbolic)
Tatanan simbolik merupakan wilayah realitas yang telah diungkapkan melalui bahasa.  Ia merupakan kerangka impersonal yang berlaku dalam masyarakat, sebuah arena dimana setiap orang mengambil bagian didalamnya.  Tahap ini terjadi pada seorang anak yang berusia 18 bulan – 4 tahun.  Tatanan simbolik merupakan ranah makna sosial, logika dan diferensi yang diterima didalam dan melalui itu si anak mulai menampilkan keinginan dan karenanya membentuk sebuah subjek manusiawi.
Bagi Kojeve, manusia pada umumnya adalah keinginan (akan pengakuan).  Keinginan menunjukan suatu kekurangan akan suatu hal atau yang lain.  Keinginan adalah ‘kehadiran dari ketidakhadiran’ (Presence of absence).
Menurut Saussure, bahasa dibentuk oleh sistem penandaan yang terdiri atas: signifier dan the signified.  Signifier adalah imaji mental (mental-image) dari bunyi tanda, sedangkan the signified adalah konsep yang dialokasikan dengan bunyi tersebut.
Jadi, satu signifier dapat berhubungan atau digantikan oleh signifier lain, misalmnya: kata “merah” bisa merujuk pada klub sepak bola Liverpool, komunisme, berani, malu, panas, terbakar atau darah.  Karenanya kita dapat mengakses realita apapun tanpa melalui hukum penandaan ini.
Hubungan antara signifier dan the signified adalah kontigen, tidak stabil, maka subjek itu sendiri selalu bersifat ringkih dan tiidak stabil.

Bab 2
Tahap Cermin (The Mirror Stage)

Lacan meminjam istilah ‘tahap cermin’ (stade du miroir) berbekal dari tulisan Henri Walton pada 1931.  Memang Lacan diinsipirasikan oleh tulisan Kojeve’s, yang mengatakan bahawa untuk menjadi up-to-date pada tahun 30an, kita harus maju dari filsafat Descartes yang dibangun tas ‘saya berfikir’ (cogito) ke Freud serta filsafat Hegel yang berdasarkan pada ‘Saya berhasrat’ (I desire). Desiere disini adalah Begierdenya Hegel, bukan Wunschnya Freud. Begierde adalah ‘hasrat’ melalui mana hubungan kesadaran dengan diri diungkapkan: masalahnya adalah mengakui yang lain (the other) atau ke-lain-an (otherness) sejauh kesadaran menemukan dirinya dalam gerakan ini.  Yang lain adalah objek hasrat yang diinginkan oleh kesadaran dalam hubungan-cermin negatif yang membuatnya mengenali dirinya di dalamnya.  Hasrat (Wunsch, Desire) dalam arti Freudian adalah lebih dari sekedar sebuah kecenderungan, aspirasi, pemenuhan kehendak tak sadar.  Karenanya, menurut kojeve, dalam transisi dari filsafat ‘saya berpikir’ ke filsafat ‘ saya berhasrat’, terdapat sebuah pemisahan antara ‘aku’nya pikiran (hasrat) dan ‘aku’ (ego, moi), dilihat sebagai sumber kesalahan dan tempat representasi semata.
Menurut Merleau-Pontry, Lacan memahami esensi Mitos Narsisus secara lebih mendalam dan melampaui apa yang dikatakan Freud, sehingga membuka jalan bagi sebuah pendekatan fenomenologis terhadap masalah.  Lacan merevisi serta memperkaya mitos Narsisus; karena begitu mencintai imagenya sendiri, sehingga ia terjun kedalam air dan mati tenggelam.  Memang Freud adalah orang pertama yang melihat unsur seksual dalam mitos tersebut, yakni: libido yang diarahkan pada tubuh si subjek sendiri.  Namun Lacan menggunakan legenda tersebut secara lebih penuh serta menyatukan komponen-komponen lainnya.
Pada 1949, Lacan mengubah pendapatnya tentang ‘tahap cermin’.  Sekarang ia menolak konsep Cogito Descartes dan menunjukan pengalaman psikoanalisis, “Secara mendasar bertentangan dengan semua filsafat yang diturunkan dari Cogito”.  Dalam versi 1966, yang dimasukan dalam Ecrits, ia mengoreksi ceramahnya serta memperkuat kritiknya atas Cogito: Ia mengatakan bahwa ‘tahap cermin’ adalah “Sebuah pengalaman yang membimbing kita untuk menentang filsafat apapun yang berasal dari Cogito” (Ecrits, hal. 1).  Kemudian Lacan berkenalan dengan Antropologi Levi-Strauss.

