Minggu, 18 Agustus 2013

Ketika Orang Jawa Nyeni

Ketika Orang Jawa Nyeni
Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A

Teater tradisional di Sleman Yogyakarta Jenis dan Persebarannya.
Untuk melestarikan kehidupan teater tradisional di Yogyakarta perlu adanya catatan dan pemetaan potensi teater tradisionla yang ada, guna dijadikan dasar bagi pembinaan serta pengembangannya. Adapun fungsi peta tematik semacam ini adalah untuk dapat memberikan gambaran yang jelas tentang potensi dan lokasi suatu jenis teater tradisional serta hubungan timbal baliknya dengan kondisi greografis setempat. Peta ini diperlukan karena catatan dan peta yang ada sekarang ini belum dapat memberikan gambaran yang mewakili mengenai keadaan yang sebenarnya dilapangan. Selain itu peta tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara geografis karena proses pembuatannya tidak menggunakan metode pemetaan yang sistematis. Secara umum teater tradisional di wilayah Sleman ini dapat digolongkan dalam beberapa jenis yakni, jenis wayang, jenis drama-tari, jenis Tayuban, jenis Jatilan dan Reog dan jenis Slawatan. Tugas pembinaan dan pengelolaan yang resmi dari pemerintah atas berbagai jenis teater tradisional ini dibebankan kepada Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sleman. Tugas ini dirasa terlalu berat karena terbatasnya fasilitas dan personalia yang ada.
Teater tradisional didefinisikan sebagai seni pertunjukan yang terdapat di wilayah Kabupaten Sleman, yang berakar atau bersumber pada tata kehidupan kerakyatan, serta memiliki bentuk dan jiwa yang relatif masih asli dan lahir dari spontanitas kehidupan masyarakat. Bentuk teater tradisional ini kelihatannya bermacam – macam, kakn tetapi jika ditinjau dari materi yang dihidangkan dan struktur yang dimiliki banyak persamaannya antara satu dengan yang lain. Perbedannya terletak pada aksentuasinya. Ciri utama pada teater tradisional ini adalah susunan cerita, pola permainan, dialog yang diucapkan dan sebagainya bersifat improvisatoris dan spontan. Pokok cerita yang dipentaskan telah dikenal oleh masyarakat dan hidup dalam tradisi lisan mereka (Achmad, 1997).
Jenis – jenis Teater Tradisional di Sleman :
  1. Wayang (Wayang kulit Purwa, Wayang Klitik, Wayang Golek, Wayang Orang).
  2. Langen Mondro Wanoro
  3. Ketoprak (Ketoprak Lesung, Ketoprak Gamelan).
  4. Sruntul
  5. Ande-Ande Lumut
  6. Srandul
  7. Dadung Awuk
  8. Tayub
  9. Jatilan dan Reog (Jatilan Gaya Baru).
  10. Slawatan (Slawatan Maulud, Slawatan Laras Madya, Barzanji, Rodad, Emprak, Angguk, Trengganom/kuntulan, Peksimoi, Ndolalak, Badui, Kobrasiswa, Samroh/Qosidahan).

Dapat diketahui bahwa jenis teater tradisional yang ada di daerah sleman meliputi antara lain, jenis wayang, jenis drama-tari, jenis tayuban, jenis jatilan dan jenis reog serta jenis slawatan. Berbagai jenis teater tradisional ini lahir secara spontan dari keluarga masyarakatnya, dihayati dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Faktor pertama yang mendorong kelahirannya adalah kebutuhan masyarakat akan hiburan. Hiburan ini kemudian meningkat menjadi pengisi rangkaian kegiatan dalam upacara-upacara, dan akhirnya tidak lagi dapat dipisahkan dari adat istiadat dan tata kehidupan masyarakat. Dilihat dari jumlah kelompok dan banyaknya jenis kesenian, kelompok kesenian di Sleman ternyata cukup banyak. Namun demikian kehidupan mereka belum dapat dikatakan menggembirakan. Ini setidaknya terlihat dari frekuensi rata-rata pementasan yang sangat kecil, yaitu satu kali pementasan dalam kurun waktu antara 1-1,5 tahun. Di samping itu pengelolanya juga masih dilakukan sepenuhnya oleh pihak swasta. Hanya sebagian kecil saja yang mendapatkan bantuan ataupun penanganan dari pemerintah setempat, itupun terbatas pada jenis Kesenian Ketoprak dan Karawitan. Selebihnya dibina dan dikelola oleh seniman sendiri.
Pada umumnya semua jenis teater tradisional mempunyai ciri pementasan yang sama yakni sederhana dan spontan. Tempat pementasaan tidak pernah menjadi persoalan, dan di arena pementasan juga jarang ada dekorasi. Penontonlah dituntut untuk membuat dekorasi secara imajiner. Posisis penonton umumnya berbentuk melingkar ataupun tapal kuda. Pra penonton sekaligus juga merupakan batas dari arena pementasan. Struktur cerita yang disajikan sangat sederhana karena yang dipentingkan adalah jalannya cerita secara kornologis dan teknik improvisasi cerita oleh para pemain. Pada umumnya cerita ini dipetik dari kisah sejarah, dongeng, fabel, legenda, mithe, ataupun cerita kehidupan sehari-hari yang umumnya telah dikenal oleh masyarakat. Pementasan umumnnya dibuka dengan tetabuhan yang berfungsi antara lain untuk mengundang penonton. Atraksi pertama berupa nyanyian dan tarian, setelah itu pementasan cerita sebenarnya. Cara penyajian cerita tidak hanya dengan dialog akan tetapi juga dengan tari dan nyanyian yang diiringi tetabuhan (musik). Laku dramatik diungkapkan dalam teater tradisional secara tak terduga-duga. Dalam satu adegan dimungkinkan untuk muncul dua emosi yang bertentangan seperti tangis dan tawa, sedih dan gembira. Lama pertunjukannya tergantung dari keasikan suasana yang terbina.

