Candi di Jawa Timur
Pada awal abad ke-10 M, tepatnya
tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok,
keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di Jawa Timur
dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang diperkirakan lokasinya berada di
daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya,
sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana
Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan mempunyai
putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan
pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga
candi-candi yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi
Badhut di Malang.
Dalam Prasasti Dinoyo (760 M)
disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang berlokasi di Dinoyo, Malang,
yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan candi Hindu yang
dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan Candi Songgoriti di Batu, Malang,
pembuatan bangunan batu dalam skala besar baru muncul lagi pada masa
pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan Pemandian Belahan dan Candi
Jalatunda di Gunung Penanggungan.
Candi di Jawa Timur mempunyai ciri
yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak
didapati candi berukuran besar atau luas, seperti Borobudur, Prambanan atau
Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati kompleks yang agak luas
adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi di Jawa Timur umumnya
lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih tinggi dan berbentuk
selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama candi, orang harus melintasi
selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga.
Tubuh bangunan candi di Jawa Timur
umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil ke atas dan puncak atap
berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi pintu masuk digantikan dengan patung
atau ukiran naga. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada reliefnya. Relief
pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal (tipis)
dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping dan tokoh yang
digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang.
Candi-candi Hindu di Jawa Timur
umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang berkaitan dengan Trimurti, tiga
dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan Syiwa, misalnya: Durga,
Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Hindu
seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang berkaitan dengan
ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa
Timur adalah adanya relief yang menampilkan kisah wayang.
Rentang waktu pembangunan
candi-candi di Jawa Timur lebih panjang dibandingkan dengan yang berlangsung di
Jawa Tengah, yang hanya berkisar antara 200-300 tahun. Pembangunanan candi di
Jawa timur masih berlangsung sampai abad ke-15. Candi-candi yang dibangun pada
masa Kerajaan Majapahit umumnya menggunakan bahan dasar batu bata merah dengan
hiasan yang lebih sederhana. Beberapa candi yang dibangun pada akhir masa
pemerintahan Kerajaan Majapahit oleh para ahli antropologi dinilai mencerminkan
"pemberontakan" yang muncul akibat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan
masyarakat terhadap keadaan pada masanya yang kacau dan juga sebagai akibat
kekuatiran terhadap munculnya budaya baru. Ciri gerakan tersebut adalah:
1) Adanya upacara-upacara mistis-magis yang umumnya dilaksanakan secara
rahasia.
2) Dimunculkannya tokoh penyelamat.
3) Adanya tokoh-tokoh yang diyakini sebagai pembela keadilan.
4) Munculnya komunitas yang mengucilkan diri, umumnya ke daerah-daerah
pegunungan.
5) Dimunculkannya kembali budaya lama sebagai wujud kerinduan terhadap
zaman keemasan yang telah lampau. Ciri-ciri tersebut diantaranya di Candi Cetha
dan Candi Sukuh.
Pada abad ke-13 Kerajaan Majapahit
mulai surut pamornya bersamaan dengan masuknya Islam ke pulau Jawa. Pada masa
itu banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu dan Buddha
ditinggalkan dan akhirnya dilupakan begitu oleh masyarakat yang sebagian besar
telah berganti memeluk agama Islam. Akibatnya, bangunan candi yang
ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi belukar. Ketika
kemudian daerah di sekitarnya berkembang menjadi daerah pemukiman, keadaannya
menjadi lebih parah lagi. Dinding candi dibongkar dan diambil batunya untuk
fondasi rumah atau pengeras jalan, sedangkan bata merahnya ditumbuk untuk
dijadikan semen merah. Sejumlah batu berhias pahatan dan arca diambil oleh
sinder-sinder perkebunan untuk dipajang di halaman pabrik-pabrik atau rumah
dinas milik perkebunan.
Keterangan mengenai candi-candi di
Jawa Timur umumnya bersumber dari Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca (1365) dan Pararaton yang ditulis oleh Mpu Sedah (1481), selain juga
dari berbagai prasasti dan tulisan di candi yang bersangkutan. Dalam wacana
arkeologi Indonesia, terdapat dua corak percandian yakni corak Jawa Tengah
(abad 5-10 M) dan corak Jawa Timur (abad 11-15 M), dimana masing-masing
memiliki corak serta karakteristik berbeda. Candi bercorak Jawa Tengah umumnya
memiliki tubuh yang tambun, berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi
terletak di tengah, sedangkan corak Jawa Timur bertubuh ramping, berundak
horisontal dengan bagian paling suci terletak belakang.