Bab 3
Membaca Lacan:Kembali ke Freud

Lacan mulai ‘kembali ke Freud’ melalui pembacaan linguistik seluruh bangunan psikoanalisis dan merumuskan dalam satu kalimat: “yang tidak sadar (The unsconsious) itu terstruktur seperti sebuah bahasa”.  Persepsi utama tentang yang tidak sadar adalah bahawa yang tidak sadar merupakan wilayah dorongan-dorongan tidak rasional (irrational drives), yakni: sesuatu yang bertentangan dengan diri sadar yang rasional.  Bagi Lacan, gagasan akan yang tidak sadar ini termasuk dalam filsafat hidupnya kaum Romantik dan tidak ada hubungan dengan Freud.  Ketidaksadaran (Freud) menimbulkan skandal bukan karena klaim bahwa diri rasional tunduk pada wilayah insting irasional buta yang lebih luas, tetapi karena ia menunjukan bagaimana yang tidak sadar itu sendiri mematuhi tata bahasa serta logikanya sendiri: artinya yang tidak sadar itu berbicara dan berpikir.
Yang tidak sadar (The unsconsious) bukan tempat penyimpanan dorongan-dorongan liar yang harus dijinakan oleh sang Ego, tetapi merupakan tempat dimana kebenaran traumatis berbicara dengan bebas.  Disinilah letak slogan Freud versi Lacan: “Where it was,I am to became” (Wo es war, sol lich werden): bukan “sang Ego mengalahkan Id”, tempat tersimpannya dorongan-dorongan tidak sadar, tetapi saya harus berani mendekati tempat yang menyimpan kebenaranku”.  Apa yang menunggu saya ‘di sana’ bukanlah sebuah Kebenaran mendalam yang harus saya identifikasikan, tetapi sebuah kebenaran tidak bertahankan yang harus saya pelajari, agar dapat hidup bersamanya.
Kebanyakan konsep kunci Lacan tidak memiliki padanannya dalam teori Freud. Misalnya, Freud tidak pernah menyebutkan ketiga tahapannya Lacan, yakni: ‘yang Imajiner’ (the Imaginary), ‘yang Simbolis’ (the Symbolic) dan ‘yang Real’ (the Real). Freud juga tidak pernah berbicara tentang ‘the big Other’ sebagai ‘tatanan simbolis’ (symbolic order); ia berbicara tentang ‘ego’, bukan ‘subjek’. Istilah-istilah tersebut diimpor oleh Lacan dari disiplin lain sebagai alat untuk membuat distringsi yang secara implisit sudah ada dalam pemikiran Freud, walaupun Freud sendiri tidak menyadarinya.
Jadi tesis lacan adalah bahwa Freud tidak menyadari akan konsepsi ‘bicara’ (speech) yang sudah terimplikasi oleh teori dan praktik psikoanalisisnya.  Dan kita hanya dapat mengembangkan gagasan ini jika kita merujuk pada teori linguistik, teori ‘tindak bicara’ (speech-acts) Saussure dan dialektika pengenalan Hegel.
Menurut Zizek, the big Other beroperasi pada tahap Simbolis.  Lalu, tatanan Simbolik ini terdiri dari apa saja? Ketika kita bicara atau mendengarkan, kita tidak semata-mata berinteraksi dengan orang lain; tindak bicara kita bertumpu pada penerimaan kita terhadap jaringan aturan yang kompleks serta pengandaian-pengandaian lainnya.  Pertama, ada aturan tata bahasa yang harus saya kuasai secara buta dan spontan, yakni: jika saya tidak mengikuti aturan-aturan tersebut, bicara saya akan hancur, berantakan.  Kemudian ada latar belakang partisipasi kita dalam dunai kehidupan yang membuat kita mengerti satu sama lainnya dalam percakapan.  Aturan yang saya ikuti terbagi dua, yakni: pertama, aturan-aturan serta makna yang saya ikuti secara buta, karena kebiasaan, tetapi jika saya berefleksi, paling tidak saya dapat menyadari (seperti aturan tata bahasa); dan kedua, ada aturan-aturan yang saya ikuti, makna-makna yang membayangi saya dalam ketidaktahuan (seperti larangan yang tidak sadar).
The big Other dapat dipersonifikasikan atau didewakan dalam satu pelaku (agen), yakni: ‘Tuhan’ yang mengawasi saya dari tempat jauh atau gerakan seperti Kebebasan, Komunisme, Kebangsaan dan untuk mereka saya siap memberikan hidup saya.  Ketika saya berbicara, saya bukan semata-mata seorang individual (small other) yang berinteraksi dengan ‘small other’ lainnya, tetapi the big Other selalu ada disana.
Bagi Lacan, bahasa adalah sebuah hadiah bagi umat manusia, yang sama bahayanya dengan kuda Trojan: artinya, bahasa menawarkan dirinya untuk kita pakai secara gratis, tetapi sekali kita menerimanya, ia akan menjajah kita.  Tatanan Simbolis muncul dari sebuah hadiah, sebuah penawaran yang menandai isinya sebagai netral, agar dapat menjadi sebuah hadiah.  Ketika hadiah yang ditawarkan diterima, maka yang menjadi masalah bukan isinya, tetapi hubungan antara si pemberi dan penerima terbangun, sehingga mereka terlibat dalam sejenis komunikasi simbolis yang efektif.  Setiap tindak komunikatif juga sekaligus menyimbolkan fakta komunikasi.  Menurut Roman Jokobson, bicara manusia tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi selalu juga secara reflektif menyatakan kumpulan simbol dasar antar subjek yang berkomunikasi.
Tahap paling elementer dari pertukaran simbolis adalah yang disebut ‘gestur kosong’ (empty gesture), yakni: sebuah tawaran yang dibuat atau dimaksudkan untuk ditolak.
Gagasan tentang hubungan sosial yang dibangun melalui, gestur kosong, membuat kita mampu mendefinisikannya.  Secara tepat apa itu figur anti-sosial.  Apa yang ada diluar genggaman anti-sosial adalah fakta bahwa “banyak tindakan manusia dilakukan… hanya demi interaksi itu sendiri.  Penggunaan bahasa yang anti-sosial secara paradoks menyamai standar gagasan tentang bahasa sebagai sarana komunikasi murni, seperti tanda yang menyampaikan makna.  Ia menggunakan bahasa, tetapi tidak tertawan disitu. Jadi, jalur anti-sosial benar-benar mempraktikan gagasan moralitas kaum pragmatis, dimana moralitas merencanakan sebuah tingkah laku melalui kalkulasi kepentingan kita secara cerdas.  Melakukan kejahatan adalah sebuah kalkulasi yang salah, bukan sebuah tindakan yang salah.
Lacan juga merujuk pada karya George Lukacs, History and Class Consciousness (1923), bagi Lukacs, kesadaran (consciousness) diluar objek yang diketahui, sedangkan kesadaran pada dirinya sendiri adalah bersifat ‘praktis’ (practical), sebuah tindakan yang mengubah objek tersebut. Contoh, sekali seorang buruh ‘menganggap dirinya termasuk dalam tataran ploretariat’, ini mengubah realitasnya, artinya: ia bertindak secara berbeda. Jadi, momen transformasi subjektif yang benar terjadi saat deklarasi, bukan pada saat tindakan.  Momen deklarasi refleksif ini berarti bahwa setiap ‘ujaran’ (utterance) bukan hanya menyampaikan isi tertentu, tetapi sekaligus “menyampaikan caranya subjek menghubungkan diri dengan isinya’.  Kita tidak boleh lupa bahwa kegunaan fungsi sebagai sebuah gagasan refleksif, yakni: selalu melibatkan pernyataan manfaat sebagai makna.
Claude Levi-Strauss, seorang antropologi Perancis, menyatakan bahwa baginya, ‘makanan’ (food) juga disajikan sebagai ‘makanan untuk pikiran’ (food for thought).  Ada tiga cara menyiapkan makanan, yakni: mentah (raw), dibakar atau dipanggang (boiled) dan direbus (boiled), yang membentuk sebuah segitiga semiotik.  Kita menggunaknnya untuk menyimbolkan oposisi mendasar antara ‘alam’ (nature) dan ‘budaya’ (culture), sedangkan ‘direbus’ (boiled) adalah sebagai mediasi di antara kedua kutub tersebut.
Hegel adalah orang pertama yang menafsirkan triad geografis (Jerman, Perancis dan Inggris), yang mengungkapkan tiga sikap eksistensial.  Orang Jerman yang selalu reflektif, orang Perancis yang terburu-buru dalam revolusi dan orang Inggris yang pragmatis-utilitaris-moderat.  Dalam posisi politik, triad ini dapat dibaca sebagai: ‘Konservatisme’ (Jerman), ‘Radikalisme Revolusioner’ (Perancis) dan ‘Liberalisme Moderat’ (Inggris).  Dan dalam kehidupan sosial: ‘Metafisika Puisi’ (Jerman), ‘Politik’ (Perancis) dan ‘Ekonomi’ (Inggris).



Bab 4
Subjek Interaktif dan Interpasif

Interpasifitas adalah sisi lain dari interaktifitas.  Sebagai contoh interpasifitas adalah acara TV yang diputar di stasiun-stasiun TV.  Suara tertawa direkam dan dimasukan kedalam soundtrack, sebagai reaksi terhadap scene yang komik.  Walaupun saya tidak tertawa dan hanya menatap layar TV setelah seharian kerja keras, namun saya merasa lega setelah pertunjukan selesai, seolah-olah soundtrack itu telah melakukan ‘tertawa’ buat saya.  Jika kita dapat menangkap proses ini dengan benar, maka akn muncul istilah “Interpasifitas” sebagai kembaran dari “Interaktifitas”.
Di dalam dunia politik dan pendidikan sekarang, bahayanya bukan ‘pasifitas’ tetapi ‘pseudo-aktivitas’, yakni: dorongan untuk aktif dan berpartisipasi.  Orang selalu intervensi, mencoba untuk melakukan sesuatu; akademisi berpartisipasi dalam debat yang tidak bermakna.  Hal yang benar-benar sulit adalah untuk melangkah mundur dan menarik diri darinya.  Orang-orang yang memiliki kekuasaan seringkali bahkan lebih suka dengan sebuah partisipasi kritis hanya melibatkan kita dalam dialog untuk dipecahkan.  Untuk menghadapi modus interpasifitas, langkah kritis pertama adalah “mundur kedalam pasifitas” dan menolak untuk berpartisipasi. Langkah awal ini akan membuka jalan bagi aktifitas sejati, bagi sebuah tindakan yang akan secara aktif mengubah koordinat suasana tersebut.
Perbedaan antara Freud dan Lacan adalah jika Freud terfokus pada ‘dinamika pemindahan psikis’ (psychic dynamics of transference) sebagai sebuah hubungan intersubjektif, artinya pasien memindahkan perasaan tentang ayahnya kepada sang analisis, sehingga ketika ia tampaknya berbicara tentang sang analisis ia ‘sebenarnya’ berbicara tentang ayahnya; maka Lacan meramalkan struktur formal makna yang diandaikan dari kekayaan empiris fenomena pemindahan.
Banyak pembaca Lacan gagal menangkap bahwa figur ‘subjek yang diandaiakan tahu’ (subject supposed to know) adalah sebuah fenomena sekunder, sebuah pengecualian, sesuatu yang muncul melawan latar belakang yang lebih mendasar dari ‘subjek diandaikan untuk percaya’ (subject supposed to believe) yang membentuk ciri tatanan simbolis. Ada sebuah lelucon antropologis terkenal yang mengatakan bahwa ada kelompok masyarakat primitif yang percaya bahwa mereka berasal dari ikan atau burung dan ketika ditanya tentang kepercayaan ini, mereka menjawab: “Tentu saja tidak, saya tidak sebodoh itu!, tetapi saya diberitahukan bahwa sebagian leluhur saya sebenarnya percaya”. Singkatnya, mereka memindahkan kepercayaan mereka pada yang lain.
Budaya (culture) muncul sebagai kehidupan sentral dalam kategori dunia. Budaya adalah hal-hal yang kita lakukan tanpa benar-benar mempercayainya, tanpa menanggapinya secara serius.
Emosi yang saya lakukan melalui topeng atau ‘kepribadian palsu’ (false pesona) dapat menjadi otentik dan benar daripada apa yang saya andaikan, saya rasakan di dalam diri sendiri.
Reality show TV: kehidupan yang dimasuki disana adalah sama nyatanya, walaupun show ini dibuat ‘untuk kenyataan’ namun orang masih berakting didalamnya, artinya: mereka semata-mata bermain dengan diri mereka sendiri.  Apa yang kita lihat adalah tokoh-tokoh fiktif, bahkan jika mereka memainkan perannya yang nyata (real).
Les-non-dupes errant: orang yang tidak mau masuk kedalam fiksi simbolis, yang hanya mempercayai mata mereka, adalah yang paling keliru.  Apa yang tidak ditangkap seorang sinis (yang hanya percaya pada matanya) adalah efisiensi tatanan simbolis, yakni cara bagaimanafiksi ini membangun realitas.
Celah (gap) antara identitas psikologis langsung dan identitas simbolis saya adalah apa yang disebut oleh Lacan sebagai ‘pengebirian simbolis’ (symbolic castration), dengan phallus sebagai penanda (signifer).
Penanda (signifer) adalah sebuah istilah teknis yang ditemukan oleh Saussure, yang dipakai oleh Lancan dalam cara yang khas; penanda bukan hanya merupakan aspek material dari sebuah tanda (sign), sebagai lawan dari ‘maknanya’ (the signifed), tetapi adalh sebuah fitur, tanda, yang mewakili subjek.  Saya adalah apa saya melalui penanda-penanda yang mewakili saya, penanda-penanda membentuk atau membangun identitas simbolis saya.
Identitas simbolissubjek selalu ditentukan secara historis, tegantung pada sebuah konteks, ideologis yang khusus.  Louis Althusser menyebutnya sebagai ‘interpelasi ideologis’, artinya identitas simbolis yang diberikan pada kita merupakan hasil dari ideologi penguasa yang ‘menginterpelasi’ kita.
Histeria muncul ketika seorang subjek mulai mempertanyakan atau merasa tidak nyaman dalam identitas simbolisnya.  Masalh bagi penderita histeria adalah bagaimana membedakan antara dia itu apa (hasratnya yang sebenarnya) dan apa yang dilihat atau diinginkan dari orang lain dari dirinya. Hal ini akan merujuk pada konsep Lacan yang lain, yakni: “Hasrat kita adalah hasrat yang lain (the other), baik dalam genitif subjektif maupun objektif hasrat untuk orang lain, hasrat untuk dihasrati oleh yang lain terutama berhasrat bagi apa yang dihasrati oarng lain.  Cemburu dan kebencian adalah komponen yang membentuk hasrat manusia.
Menurut model Rawls tentang masyarakat yang adil, kesenjangan sosial dapat ditoleransi hanya sejauh mereka juga membantu mereka yang ada di tangga sosial bawah, dan sejauh bukan berdasarkan pada hirarki warisan, tetapi pada kesenjangan alami yang dianggap bersifat kontigen bukan kebaikan bermakna.  Apa yang tidak dilihat oleh rawls adalah bahwa masyarakat demikian akan menciptakan kondisi bagi sebuah ledakan kebencian yang tidak terkendali: artinya, di  dalamnya, saya akan mengetahui bahwa status inferior saya itu dibenarkan sepenuhnya dan akan menghilangkan kesalahan dari kegagalan saya pada ketidakadilan sosial.

Bab 5
Fantasi Menurut Lacan

Fantasi mendasar merupakan hal yang sangat pribadi, karena memberikan subjek ilusi sebuah inti yang konsisten.  Bagi Lacan, fantasi adalah reaksi defensif atas represi primer yang kemudian juga direpresikan.  Fantasi adalah apa yang membentuk hasrat (desire) kita.  Zizek memberikan sebuah ilustrasi bagus dalam televisi tentang bagaimana perbedaan seksual bekerja dalam fantasi. Tulisan-tulisan Zizek sangat terkonsentrasi pada fantasi maskulin tentang wanita.  Psikoanalisis tradisional menyebut trauma awal ini sebagai ‘kastrasi’ (castration).  Represi traumatis pertama ini ditutupi oleh Hukum Simbolik (Oedipal law), dimana saringan pengontrolannyamembuat subjek mampu untuk hidup dengannya.
Makna seksual biasanya dianggap berasal dari fantasi mendasaryang disisipkan diantaranya.  Menurut Zizek, fantasi mengamati konsepsi milik kita sendiri adalah sebuah bentuk fantasi mendasar.  Brennan menyatakan bahwa kecenderungan Lacan untuk mengidentifikasikan wanita sebagai objek fantasi mendasar adalah konsisten dengan apa yang disebut Brennan sebagai ‘fantasi fondasional’ (foundational fantasy), melalui mana subjek membayangkan bahawa mereka dapat mengontrol tatanan simbolik (dan yang politis), karena mereka dapat mengontrol objek-objek (wanita dan komoditi lain) di dalamnya.
Menurut Zizek, fantasi muncul sebagai reaksi terhadap ketidakberdayaan tubuh yang terfragmentasi (corp morcele) yang muncul dari kesan kuat ‘dorongan kematian’ (death drive).  Rasa ‘keterpecahan’ (rupture) dan ‘keterpisahan’ (separation) “dari kehilangan akan dukungan didalam ada (being)” harus dikurangi atau dihilangkan. Fakta menarik mengenai fantasi ini adalah bahwa tahap kedua membentuk sebuah perantara niscaya antara keduanya, tetapi tidak pernah dilaporkan oleh para pasien; keberadaannya hanya bisa disimpulkan.. Penjelasan Zizekdimulai dari kenyataan akan dorongan serta menanamkan bahwa kepatuhan pada pengawasan adalah kekerasan, keterpecahan dan kesakitan.  Pengalaman ini diseksualisasikan dalam arti bahwa pemotongan traumatis adalah pemotongan seksualitas, kematian dan simbolisasi.
Secara mendasar, fantasi tinggal dalam fakta bahwa ia menghancurkan pertentangan standar antara ‘subjektif’ dan ‘objektif’: tentu saja secara definisi, fantasi tidaklah objektif (merujuk pada sesuatu yang ada secara independen, lepas dari persepsi subjek); namun fantasi juga tidak bersifat subjektif (sesuatu yang termasuk dalam atau menjadi milik intuisi pengalaman sadar subjek, produk dari imajinasi subjek).  Jadi, fantasi lebih termasuk dalam ‘kategori aneh dari subjektif yang objektif (objectively subjective).  Artinya, cara mengadakannya sesuatu, secara objektif tampak demikian, walaupun bagi kita tampaknya tidaklah demikian.
Pada Maret 2003, Donald Rumsfeld terlibat dalam suatu perdebatan tentang hubungan antara yang diketahui (the known) dan yang tidak diketahui (the unknown).  Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu (known knowns); ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu (known unknowns); serta ada lagi hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown unknowns).  Namun kita lupa menambahkan yang ke-empat, yakni: ‘hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tahu’ (unknown knowns) yang persisnya adalah ‘unconscious’nya Freud, “Pengetahuan yang tidak mengetahui dirinya sendiri”; dan ini adalah inti dari fantasi (Lacan).
Fantasi adalah sarana melalui mana jiwa (psyche) menetapkan hubungannya dengan ‘kenikmatan’ (jouissance).  Fantasi tidak bertentangan dengan ‘realitas’: sebaliknya fantasi adalah apa yang membentuk struktur yang kita sebut realitas dan menentukan garis bentuk hasrat (desire). Realitas sendiri dapat berfungsi sebagai sebuah pelarian dari perjumpaannya dengan the Real.  Dalam pertentangan antara realitas dan mimpi, fantasi berbeda di pihak realitas dan di dalam mimpi kita berjumpa dengan the Real yang traumatis.
Ada ambiguitas mendasar dalam pengertian tentang fantasi: di satu sisi, fantasi adalah layar (screen) yang melindungi kita dari perjumpaan dengan the Real; di sisi lain, secara mendasar fantasi sendiri (apa yang disebut Freud sebagai fundamental fantasy), yang menyediakan koordinasi dasar dari kemampuan subjek untuk berhasrat (to desire) – tidak akan pernah disubjektifikasikan dan harus tetap tinggal (terepresi), agar dapat berfungsi.

Bab 6
Lacan dan Kubrick (Fantasi dalam Film Eyes Wide Shut)

Mengapa Lacan menuliskan the big Other dengan O huruf besar? Dalam the seminar of Jacques Lacan, Book III: The Psychoses, Lacan menyamakan the big Other dengan ketidakmungkinan subjek lain untuk menembus, melampaui ‘tembok bahasa’ meletakkan kita pada kutub lain dari imaji dominan yang disebut Lacan sebagai the big Other, yakni: logika sebuah otomatisme yang menjalani pertunjukan, sehingga ketika subjek berbicara, dia hanya ‘diucapkan’, melupakan dirinya dan bukan menjadi tuan rumahnya sendiri.  Pandangan Lacan terfokus pada dialektika intersubjektif pengenalan; kemudian ia mengajukan mekanisme tanpa nama yang mengatur interaksi subjek (dari Fenomenologi ke Strukturalisme), the big Other adalah tatanan simbolis tanpa nama yang disubjektifikasikan.
Lacan mendefinisikan cinta sebagai: “Cinta adalah memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya..”, harus ditambah dengan... “Kepada orang yang tidak menginginkannya”.
Fungsi utama tatanan simbolis beserta hukum dan kewajibannya adalah untuk membuat koeksistensi kita dengan orang lain minimal dapat tertahankan: pihak ketiga harus masuk diantara aku dan tetanggaku, agar hubungan kami tidak meletus dalam kekerasan.
Dalam kosmologi Pra-Kantian, manusia semata-mata adalah manusia yang memiliki akal budi, berjuang melawan nafsu hewani dan kegilaan yang ilahi, sedangkan dalam filsafat Kantekses yang harus diperjuangkan bersifat imanen serta menyangkut inti subjektifitas itu sendiri.  inilah alasan mengapa dalam Idealisme Jerman, metafora untuk subjektifitas adalah ‘Night’ (Night of the World), berbeda dari gagasan Pencerahan tentang ‘Cahaya Akal-budi’ (Light of Reason) yang berjuang melawan kegelapan disekitarnya.
Menurut pandangan standar, dimensi subjektifitas adalah dimensi fenomenal pengalaman diri: Saya adalah seorang subjek, pada saat saya dapat mengatakan pada diriku, “Tidak peduli mekanisme tak diketahui apapun yang mengatur tindakan, persepsi dan pikiranku, tidak seorangpun dapat mengambil dariku apa yang kulihat dan apa yang kurasakan sekarang.
Menurut Freud subjek yang tidak sadar muncul hanya ketika aspek kunci dari pengalaman subjek (fantasi mendasarnya) tidak terakses baginya, secaraprimordinal terrepresi. Secara radikal, bagian tidak sadar adalah fenomena yang tidak terakses, bukan mekanisme objektif yang mengatur pengalaman fenomenal saya.  Jadi, ciri subjektif manusia yang benar adalah jurang (gap) yang memisahkan keduanya, yakni: Fakta bahwa fantasi, secara paling mendasar, menjadi tidak terakses oleh subjek.  Ketidakteraksesan inilah yang membuat subjek menjadi ‘kosong’ (empty).
Sebuah hubungan yang sama sekali meruntuhkan gagasan standar tentang subjek yang mengalami dirinya secara langsung melalui kondisi psikisnya: ada sebuah hubungan aneh antara subjek non-fenomenal yang kosong dan fenomena yang tetap tidak terakses bagi subjek. Dengan kata lain, psikoanalisis memperbolehkan kita untuk merumuskan sebuah fenomenologi paradoks tanpa subjek fenomena muncul bukan sebagai fenomena ‘dari’ (of) seorang subjek, tetapi muncul ‘bagi’ (to) seorang subjek.
Jika fungsi mimpi adalah untuk memperpanjang tidur, jika mimpi dapat memndekati realitas yang menyebabkannya, tidaklah kita dapat mengatakan bahwa mimpi berkores-pondensi dengan realitas ini tanpa bangun dari tidur? Namun, memang ada hal yang disebut aktifitas somnabulistis.
Dalam seni kontemporer, kita seringkali menjumpai usaha keras untuk kembali ke the Real, mengingatkan penonton atau pembaca bahwa ia melihat fiksi, membangunkan dirinya dari sebuah mimpi indah.
Apa yang kita hadapi disini adalah ambiguitas mendasar dari ide tentang fantasi.  Walaupun fantasi adalah layar yang melindungi kita dari perjumpaan dengan the Real, namun fantasi sendiri secara paling mendasar-apa yang disebut Freud sebagai ‘fantasi fundamental’, yang menyediakan koordinat paling mendasar dari kemampuan subjek untuk berhasrat-tidak pernah mendapat disubjektifikasikan dan harus tetap terrepresi agar dapat berfungsi. Dalam film Stanley Kubrick, Eyes Wide Shut, mengingatkan kita pada kesimpulan yang tampaknya fulgar.  Bagi Lacan, tanggung jawab etis terakhir adalah sebuah penyadaran sejati: artinya bukan hanya sadar dari tidur atau mimpi, tetapi juga sadar dari pesona fantasi yang mengendalikan kita bahkan ketika kita dalam keadaan sadar.

Bab 7
The Real dalam Film Alien

Lamella adalah suatu bentuk ekstra datar yang bergerak seperti amuba. Ia dalah sedikit lebih rumit, namun ia pergi kemana-mana. Dan karena ia adalah sesuatu yang terkait dengan kehilangan yang dialami oleh makhluk seksual dalam seksualitas. Lamella adalah libido melalui insting hidup yang murni, yakni: hidup abadi, hidup yang tidak terrepresi, hidup yang tidak membutuhkan organ tubuh, hidup yang tidak terhancurkan. Lamella adalah apa yang dikurangi dari makhluk hidup berdasarkan fakta bahwa ia tunduk pada siklus reproduksi seksual.
Seperti apa yang dikatakan oleh Lacan, bahwa lamella itu tidak ada, tidak nyata, sebuah entitas kemiripan murni (pure semblance), sebuah penampakan jamak yang tampaknya melihat kekosongan pusat-statusnya adalah murni bersifat fantasmatis. Dorongan libido yang tidak terhancurkan adalah apa yang disebut Freud sebagai ‘dorongan kematian’ (death drive). Freud menyamakan dorongan kematian dengan ‘paksaan untuk mengulangi’ (compulsion to repeat), sebuah dorongan aneh untuk mengulangi pengalaman menyakitkan masa lalu yang tampaknya tumbuh melampaui batas-batas alami organisme yang dipengaruhi serta bertahan terus bahkan sesudah kematian organisme tersebut.
Bentuk kehidupan alien adalah kehidupan yang semata-mata kehidupan, hidup sebagai demikian: ia bukan merupakan suatu spesies khusus seperti esensi sebuah spesies, menjadi makhluk, makhluk alami – ia adalah Alam atau Kodrat (Nature) yang berinkarnasi atau yang sublim, wadah mimpi buruk wilayah alami yang dimengerti sebagai sama sekali lebih rendah, dihabiskan oleh, dorongan-dorongan Darwinian untuk bertahan hidup dan berproduksi.
Bahwa the Real yang ilmiah adalah persis apa yang sama sekali tidak kita miliki.  Secara menyeluruh, kitaterpisah darinya… kita sama sekali tidak akan pernah menjelaskan hubungan antara makhluk bahasa (parletres) yang secara seksual kita sebut sebagai lelaki dan makhluk bahasa lain yang secara seksual kita sebut sebagai wanita.
Kita harus membuat distingsi antara I’object petit a sebagai ‘penyebab hasrat’ dan sebagai ‘objek hasrat’. Jika objek hasrat adalah semata-mata objek yang diinginkan, maka penyebab hasrat adalah ciri istimewa yang membuat kita menginginkan objek tersebut, detail kecil yang biasanya tidak kita sadari serta seringkali bahkan disalah-artikan sebagai sebuah hambatan, meskipun kita menginginkan objek tersebut.
Sikap melankolis adalah awal dari filsafat. Status objek penyebab hasrat adalah sebuah anamophosis yaitu sesuatu yang jika dilihat dari depan, bukan apa-apa, hanya merupakan sebuah kekosongan. Artinya, ia hanya mendapatkan bentuk tertentu ketika dilihat secara miring.
‘Objek kecil lain’ (object petit a) ini adalah sebuah entitas yang tidak memiliki konsistensi substansial, yang pada dirinya sendiri adalah ‘bukan apa-apa, tetapi kekacuan’; dan yang mendapatkan bentuk tertentu hanya jika dilihat dari sebuah pendirian miring dari hasrat serta ketakutan subjek-jadi, hanya merupakan sebuah ‘bayangan dari apa yang tidak ada’.
Object a merupakan objek aneh yang buak apa-apa, melainkan inskripsi subjek itu sendiri dalam bidang objek, dalam samaran sebuah bisul yang hanya mengambil sebuah bentuk, ketika bagian bidan ini terdistorsi oleh hasrat subject secara anamorfosis.
Lacan mencapai sebuah pembalikan yang dapat dicerahkan oleh bagian teori relativitas Einstein, yakni: dari yang partikular ke yang universal. Karena teori khusus sudah memperkenalkan ide tentang ruang lengkung, maka ia melihat lengkungan ini sebagai akibat dari materi: kehadiran materi yang membuat ruang menjadi lengkung, artinya hanya sebuah ruang kosong saja tidak akan bisa dilengkungkan.
Paradoks ini dapat diselesaikan dengan membedakan antara objek dan penyebab hasrat. Betapapun dekatnya saya dengan objek hasrat tersebut, penyebabnya tetap tinggal di tempat yang berjarak, menipu.
Solusi Freud terhadap pertentangan antara mendekat atau menjauhnya subjek dari objek hasratnya dan ‘kecepatan tetap’ (dan jarak darinya) dari objek penyebab hasrat tinggal didalam ‘ruang lengkung sang hasrat’ (curved space of desire).
Jalan tersingkat untuk merealisdasikan sebuah hasrat adalah dengan menghindari objek tujuannya, yakni mengambil jalan putar dan menunda perjumpaannya.

Bab 8
Ego-Ideal dan Super-Ego dalam Casblanca

Freud memakai tiga istilah khusus untuk agensi yang mendorong subjek untuk bertindak secara etis, yakni: Ego-Ideal (Idealich), Ideal-Ego (Ich-ideal) dan Super Ego (Uber-Ich). Lacan memperkenalkan sebuah distingi yang tepat antara ketiga istilah ini: ‘Ego-Ideal’ berarti imaji-diri subjek yang diidealkan (cara saya ingin menjadi, cara saya ingin orang lain melihat saya); ‘Ideal-Ego’ adalah agensi yang tatapannya (gaze) saya coba untuk impresikan dengan imaji-ego saya, yakni the big Other yang mengawasi serta memaksa saya untuk memberikan yang terbaik, ideal yang saya coba ikuti dan aktualisasikan.
Super ego adalah agensi yang sama dalam aspek yang sadistis, dendam serta menghukum. Super ego itu tidak ada urusannya dengan suara hati moral sejauh menyangkut tuntutannya yang paling diwajibkan, sebaliknya super ego adalah agensi anti-etika, stigmatisasi penghianatan etis kita. Bagi Lacan agensi yang benar adalah agensi keempat yang tidak terdapat dalam triadnya Freud, yakni: ‘hukum sang hasrat’ (the law of desire), hukum yang memberitahukan anda untuk bertindak sesuai dengan hasrat anda.
Dalam bahasa Lacan, pada saat kritis ‘tiga setengah detik’, Ilse dan Rick tidak melakukannya untuk the big Other (dalam hal ini adalah kepantasan penampilan publik yang tidak boleh dilukai), tetapi mereka memang melakukannya untuk imajinasi fantasmatis kita yang kotor. Ini adalah struktur transgresi inheren pada titik paling murni.  Kesadaran bahwa mereka tidak melakukannya, justru memberikan kendali bebas bagi kesimpulan yang berlawanan. Penampakan memang mempunyai arti: Anda dapat memiliki fantasi kotor yang banyak, tetapi itu berarti bahwa versi yang lebih tidak menunjukan tanda bersalah akan diintegrasikan kedalam wilayah publik hukum simbolis seperti yang direkam oleh the big Other.
Akibat tambahan yang jahat ini, bukan mengancam sistem dominasi simbolis, malah merupakan transgresi yang tertanam didalamnya, bahwa hukum publik memerlukan dukungan dari kecabulan Super-Ego tersembunyi, sekarang menjadi lebih aktual dari sebelumnya.
Walaupun melanggar aturan komunis yang sudah jelas, sandi demikian semangat komunitas pada bentuk yang paling murni, dengan menjalankan tekanannya pada individu untuk memainkan identifikasi kelompok. Berlawanan dengan hukum yang tertulis, sandi Super-Ego cabul demikian pada dasarnya dibicarakan secara rahasia di suatu tempat yang tidak kelihatan orang.
Apocalypse Now adalah bahwa kekuatan menghasilkan eksesnya sendiri, yang harus dihancurkan dalam sebuah operasi yang mencerminkan apa yang dilawannya.

Bab 9
Lacan dan Hitchcock

1.      ”Yang Lain Tidak Harus Mengetahui Semuanya”
(The Other Must Not Know All)
Salah satu adegan kunci dalam film Hitchcock, Saboteur adalah tarian pengumpulan dana yang diadakan di istana seorang mata-mata Nazi kaya, menunjukkan cara bagaimana kedangkalan the big other (bidang etiket, aturan sosial dan tata-krama) tetap menjadi tempat dimana kebenaran ditentukan dan karenanya menjadi tempat dimana permainan dijalankan.
Titik kritis yang harus dicatat adalah bahwa situasi ‘tatapan impoten’ tidak pernah bersifat ganda, artinya: tidak pernah hanya merupakan konfrontasi antara seorang subyek dan musuhnya.
Jika kita mempunyai tiga unsur, yakni: pertama, orang ketiga(innocent) yang melihat semuanya, tetapi gagal untuk menangkap makna sebenarnya dari apa yang dilihatnya; kedua, agen yang bertindak dalam samaran, seolah-olah hanya mengikuti aturan permainan sosial yang terjadi – memberikan sebuah pukulan menentukan pada musuh; dan  ketiga, adalah musuh itu sendiri, yakni: pengamat impoten yang mengerti sepenuhnya implikasi sebenarnya dari tindakan tersebut, tetapi dikutuk sebagai peran seorang saksi pasif, karena tindakan netralnya akan menimbulkan kecurigaan orang ketiga (innocent), yakni  the big Other.

2.      Pemindahan Rasa Bersalah (Transference of Guilt)
Gagasan tentang  the big Other (tatanan simbolik) didasarkan pada penipuan ganda khusus yang menjadi jelas dalam sebuah adegan kayra Marx Brothers, Duck Soup, dimana Groucho membela clientnya di depan pengadilan hukum dengan mengikuti argumen yang memihak pada kegilaannya.
Titik sangat penting di sini adalah bahwa ‘pemindahan rasa bersalah’ ini tidak menyangkut interior psikis tertentu, sebagian terrepresi, hasrat yang ditolak dan tersimpan dalam di bawah topeng kesopanan, tetapi disebaliknya, merupakan sebuah jaringan hubungan intersubyektif luar yang radikal.
Perbedaan ciri utama yang tidak dapat disematkan pada kualitas positif tertentu adalah apa yang disebut oleh Lacan sebagai le trait unaire, yakni: ciri tunggal, sebuah titik identifikasi simbilos, tempat melekatnya subyek yang Real.
Tesis Lacan bahwa ”The big Other tidak memiliki eksistensi”, berarti the big Other tidak eksis sebagai subyek sejarah; ia tidak diberikan sebelumnya serta tidak mengatur aktifitas kita secara teleologis. ‘Tujuan’ (telos) selalu merupakan sebuah ilusi retroaktif dan “kondisi-kondisi yang secara esensial merupakan hasil tambahan” adalah sangat kontingen. Dengan latar belakang inilah kita harus mendekati definisi klasik Lacan tentang komunikasi, dimana pembicara menerima dari orang lain, pesannya sendiri dalam bentuk terbalik yang sebenarnya. Justru dalam “hasil tambahan esensial” dari aktifitasnya dalam hasil yang tidak terduga bahwa pesannya adalah benar, makna efektif dikembalikan ke subyek. Masalahnya adalah bahwa subyek tidak selalu siap untuk mengenalinya dalam kekacauan, yang menghasilkan makna sebenarnya dari tindakannya.

3.      Wanita Tidak Ada (Woman deosn’t exist)
Karena status sentral penipuan di dalam hubungan dengan tatanan simbolis, maka kita harus menariksebuah kesimpulan yang radikal: Satu-satunya cara agar ‘tidak’ tertipu adalah dengan mempertahankan jarak dari tatanan simbolis, yakni: menerima posisi seorang psikotis. Seorang psikotis persisnya adalah seorang subyek yang ‘tidak ditipu oleh tatanan simbolis’.
Kesalahan seorang paranoid tidak terletak di dalam ketidakpercayaannya yang radikal, yakni dalam keyakinan bahwa ada sebuah penipuan universal – di sini dia memang benar, karena tatanan simbolis adalah tatanan tertinggi dari penipuan mendasar – tetapi dalam kepercayaannya terhadap seorang agen tersembunyi yang memanipulasi penipuan ini dan mencoba menipunya untuk menerma bahwa “Wanita itu tidak ada”.
                                
4.      Sublimasi dan Kejatuhan Objek
Sublimasi biasanya disamakan dengan deseksualisasi, yakni: dengan pemindahan (displacement) cathexis libido dari objek ‘kasar’ yang diduga untuk memuaskan dorongan mendasar tertentu menjadi sebuah bentuk kepuasan ‘tinggi’ (elevated) dan ‘sopan’ (cultivated). Daripada membuat sebuah serangan langsung terhadap wanita, kita lebih baik mencoba membujuk, merayu dan menaklukannya dengan menulis surat serta puisi cinta; daripada memukul musuh kita sampai tidak sadar, lebih baik kita menulis sebuah esai yang menghilangkan kritik terhadap dirinya – ‘tafsir’ psikoanalisis dangkal akan mengusulkan bahwa aktifitas puitis kita hanya merupakan sebuah cara yang sublim dan secara tidak langsung menyediakan bagi kebutuhan tubuh, kritik canggih kita, yakni sebuah penyaluran kembali (rechanneling) agresi fisik kita secara sublim.
Lacan berbeda pendapat tentang masalah derajad nol kepuasan yang mengalami sebuah proses sublimasi. Titik awalnya bukan merupakan obyek yang dinyatakan langsung, kepuasan ‘kasar’, tetapi kebalikannya, yakni: kekosongan primordial di sekitar mana dorongan beredar, ‘kekurangan’ (the lack) yang menerima eksistensi positif dalam bentuk Thing yang tidak berbentuk (Thing menurut Freud adalah substansi kenikmatan yang tidak mungkin untuk dicapai). Objek sublim persisnya adalah “sebuah objek yang diangkat ke martabat Thing”, artinya sebuah objek biasa, objek sehari-hari yang mengalami semacam transsubstansi dan mulai berfungsi dalam ekonomi simbolis subyek sebagai sebuah perwujudan Thing yang tidak mungkin, yakni : ‘Ketiadaan’ (Nothingness) yang sudah di materialisasikan.



5.      Phallic Anamorphosis
Menurut S. Zizek, ada lima variasi bentuk ‘aneh’ (uncanny) dalam film-film Hitchcock:
a.       Dalam film Rope: yang pertama muncul di sini adalah ‘tempat kejadian’ (spot) dan kemudian situasi kehidupan desa sehari-hari, yakni: pesta (party) yang dibangun untuk menutupinya.
b.      Film The Man Who Knew Too Much: Dalam sebuah scene pendek dimana sang tokoh (James Stewart) menuju tempat ahli mengisi tubuh hewan yang mati dengan kapas (taxidermist), Ambrose Chappell; jalan yang dilalui digambarkan seolah-olah dipenuhi oleh suasana sinis, tetapi sebenarnya jalan tersebut hanya merupakan sebuah jalan biasa di pedesaan London, agar ‘noda’ satu-satunya di dalam gambar tersebut adalah ‘tokoh itu sendiri’, yakni: tatapan curiganya sendiri yang melihat ancaman dimana-mana.
c.       Film The Trouble with Harry: Sebuah ‘noda’ (sebuah tubuh) mencoreng kehidupan sehari-hari pedalaman kota Vermont, tetapi orang-orang yang tersandung, tidak memberikan reaksi traumatis provokatif, malah memperlakukannya sebagai sebuah ganggaun kecil serta melanjutkan kegiatan mereka sehari-hari.
d.      Film Shadow of a Doubt: ‘Noda’ di sini adalah paman Charlie, karakter inti dalam film, seorang pembunuh patologis yang bergabung dengan keluarga adik perempuannya di sebuah kota kecil di Amerika. Di mata penduduk setempat, dia adalah seorang dermawan ramah; hanya keponakannya (Charlie) yang ‘mengetahui terlalu banyak’ dan melihat dia sebagaimana adanya – Mengapa ? Jawabannya terletak pada kesamaan identitas mereka: artinya Mereka berdua membentuk dua bagian dari satu personalitas yang sama (seperti Marion dan Norman dalam film Psycho).
e.       Film The Birds: Merupakan ironi terakhir Hitchcock, dimanaunsur tidak alami (unnatural) yang mengganggu kehidupan sehari-hari adalah burung-burung, yakni: alam itu sendiri.

6.      Noda Sebagai Tatapan the Other
Bagian akhir film Rear Window, menunjukkan secara sempurna bagaimana objek gairah yang mendorong gerak tafsir akhirnya adalah tatapan (gaze) itu sendiri.
Film Rear Window mendeklarasikan film-film The Man Who Knew Too Much, Psycho dan The Birds. Pertama-tama, suara ini mengubahnya menjadi sebuah lagu sedih yang janggal, lewat mana Doris Day (penyanyi) mencapai anaknya yang diculik (lagu Que sera sera), kemudian menjadi suara sang ibu yang sudah mati, yang menghantui Norman sampai akhirnya suara burung yang menggaok secara semrawut.

7.      The Tracking Shot
Prosedur formal yang dipakai oleh Hitchcock untuk mengisolasikan noda (stain), sisa dari the Real yang ‘menjulur keluar’ adalah ‘tracking shot’.
Tracking shot ini mengingatkan kita pada struktur yang diperkenalkan oleh Moebius, yakni: Dengan bergerak menjauhi sisi realitas, tiba-tiba kita berada di sisi the Real yang pencabutannya malah membentuk realitas.
Jika montase adalah proses ‘anal’ (Tahap anal adalah tempat metafora – satu objek untuk yang lain, memberikan kotoran atau faeces sebagai ganti dari phaulus) yang sempurna, maka ‘tracking shot’nya Hitchcock mewakili titik dimana ekonomi ‘anal’ berubah menjadi ’phallic’. Montase membawa pemaknaan metafora tambahan yang muncul dari penjajaran fragmen-fragmen yang terkait. Lacan menekankan bahwa metafora dalam ekonomi libidinal adalah sebuah proses anal yang nyata: artinya kita memberikan sesuatu (shit) untuk mengisi kekosongan, yakni mengejar apa yang tidak kita miliki.
Selain tracking pada titik nol, kita mendapatkan paling tidak tiga varian lainnya dalam film Hitchcock:
a.       Tracking shot ‘histeris’ yang tergesa-gesa:  Sebagai contoh dalam film The Birds, dimana kamera tidak bergerak terlalu cepak ke arah titik melalui jumb cuts.
b.      Tracking shot terbalik yang dimulai dari sebuah detail aneh dan mundur ke pandangan keseluruhan realitas: Perhatikan long shot dalam Shadow of a Doubt, dimulai dengan tangan Teresa Wright yang memegang cincin pemberian pamannya (seorang pembunuh) dan kemudian mundur ke belakang dan ke atas, pada pandangan keseluruhan ruang baca perpustakaan, dimana dia (Teresa) hanya tampak seperti sebuah titik kecil di tengah frame; atau  tracking shot terbalik dalam film  Frenzy.
c.       Paradoks ‘trackng shot statis’ dimana kamrea tidak bergerak: Perubahan dari realitas ke the Real dicapai dengan mencampurkan objek heterogen ke dalam frame. Sebagai contoh adalah dalam film The Birds, dimana perubahan demikian dicapai dalam jangka waktu satu shot tetap yang panjang.

8.      Superego Maternal: Mengapa burung-burung menyerang?
Yang harus kita ingat adalah isi libidinal noda (blot) a la Hitchcock: walaupun logikanya bersifat phallic, noda tersebut memberitahukan sebuah agensi yang mengganggu serta menghalangi aturan ‘Nama sang Ayah’ (Nom du Pѐre): artinya, noda tersebut mematerialisasikan Superego Maternal.
Secara Ekologis, judul film ini dapat dibaca sebagai “Burung-burung Dunia, Bersatulah!”(Birds of the World, Unite!): Secara ekologis, burung berfungsi sebagai sebuah pemadatan (kondensial) alam yang tereksploitasi manusia yang berlebihan.

9.      Perjalanan dari Oedipus ke Narsisisme Patologis
Dimana kita harus meletakkan posisi Superego Maternal dalam totalitas karya Hitchcock?
Kita dapat melihat bagaimanaketiga versi ketidakmungkinan hubungan seksual dalam film-film Hitchcock, sebenarnya merujuk pada ketiga bentuk ekonomi libidinal. Pertama, tahap perjalanan awal dengan rintangan yang menggerakkan hasrat reunifikasi, tertanam kuat dalam ideologi klasik subjek ‘otonom’ yang diperkuat melalui cobaan berat; Kedua, tahap tokoh ayah yang pensiu menyebabkan kemunduran subjek ‘otonom’ yang dilawankan dengan tokoh (hero) yang berjaya, dingin dan ‘heteronom’; dan tahap Ketiga adalah tokoh khasnya Hitchcock pada tahun 1950an-1960an dengan ciri ‘narsisme patologis’ yang didominasi oleh figur Superego maternal cabul. Jadi, Hitchcock selalu mementaskan pergolakan keluarga dalam masyarakat kapitalisme tua; ‘rahasia’ yang real dalam filmnya adalah selalu rahasia keluarga, sebuah kebalikan yang suram.

10.  Sebuah Eksperimen Mental: Burung Tanpa Burung
Walaupun burung yang ditampilkan Hitchcock memang memberikan wujud pada agensi Super-ego maternal, hal pokok adalah tidak menangkap hubungan antara kedua ciri yang sudah dijelaskan sebagai sebuah tanda hubungan, sebuah kolerasi antara ‘simbol’ dan ‘makna’nya.
Karenanya, jelaslah mengapa film The Birds, menurut Francois Regnault merupakan film yamg mengakhiri sistem Hitchcock: artinya, burung-burung sebagai inkarnasi akhir dalam Bad Objectnya Hitchcock adalah sebagai rekan dari kekuasaan hukum maternal dan persis hubungan dengan Bad Object yang mempesona serta hukum maternal yang menetapkan inti fantasi Hitchcock.

11.  Montase Hitchcock
Montase biasanya dilihat sebagai sebuah cara menghasilkan potongan-potongan film,shot-shot individual yang terputus, dari fragmen-fragmen the Real, sebuah efek ‘ruang sinematis’ (cinematic space).
Kita sudah menjelaskan bahwa unsur pokok mendasar dari dunia Hitchcock adalah yang disebut ‘noda’ atau ‘bintik’ (spot). Fungsi ‘tracking shot’ Hitchcock yang terkenal adalah justru untuk menghasilkan sebuah noda: artinya, dalam tracking shot, kamera bergerak dari sebuah shot yang mantap ke close-up sebuah detail yang tetap menjadi sebuah noda yang kabur, yakni: bentuk sejati dari apa yang hanya dapat diakses melalui ‘pandangan dari samping’ yang anamorfotis.
Dalam montase Hitchcock ada dua shot yang diperbolehkan dan yang dilarang. Yang diperbolehkan adalah shot objektif dari orang yang mendekati Thing dan shot subjektif yang mempresentasikan Thing seperti yang dilihat orang tersebut. Yang dilarang adalah shot objektif dari Thing, dari objek ‘aneh’ dan terutama shot subjektif orang yang mendekati dari perspektif objek ‘aneh’ itu sendiri.

12.  Dorongan Kematian (Death Drive)
Momen montase Hitchcock – momen dimana Oscar mendekati Sylvia – merupakan momen dimana Oscar menerima hasrat Sylvia sebagai hasratnya sendiri atau merujuk pada definisi Lacan tentang hasrat histeria sebagai hasrat the Other.

Bab 10
Subjek Model Lacan

Teori Lacan terbaca seperti sebuah narasi klasik, yakni: mulai dengan kelahiran (birth), kemudian bergerak melalui wilayah tutub, tahap cermin, akses pada bahasa dan kompleks Oedipus. Wilayah bahasa dan kompleks Oedipus termasuk dalam wilayah yang disebut Lacan sebagai ‘tatanan simbolik’ (the symbolic order), serta menandai kematangan subyek didalam budaya. Setiap tahap narasi dimengerti sehubungan dengan ‘kehilangan atau kekurangan-diri’ (self-loss/lack).
1.      Kelahiran, Pemetaan (Mapping) Wilayah dan The Lack
Konsep tentang ‘kekurangan’ (lack) selalu muncul dalam tulisan dan seminar Lacan. Konsep ini menggambarkan setiap momen dalam perkembangan subjek. Lacan mengikuti Aristophanes, percaya bahwa solusi satu-satunya bagi kehilangan yang dialami subjek sebagai akibat pembagian seksualitas adalah heteroseksual atau melahirkan (procreation).
Dialektika kedatangan subjek sebagai adanya sendiri, sehubungan dengan ‘yang Lain’ (the Other) – terkait dengan fakta bahwa subjek bergantung pada penanda (signifier) dan penanda adalah termasuk dalam wilayah the Other. Kekurangan ini mengambil kekurangan yang lain, yakni: the Real. Kekurangan sebenarnya adalah kehilangan bagian diri melalui makhluk hidup (manusia), dalam memproduksi dirinya secara seksual, telat jatuh dalam pukulan berupa kematian individual.
Menurut Lacan, skenario pembedaan seksual dari budaya ke dalam mana subjek kemudian diasimilasikan, menunjukan ‘jalan’ menuju ‘pemenuhan seksual’, yakni: jalan menuju keselamatan personal. Kata ‘innocent’ adalah sangat inspiratif, karena menunjukan bahwa kompleks Oedipus mengakibatkan diferensi seksual yang ditemukan pada saat kelahiran, dan ide tentang “the lack” adalah sesuatu yang dipelajari subjek hanya setelah subjek masuk ke dalam tatanan simbolis.
Aliran libido diarahkan pada asimilasi menyeluruh dari segala sesuatu yang dialami sebagai menyenangkan dan tidak ada batas-batas yang dikenali. Freud menyebut posisi ini sebagai oceanic self atau Lacan lebih menyukai istilah I’hommelette.

2.      Yang Imajiner (The Imaginary)
Yang imajiner adalah istilah yang dipakai Lacan untuk menunjukan tatanan pengalaman subjek yang di dominasi oleh identifikasi dan dualitas. Dalam skema Lacan, yang Imajiner bukan hanya mendahului tatanan simbolis yang memperkenalkan subjek pada bahasa dan segitiga Oedipus (bapak-ibu-anak), namun harus bereksistensi bersamanya di kemudian hari.
Menurut Slavoj Zizek, yang Imajiner ditandai dengan proses yang disebut tahap cermin. Lacan berpendapat bahwa pada dasarnya manusia lahir secara prematur dalam arti bahwa mereka tidak dapat dengan segera mengkoordinasi gerakan serta organ-organ tubuhnya  hingga usia tertentu.
Lacan menekankan bahwa ‘pengenalan-diri’ (self recognition) adalah sebuah pengenalan yang salah (mis-recognition); karena subjek mengerti dirinya hanay melalui sebuah konsepsi fiksional dimana ciri-ciri yang membatasi, -seperti fokus, koordinasi dll- tidak dimiliki bersama.
Keterombang-ambingan radikal antara emosi-emosi bertentangan sehubungan dengan objek yang sama merupakan ciri khas dari semua hubungan pada tatanan Imajiner. Selama subjek masih tetap terperangkap di dalam tatanan itu, ia tidak akan mungkin dapat menjembatani atau mengindarkan diri dari oposisi biner yang membangun seluruh struktur persepsi.
Hubungan antara tatap cermin dan kompleks Oedipus, yakni: antara identifikasi pra dan pasca simbolis. Lacan mengusulkan bahwa imaji yang ditemukan si anak dalam cermin, secara ideologis adalah netral, artinya ia tidak memiliki determinasi sosial.
3.      Pemaknaan (Signification)
Lacan biasanya merujuk pada The Freudian Thing untuk menjelaskan tentang pemaknaan. Tulisan tersebut menyamakan ‘penanda’ (signifer) dengan paradigma dan ‘yang ditandai’ (the signifed) dengan sintakma. Ia juga melawankan makna dengan realitas.
Penanda (signifer) adalah struktur sinkronis material bahasa, sejauh dalam struktur tersebut, setiap unsur memikul fungsinya secara tepat melalui pembedaan dengan unsur lainnya. Ini adalah prinsip distribusi yang mengatur fungsi unsur-unsur bahasa (language) pada tahap-tahap yang berbeda, yakni dari pasangan fonem yang berlawanan sampai ungkapan majemuk untuk melepaskan bentuk-bentuk tetap.
‘Yang ditandai’ (the signifed) adalah serangkaian percakapan atau tulisan diakronis yang diucapkan secara konkret, yang secara historis beraksi terhadap yang pertama (signifer); persis seperti struktur pertama yang mengatur jalan pada struktur kedua.
Dalam argumentasi Lacan, penanda (signifer) adalah tanda dari alienasi radikal subjek the Real – dari kodratnya yang organis, dari bapak-ibu yang aktual atau dari pengalaman fenomenal apapun.
Bagi Lacan, kriteria definitif sebuah penanda adalah bahwa ia meninggalkan semua hubungan dengan ‘yang Real’ (the Real) dan mengambil tempat dalam sistem makna yang tertutup, bukan karena ia mengambil bagian dari sebuah materialitas yang terberi.
Bagi Lacan dan Barthes, bahasa menjembatani semua penanda lainnya. Dalam skema Lacan, “Yang tidak sadar itu adalah diskursus dari yang lain (the Other)”; hasrat-hasratnya merupakan tatanan sosial yang sudah dibangun, dan diatur oleh sarana bahasa yang sama seperti halnya bagian prasadar.
Hasrat diproduksi melalampaui permintaan, dan dalam mengungkapkan hidup sang subjek menurut kondisi-kondisinya, permintaan (demand) memutuskan hubungan kebutuhan (need) dari hidup tersebut. Dalam wujud keraguan ini, dimana kita dapat mengatakan bahwa ia seolah-olah meminjam jiwanya yang berat dari tunas keras dari dorongan yang terluka dan tubuh psikisnya dari kematian yang diaktualkan urutan penanda, hasrat, ditegaskan sebagai kondisi mutlak.

4.      Yang Simbolik (The Symbolic)
Esensi inses-tabu adalah status pengaturannya dan status tersebut membuatnya tampak sama seperti budaya. Sesungguhnya, pemaksaan sederhana inses-tabu mentransfor-masikan sebuah kondisi alami menjadi sebuah kondisi budaya.
Menurut Levi Strauss, setiap syarat negatif mengimplikasikan sebuah syarat yang positif. Hubungan biologis adalah kurang penting dibandingkan dengan klasifikasi serta hubungan sosial dalam pola antropologinya.
Komplek Oedipus, sejauh kita terus mengakuinya sebagai meliputi seluruh wilayah pengalaman kita dengan maknanya dapat dikatakan menandai batas-batas bahwa disiplin kita menugaskan subjektivitas: yakni apa yang dapat subjek ketahui dari partisipasinya yang tak sadar dalam gerak struktur yang komplek dari hubungan perkawinan, melalui verifikasi efek simbolis dalam eksistensi individualnya dari gerak yang menyentuh ke arah inses yang telah mewujudkan dirinya sejak datangnya sebuah komunitas universal.
“Le Nom the Pere” (The Name of the Father) sebagai penanda yang paling penting, baik dalam sejarah subjek dan pengaturan bidang simbolis yang lebih luas. Phallus adalah kata yang dipakai Lacan untuk menunjuk pada semua nilai-nilai yang berlawanan dengan lack, dan ia berusaha keras untuk menekankan status diskursifnya, buakn status anatomisnya.
Di satu pihak, phallus adalah sebuah penanda bagi benda-benda yang sudah disekat dari subjek pada tahap-tahap pembentukannya, dan tidak akan pernah dipulihkan kembali, yang semuanya dapat diringkaskan sebagai ‘kepenuhan sang ada’ (fullness of being).
Jadi, phallus adalah sebuah penanda bagi realitas atau kebutuhan organis yang dilepaskan subjek untuk mencapai makna, agar mendapatkan akses pada tahap simbolis.
Hubungan phallus dengan penis atau ‘yang simbolis’ dengan ‘bapak aktual’, membutuhkan sebuah formulasi yang tepat. Pertama adalah bahwa hubungan ini melibatkan sebuah ketidaksertaan yang tidak dapat diredusikan.
Eksposisi Montrelay bergantung pada pemeliharaan dua pasang oposisi, yakni antara kategori ‘wanita’ (woman) dan ‘kewanitaan’ (feminity), serta antara kategori ‘represi’ dan ‘penyensoran’ (censorship).
Lacan menekankan sifat non-representasional dari peristiwa penanda yang memperkenalkan subjektivitas; dalam elaborasinya tentang phallus, ia meminta konsep dari sebuah representasi yang representasional (representasional representation). Fort dan da bermakna hanya dalam hubungannya satu sama lain.
Phallus bukan hanya merujuk pada hak istimewa yang simbolis serta kepenuhan sang ‘ada’ yang tidak pernah dapat hidup bersama, tetapi juga merujuk pada penis yang pengorbanannya membuat mereka menjadi aktif. Phallus hanya dapat diaktifkan dalam percakapan (discourse); dan seperti penanda lainnya, ia ditegaskan oleh term-term yang terkait secara paradigmatis.

Bab 11
Pendekatan Lacan Terhadap Perversi

Dalam pandangan Lacan, perversi adalah sama dengan hasrat (desire) itu sendiri, selama ini ia menentang hukum adaptasi serta survival yang ditemukan dalam dunia hewan. Dalam arti ini, logika perversi hanya dapat dipakai sebagai sebuah model dari apa yang bekerja dalam semua diri kita. Perspektif demikian tidaklah menawarkan bimbingan khusus pada bagaimana mendekati perversi secara klinis.
Perversi adalah sebuah cara berfikir atau berhasrat yang mencoba untuk tetap hidup secara psikis. Seperti juga histeria, neurosis obsesional dan fobia, perversi memiliki sebuah logika yang mengatur posisi psikis seorang subjek sehubungan dengan orang lain.
Perversi tidak memiliki alat-alat psikis untuk menghasilkan fantasi Oedipus yang dapat menahan kerjanya hasrat. Sebaliknya, seorang pervert sangatlah ahli dalam menyingkapkan fantasi orang lain serta berbagai kebohongan sosial.
Wanita bangsawan dan femme fatale merupakan imaji-imaji dari fantasi maskulin dan demikian imaji-imaji itu lebih banyak berbicara tentang lelaki dari pada wanita. Dalam perversi dorongan (drive) dihambat agar tidak mencapai tujuan akhirnya, yakni: kenikmatan, karena subjek melarang pada hukum yang melarangnya.
Tahap cermin
Lacan menelusuri asal-usul Ego pada apa yang disebutnya sebagai tahap cermin. Tahap cermin adalah sebuah momen struktural dalam perkembangan psikis. Tahap cermin memperkenalkan sang anak pada momen pengalaman, dimana dia merupakan objek hasrat serta kasih sang ibu.
Jouissance dalam dinamika Oedipus
Jouissance adalah term resmi yang merujuk pada hak untuk menikmati penggunaan sebuah benda, sebagai lawan dari pemilikannya. Karena itu, Jouissancenya the Other merujuk pada pengalaman subjek akan ‘ada’ (being) bagi the Other sebagai objek kenikmatan.
Lahirnya yang tidak sadar
Valence artinya daya tarik psikologis objek (Lewin). Valensi positif menandakan adanya kecantikan dan daya tarik; valensi negatif menandakan ketidakmenarikan.
Hukum larangan inses adalah sebuah proses kerja melalui mana si anak akan didorong kearah kutub identifikasi baru yang akan membentuk Ego-ideal.
Fantasi Oedipus
Fantasi inses bukanlah penyebab represi primer. Fantasi ini dihasilkan setelah pembentukan bagian tak sadar. Baik pada tahap Ego maupun tahap yang tak sadar (apa yang disebut Freud sebagai Superego yang menyelamatkan), menghukum setiap usaha untuk melampaui batas inses.
Dari Fantasi ke Neurosis
Fantasi merupakan sebuah montase yang didasarkan pada keterbatasan psikis yang niscaya dari seorang individual, yang tidak dibekali untuk menerima dalam proses perkembangannya. Alasan mengapa hasrat manusia diberikan kesempatan untuk beroperasi adalah karena sebuah celah harus tetap terbuka dalam sistem.
Tujuan Psikoanalisis
Yang ditawarkan Lacan pada psikoanalisis adalah sebuah pengertian tentang bagaimana subjek telah disesatkan untuk percaya bahwa akses pada fantasinya terkait dengan kekuasaan yang Lain (the Other).
Struktur Perversi
Pervert adalah fakta bahwa kekurangan dalam the Other tidak dapat menemukan penanda-penanda untuk menyimbolkan maknanya, bahkan jika simbol-simbol ini adalah murni bersifat imajiner. Seorang pervert berusaha untuk mencapai titik dimana teka-teki dapat diformulasikan.
Strategi Seorang Pervert
Kesenangan ada dalam proses bukan dalam hasilnya. Seorang neurotis dapat memperoleh sebuah kesenangan terus menerus dengan mempersilahkan fantasi untuk menemaninya; seorang pervert tidak mempunyai kemewahan demikian. Setiap saat ia harus bekerja atas nama dorongannya dengan jumlah jalan keluar yang terbatas.

Bab 12
Desire dan Jouissance

Jouissance adalah kutub lawan dari hasrat (desire). Hasrat adalah sentral dalam pemikiran Freud dan Lacan, alam ajaran Freud hasrat adalah Wunsch atau Bregierde (Hegel) sedangkan Lacan melihat hasrat sebagai lack of being; “Desire is its interpretation”, “Desire must be taken at the letter”, “Desire is the desire of the Other”, dan lain-lain.
Bagi manusia, pemuasan kebutuhan yang niscaya dari hidup sendiri, berjalan melalui sebuah sistem pertukaran simbolis, sehingga membuat subjek terperangkap dalam jaring bahasa, melalui sebuah hubungan diskursus dan sosial yang disebabkan serta dikomandokan oleh the Other.
Kondisi akibat dari ketegangan dan pelepasan eksterm, disebut oleh Freud sebagai ‘pengalaman kepuasan’ (experience of satisfaction), dicirikan dengan tangisan yang mengungkapkan kedekatan maksimum the Thing dan sekaligus pemisahan yang pasti darinya. Maka dari saat ini dan seterusnya, hidup dijalankan dalam pengasingan dari the Thing.
Manusia adalah seorang subjek dengan tuntutan-tuntutan tertentu, kebanyakan bersifat oral, dan sekaligus objek tuntutan yang dibuat oleh the Other, terutama terkait dengan latihan perut. Jouissance menjadi mungkin pada kondisi tidak alamiah (de-naturalized) yang disaring melalui bahasa.

Permintaan (demand) adalah sebuah tuntutan untuk kepuasan. Namun pelaku tuntutan bergerak melampaui keniscayaan; itu adalah hasrat untuk yang absolut serta penanda hasrat the Other, yakni: cintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...