Kesenian Angguk dari Desa Garongan
Kesenian angguk yang khas ini merupakan jenis kesenian rakyat yang sudah puluhan tahun dikenal dan hidup di tengah-tengah masyarakat desa Garongan, Yogyakarta. Fungsi utama kesenian ini adalah untuk hiburan bagi warga masyarakat, namun di dalamnya juga terkandung ajaran-ajaran moral, norma-norma sosial dan pendidikan untuk memelihara pergaulan sosial. Semuanya tercermin dalam pantun-pantun yang dibawakan ketika pertunjukan ini dimainkan. Dalam garis besarnya pantun-pantun itu dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu pantun bersifat profan dan pantun yang bersifat sakral. Pantun yang bersifat Profan melukiskan berbagai liku-liku kehidupan manusia di alam dunia, sedangkan pantun yang bersifat sakral menuturkan hubungan manusia dengan Tuhan. Kesenian Angguk desa Garongan ini tampak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu dan Islam, sebagaimana dapat dikenali dari unsur-unsur yang terkandung dalam serangkaian penampilannya. Upacara-upacara sesaji yang dilengkapi dengan persyaratan khusus seperti bunga dan membakar kemenyan untuk ditunjukkan pada roh-roh, serta pengakuan atas adanya peristiwa manitis, merupakan unsur-unsusr kepercayaan Hindu. Begitu pula dengan kepercayaan akan adanya tuah atau kesaktian yang terkandung di dalam jimat yang mereka pakai. Kesenian Angguk desa Garongan juga menggunakan kitab Tlodo bertuliskan huruf arab yang memuat kasidah-kasidah Berzanji. Hal ini jelas menunjukkan adanya pengaruh dari agama Islam. Pengaruh Hindu, animisme dan Islam tampaknya memang ada dan diakui oleh warga masyarakat. Kesenian Angguk tetap bertahan karena ditopang dan diterima oleh nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Koentjaraningrat (1977:269) tak pernah ada suatu masyarakat yang semua penduduknya menganut hanya satu macam religi saja, seperti fetishisme, animisme, monotheisme, atau lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa bentuk-bentuk kepercayaan itu merupakan unsur yang selalu tercampur dan terjalin erat dengan berbagai unsur kebudayaan yang erat dengan masyarakat. Suatu religi bisa merupakan suatu kompleks unsur yang terdiri dari unsur-unsur animisme, pre-animisme, totemisme, mistik dan sebagainya sehingga religi tersebut, walaupun pada lahirnya bersifat monoteisme, toh dalam kenyatannya mengandung unsur-unsur politeisme, animisme, pre-animisme, atau mistik dan sebagainya.
Kesenian Angguk ini biasanya dipentaskan pada waktu malam hari di arena pendopo sebuah rumah dan bersifat terbuka untuk umum. Penonton dapat bergerombol sesuka hati tanpa harus membede-bedakan kelas, semua berada di halaman terbuka. Jumlah anggota kesenian Angguk desa Garongan ada 24 orang yang semuanya adalah laki-laki, seluruh pemain dapat digolongkan menjadi dua kategori. Pertama penari yang berjumlah 12 orang, penabuh (pengiring) berjumlah 12 orang. Masing- masing golongan mempunyai fungsi ganda, kelompok penari disamping berjoged juga nembang. Kelompok pengiring disamping membunyikan instrumen mereka juga mbawani, yaitu melakukan bowo dari kitab tlodo. Kitab tlodo ini bertuliskan arab namun dilagukan dengan cengkok tembang Jawa, oleh karen itu sering disebut Arab-pegon.
  1. Peralatan Musik
Ada empat macam alat yang digunakan dalam pementasan Angguk yaitu; jedor (bedug kecil), genjreng (sejenis terbang), kendang dan kecer. Dilihat dari instrumen musiknya ada juga di sini adanya unsur-unsur Hindu dan Islam. Jedor dan genjreng merupakan jenis instrumen seni-budaya Islam yang seringkali dipergunakan dalam selawatan maupun samroh, sedangkan kendang dan kecer merupakan jenis instrumen musik yang sudah lama ada sejak masa Hindu, seperti sering dijumpai dalam kesenian wayang kulit.  
  1. Kostum Pemain
Pakaian yang digunakan antara pengiring dan penari berbeda, pada kelompok penari pakaian yang digunakan mirip pakaian prajurit kerajaan. Ada juga yang menyatakan mirip dengan pakaian serdadu kumpeni (serdadu Belanda). Mereka yang tergolong sebagai penari semuanya memakai topi-pet berwarna hitam yang di bagian pinggirnya diplisir kain yang berwarna merah-putih yang dikombinasi dengan warna kuning emas. Di bagian depan topi-pet terdapat jambul dari bobat (rambut ekor kuda). Pakaian yang digunakan pengiring lebih menunjukkan ciri-ciri pakaian santri yang berupa sarung, baju lengan panjang yang dilengkapi jas bukak serta kopiah.   
  1. Tarian dalam Angguk
Dalam satu pementasan Angguk terdapat 11 macam tarian yang dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu: Tari Ambyakan dan Tari Pasangan. Dalam kategori tari Ambyakan terdapat tiga buah tari, yakni;
a.       Tari Bakti
b.      Tari Srokal
c.       Tari Penutup
Berbeda halnya dengan tari berpasangan, terakhir hanya tinggal sepasang penari saja yang tampil dengan peranannya. Termasuk dalam tari pasangan ini adalah:
a.       Tari Mandaroka
b.      Tari Kamudaan
c.       Tari Cikalo-ado
d.      Tari Layung-dilayung
e.       Tari intik-intik
f.       Tari Saya-cari
g.      Tari Jalan-jalan
h.      Tari Robisari. 
  1. Pantun-pantun dalam Angguk
a)      pantun nasehat (pendidikan)
b)      pantun muda-mudi
c)      pantun sakral.

Apresiasi Masyarakat Yogyakarta Terhadap Musik Populer
Pada dasarnya musik dipilah dalam beberapa macam sehubungan dengan kriteria yang dipergunakan berdasarkan pemakaian titi nadanya, ditemukan musik pentatonis dan diatonis. Ditinjau dari segi sosial, setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi warga masyarakat terhadap musik populer yakni; derajat pengenalan, pembiasaan, dan intensitas pergaulannya dengan musik populer. Intensitas pergaulan yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang lebih mendasar mengenai aspek-aspeknya serta keterlibatannya (baik secara kualitatif maupun kwantitatif) dalam kegiatan yang menggunakan musik populer sebagai sarana salah satu pokoknya. Dalam pengenalan dan pembiasaan, hasrat sengaja bersentuhan dengan musik populer bukanlah suatu yang mutlak harus ada. Dengan kata lain, pengenalan dan pembiasaan terhadap musik populer bisa saja terjadi secara alami atau tanpa adanya unsur kesengajaan.
Apabila benar pengetahuan seseorang tentang aspek musik populer berjalan sejajar dengan kemampuan pengenalan dan pembiasaanya, maka warga masyarakat golongan yang sanggup mengkonsumsi produk audio visual akan lebih lengkap pengetahuannya dari pada warga masyarakat kampungan yang lebih terbatas pada penikmat auditif saja. Oleh karena itu warga masyarakat gedongan (kaya) juga akan lebih mampu mengadakan pengamatan dari dekat instrumen-instrumen yang dipergunakan berikut dengan cara memainkannya (setidak-tidaknya dengan garis besar). Di sekitar tahun 1972-1973, di seberang Pasar Beringharjo (di trotoar sebelah selatan gedung bioskop “Indra”) Yogyakarta, hampir setiap malam anak-anak muda di lapsian bawah yang bernyanyi dan menari sampai agak larut malam. Tema kritik sosial atau tema-tema masalah dunia yang menuntut adanya lingkup informasi dan pemikiran yang lebih luas. Masyarakat pada golongan atas lebih potensial untuk menyerap tema-tema seperti ini. Dengan kemampuan potensial untuk menyerap segala jenis tema yang ada, masyarakat gedongan lebih berfungsi sebagai selektor tema-tema lagu populer yang didengarkan. Di lain pihak masyarakat kampung karena keterbatasan informasi dan lingkup pemikirannya, lebih berada pada posisi tersudut. Mereka hanya mendengarkan lagu-lagu populer dengan tema syair yang mudah diserap. Hasil penelitian mengenai apresiasi musik populer jenis ndang-ndut dan bukan ndang-ndut di daerah Kotabaru dan Cokrodirjan di kota Yogyakarta memperlihatkan bahwa memang ada perbedaan apresiasi di kalangan warga masyarakat yang tinggal di daerah gedongan (lapisan atas), dengan mereka yang tinggal di daerah kampung. Merekalah yang tinggal di daerah orang kaya dan warga lapisan atas (Kotabaru) ternyata lebih menggemari musik populer dari jenis bukan ndang-ndut, sedangkan mereka di lapisan kampung (warga lapisan bawah) lebih menggemari musik ndang-ndut. Apa perbedaan disini karena oleh kemampuan menyerap atau menikmati komposisis musiknya atau oleh kebiasaan saja, yang dibentuk dari kebiasaan sosial, atau oleh hal-hal yang lain tampaknya masih harus dijawab melalui penelitian lain di masa mendatang.

Dagelan Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta

Dagelan Mataram adalah suatu jenis kesenian Jawa, yang dilahirkan oleh masyarakat Jawa di Yogyakarta. Dagelan ini lahir di lingkungan Kraton Yogyakarta, ketika GP. Hangabei, putra Sultan Hamengkubuwana VIII, pada tiap-tiap hari kelahirannya memanggil para abdi dalem oceh-ocehan ke rumah kediamannya untuk membuat tertawa orang yang melihat dan mendengarkan ocehan mereka. Setelah mengalami berbagai perkembangan pada bentuknya yang baku, dagelan kini muncul dengan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. mengandung cerita tertentu
  2. memakai bahasa jawa
  3. materi cerita diangkat dari kehidupan sosial masyarakat Jawa
  4. diiringi gamelan dan sinden sebagai illustrasi
  5. kadang-kadang memakai tari-tarian
  6. pemain kadang-kadang menyanyikan tembang
  7. memakai kostum pakaian Jawa gaya Surakarta atau pakaian yang berasal dari kesenian Jawa lainnya (ketoprak atau wayang orang).
Dewasa ini kebudayaan barat modern telah amat berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia. Dagelan Mataram yang dihasilkan oleh sistem kebudayaan lam, dengan gaya dan ungkapan yang bersumber pada gaya hidup masyarakat Jawa Yogyakarta tampak ikut terdesak, meskipun ada penyesuaian di segala bidang agar tidak tersingkir. Dagelan Mataram tampak terdesak dengan adanya dagelan-dagelan baru, atau dagelan lama yang ungkapannya lebih mengikuti perkembangan jaman.
Sri mulat misalnya, yang semula memakai gaya dagelan Mataram, kini mulai memperkenalkan musik pengiring berupa band. Penyanyi bukan sinden melainkan biduan dan biduanita. Lagu  yang dibawakan bukan tembang melainkan lagu populer baik keroncong, langgam, ndang-ndut, maupun lagu-lagu barat dari segala aliran.
Uraian mengenai hubungan antara kenyataan dan perubahan beberapa bentuk seni teater tradisional Jawa dengan lembaga-lembaga social yang ada di sekitarnya. Beberapa bentuk seni teater tradisional Jawa mulai menipis penggemarnya dan dihadapkan pada beberapa tantangan akibat perubahan social budaya yang terjadi di Indonesia. Perubahan social budaya tersebut antara lain adalah perkembangan teknologi komunikasi, perubahan system social, dan perubahan system nilai. Perubahan atas hal-hal itu membuahkan atas tuntutan-tuntutan baru pada seni tradisional yaitu tuntutan akan keunikan dan akan kemampuan merangsang keinginan penonton yang mulai malas meninggalkan rumah.
Pertama, perubahan yang terjadi dalam kehidupan beberapa bentuk seni teater tradisional Jawa berhubungan dengan perubahan social budaya yang ada di sekitarnya, terutama perubahan dalam teknologi komunikasi, system social dan system nilai. Kedua, perubahan social budaya telah menyebabkan munculnya rasa malas masyarakat untuk menonton seni teater tradisional secara langsung. Lahirnya beberapa bentuk seni modern yang lebih cocok dengan tuntutan system nilai modern, lahirnya tuntutan akan latar yang kongkret, tokoh yang psikologi, alur yang menegangkan, cerita yang baru, yang kesemuanya berpusat pada konsep dasar yaitu keunikan, telah membuat warga masyarakat semakin sedikit memperhatikan kesenian tradisional. Unik disini berarti kongkret, baru, dan individualistic, dan tuntutan akan bahasa yang lugas serta penampilan yang efisien dan efektif.

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...