Berbeda denga candi-candi Jawa
Tengah, selain sebagai monumen candi di Jawa Timur diduga kuat juga berfungsi
sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telah meninggal. Candi yang
merupakan tempat pendarmaan, antara lain, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana,
Candi Jawi dan Candi Singasari untuk Raja Kertanegara, Candi Ngetos untuk Raja
Hayamwuruk, Candi Kidal untuk Raja Anusapati, Candi Bajangratu untuk Raja
Jayanegara, Candi Jalatunda untuk Raja Udayana, Pemandian Belahan untuk Raja
Airlangga, Candi Rimbi untuk Ratu Tribhuanatunggadewi, Candi Surawana untuk Bre
Wengker, dan candi Tegawangi untuk Bre Matahun atau Rajasanegara. Dalam
filosofi Jawa candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah
meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan
tersebut berkaitan erat dengan konsep “Dewa Raja” yang berkembang kuat di Jawa
saat pada masa yang sama. Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya relief pada
kaki candi yang menggambarkan legenda dan cerita yang mengandung pesan moral, seperti
yang terdapat di Candi Jago, Surawana, Tigawangi, dan Jawi.
Candi di Jawa Timur jumlahnya mencapai puluhan,
umumnya pembangunannya mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan Singasari dan
Kerajaan Majapahit. Masih banyak candi, terutama candi-candi kecil yang belum
terliput, di antaranya: Bacem, Bara, Bayi, Besuki, Carik, Dadi, Domasan,
Gambar, Gambar Wetan, Gayatri, Gentong (dalam pemugaran), Indrakila, Jabung,
Jimbe, Kalicilik, Kedaton, Kotes, Lemari, Lurah, Menakjingga, Mleri,
Ngetos, Pamotan, Panggih, Pari, Patirtan Jalatunda, Sanggrahan, Selamangleng,
Selareja, Sinta, Songgoriti, Sumberawan, Sumberjati, Sumbernanas, Sumur, Watu
Lawang, dan Watugede.
Candi Kidal
Gambar 1
Candi Kidal Tampak Keseluruhan
Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang,
sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan
berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk
menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran
kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh
serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah
beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar
taman candi juga tertata dengan baik.
Candi Kidal
adalah salah satu candi
warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai
bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati,
Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248).
Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan
Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah
mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan
moral pembebasan dari perbudakan.
Anusapati - Sang Garuda Yang
Berbakti
Penggalan pupuh dalam kitab
Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit
dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan
dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi
Kidal.
Bathara
Anusapati menjadi raja
Selama
pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka
Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) beliau berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya
beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
(Nagarakretagama :
pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)
Keistimewaan
Candi Kidal
Gambar 2
Kepala Batara Kala
di atas gerbang masuk Candi Kidal.
Candi Kidal sesungguhnya memiliki
beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya. Candi Kidal
terbuat dari batu andesit
dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi
nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan
tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta
atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat
hiasan medallion serta sabuk
melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin
keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas
tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas
candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi
hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian
kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala
kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah
satu aspek Dewa Siwa
dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan
kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya
terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan.
Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di
sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra atau sikap mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai
penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran
Di sekeliling candi terdapat
sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali
sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks
candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah
memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan
dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam
sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan
permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau
gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal
merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca
Jawa Tengah yaitu abad ke 5 hinggan abad ke 10 Masehi. Hal ini karena periode Mpu Sindok
abad 10 Masehi, Pemerintahan Airlangga
abad ke 11 Masehi dan Pemerintahan Kerajaan Kediri abad ke 12 Masehi sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi,
kecuali Candi Belahan di Desa Gempol dan
Candi Jolotundo di daerah Trawas
yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan atau disebut dengan
nama lain sumber air yang kadang digunakan sebagai pemandian dan kegiatan
masyarakat lainnya seperti mengambil air untuk keperluan sehari – hari.
Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang
menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok,
ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah
ditemukan.
Relief
Garuda
Gambar 3
Relief I: Garuda melayani para ular
Pada bagian kaki candi terpahatkan
tiga buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita
ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral
tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin
tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam
membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa
Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita
Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran
Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan
dan Kediri.
Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai
dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda
paling indah sekarang masih tersimpan di museum
Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi
Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah
sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya
(berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau
sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda
dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas
kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara
ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata
adalah dua bersaudara istri Resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor
ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan
dan lelah harus mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering
menghilang di antara semak-semak. Timbulah niat jahat Kadru untuk menyerahkan
tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih
Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala
perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang.
Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta
mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta
pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia
bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga tiga saudara
angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda
Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada tiga ekor ular
tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini.
Dijawab oleh ular
"bawakanlah
aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan
berasal dari lautan susu".
Garuda menyanggupi dan segera mohon
izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui
keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda
para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan
dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan.
Gambar 4
Relief II: Garuda mengambil tirta amerta
Setelah mendengar cerita Garuda
tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam
amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi
tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi
tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya
duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta.
Gambar 5
Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya
Dengan bekal air suci amerta inilah
akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini
digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong
ibunya dan bebas dari perbudakan.
Ruwatan
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah,
candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja,
sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut
raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama
bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi
dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga
berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci
dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja
yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan
tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki
candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain.
Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama,
maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan
sebagai Siwa.
Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda
diduga kuat berasal dari candi Kidal. Dipahatnya relief Garudeya karena sebelum
meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang
didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan
demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya,
namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita
utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan
bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen –
Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor
hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan
untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri
Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya
yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok,
yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan
sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta
Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni
wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken
Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes.
Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang
dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken
Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka
pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk
meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati
sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali
sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
Simbol dan
Medalion (mendali)
Di Candi Kidal selain relief Garuda juga terdapat
relief Meddalion yang bergambarkan lukisan hewan dan tumbuhan. Disebut medalion
karena bentuk pahatan yang bundar mirip mendali yang dipahatkan di batu,
bergambar simbol – simbol hewan dan binatang yang digambarkan secara
transformasi (dalam bentuk yang lebih imajinatif).
Simbol berasal dari kata symballo yang
berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya ”melempar bersama-sama”,
melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan,
sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang
ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah gambar,
bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu.
Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan
untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat
digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu
pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata,
namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu
infrastruktur bahasa,
yang dikenal dengan bahasa simbol.
Gambar 6
Medallion
tumbuhan
Simbol – simbol hewan dan tumbuhan
yang dilukiskan dalam relief – relief medalion tersebut merupakan
rangkaian keperluan keagamaan, karena alam merupakan hasil cipta Sang Maha
Widi, atau Hyang Tunggal. Seperti tampak pada gambar 6 di sebelah kiri yang
menggambarkan buah kapas yang sedang pecah mengembang dan disebelah kanan
menggambarkan seperti daun pohon kelapa yang dilukiskan secara imajinatif.
Begitujuga pada gambar 7, binatang yang dilukiskan merupakan anjing, karena
pada zaman dahulu, anjing merupakan pembantu
manusia dalam berburu.
Gambar 7
Medallion
Binatang
Walaupun ekor pada gambar anjing tersebut digambarkan sangat imajinatif.
Pada umumnya lukisan hewan yang terdapat pada candi – candi adalah hewan yang
mudah ditemui dalam hutan dan hewan yang dapat membantu kegiatan manusia misalnya kerbau, banteng, anjing, burung,
kijang, kancil, dan buaya, selain itu ada juga gambar binatang yang sulit
digambarkan, atau dilukiskan secara imajinatif dan faktor kerusakan relief
sehingga sulit dimengerti.
Daftar
Pustaka
Jan Fontein, R. Soekmono, Edi Sedyawati. 1990. Sculptured of
Indonesia, National Gallery of Art, ISBN
0-89468-141-9.
Moelyono, S. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Djambatan.
Dinas Pariwisata Daerah Tk. I Jawa Timur 1992, 700 Tahun Majapahit.
Archipelago1995, Monthly Tourism Magazine, First Edition 1995.
W. L .Jenkins,
1952.B, Fritz, Dorothy. The Use of Symbolism in Christian Education. United
States of America: McmlXI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar