Ketika
Orang Jawa Nyeni
Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A
Teater tradisional di
Sleman Yogyakarta Jenis dan Persebarannya.
Untuk melestarikan
kehidupan teater tradisional di Yogyakarta perlu adanya catatan dan pemetaan
potensi teater tradisionla yang ada, guna dijadikan dasar bagi pembinaan serta
pengembangannya. Adapun fungsi peta tematik semacam ini adalah untuk dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang potensi dan lokasi suatu jenis teater
tradisional serta hubungan timbal baliknya dengan kondisi greografis setempat.
Peta ini diperlukan karena catatan dan peta yang ada sekarang ini belum dapat
memberikan gambaran yang mewakili mengenai keadaan yang sebenarnya dilapangan.
Selain itu peta tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
geografis karena proses pembuatannya tidak menggunakan metode pemetaan yang
sistematis. Secara umum teater tradisional di wilayah Sleman ini dapat
digolongkan dalam beberapa jenis yakni, jenis wayang, jenis drama-tari, jenis
Tayuban, jenis Jatilan dan Reog dan jenis Slawatan. Tugas pembinaan dan
pengelolaan yang resmi dari pemerintah atas berbagai jenis teater tradisional
ini dibebankan kepada Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Sleman. Tugas ini dirasa terlalu berat karena terbatasnya fasilitas
dan personalia yang ada.
Teater tradisional
didefinisikan sebagai seni pertunjukan yang terdapat di wilayah Kabupaten
Sleman, yang berakar atau bersumber pada tata kehidupan kerakyatan, serta
memiliki bentuk dan jiwa yang relatif masih asli dan lahir dari spontanitas
kehidupan masyarakat. Bentuk teater tradisional ini kelihatannya bermacam –
macam, kakn tetapi jika ditinjau dari materi yang dihidangkan dan struktur yang
dimiliki banyak persamaannya antara satu dengan yang lain. Perbedannya terletak
pada aksentuasinya. Ciri utama pada teater tradisional ini adalah susunan
cerita, pola permainan, dialog yang diucapkan dan sebagainya bersifat
improvisatoris dan spontan. Pokok cerita yang dipentaskan telah dikenal oleh
masyarakat dan hidup dalam tradisi lisan mereka (Achmad, 1997).
Jenis – jenis Teater Tradisional di
Sleman :
- Wayang (Wayang
kulit Purwa, Wayang Klitik, Wayang Golek, Wayang Orang).
- Langen
Mondro Wanoro
- Ketoprak
(Ketoprak Lesung, Ketoprak Gamelan).
- Sruntul
- Ande-Ande
Lumut
- Srandul
- Dadung Awuk
- Tayub
- Jatilan dan
Reog (Jatilan Gaya Baru).
- Slawatan
(Slawatan Maulud, Slawatan Laras Madya, Barzanji, Rodad, Emprak, Angguk,
Trengganom/kuntulan, Peksimoi, Ndolalak, Badui, Kobrasiswa,
Samroh/Qosidahan).
Dapat diketahui bahwa
jenis teater tradisional yang ada di daerah sleman meliputi antara lain, jenis
wayang, jenis drama-tari, jenis tayuban, jenis jatilan dan jenis reog serta
jenis slawatan. Berbagai jenis teater tradisional ini lahir secara spontan dari
keluarga masyarakatnya, dihayati dan berkembang sesuai dengan kondisi
lingkungannya. Faktor pertama yang mendorong kelahirannya adalah kebutuhan
masyarakat akan hiburan. Hiburan ini kemudian meningkat menjadi pengisi
rangkaian kegiatan dalam upacara-upacara, dan akhirnya tidak lagi dapat
dipisahkan dari adat istiadat dan tata kehidupan masyarakat. Dilihat dari
jumlah kelompok dan banyaknya jenis kesenian, kelompok kesenian di Sleman
ternyata cukup banyak. Namun demikian kehidupan mereka belum dapat dikatakan
menggembirakan. Ini setidaknya terlihat dari frekuensi rata-rata pementasan
yang sangat kecil, yaitu satu kali pementasan dalam kurun waktu antara 1-1,5
tahun. Di samping itu pengelolanya juga masih dilakukan sepenuhnya oleh pihak
swasta. Hanya sebagian kecil saja yang mendapatkan bantuan ataupun penanganan
dari pemerintah setempat, itupun terbatas pada jenis Kesenian Ketoprak dan
Karawitan. Selebihnya dibina dan dikelola oleh seniman sendiri.
Pada umumnya semua
jenis teater tradisional mempunyai ciri pementasan yang sama yakni sederhana
dan spontan. Tempat pementasaan tidak pernah menjadi persoalan, dan di arena
pementasan juga jarang ada dekorasi. Penontonlah dituntut untuk membuat
dekorasi secara imajiner. Posisis penonton umumnya berbentuk melingkar ataupun
tapal kuda. Pra penonton sekaligus juga merupakan batas dari arena pementasan.
Struktur cerita yang disajikan sangat sederhana karena yang dipentingkan adalah
jalannya cerita secara kornologis dan teknik improvisasi cerita oleh para
pemain. Pada umumnya cerita ini dipetik dari kisah sejarah, dongeng, fabel,
legenda, mithe, ataupun cerita kehidupan sehari-hari yang umumnya telah dikenal
oleh masyarakat. Pementasan umumnnya dibuka dengan tetabuhan yang berfungsi antara lain untuk mengundang penonton.
Atraksi pertama berupa nyanyian dan tarian, setelah itu pementasan cerita
sebenarnya. Cara penyajian cerita tidak hanya dengan dialog akan tetapi juga
dengan tari dan nyanyian yang diiringi
tetabuhan (musik). Laku dramatik diungkapkan dalam teater tradisional
secara tak terduga-duga. Dalam satu adegan dimungkinkan untuk muncul dua emosi
yang bertentangan seperti tangis dan tawa, sedih dan gembira. Lama
pertunjukannya tergantung dari keasikan suasana yang terbina.
Kesenian
Angguk dari Desa Garongan
Kesenian angguk yang
khas ini merupakan jenis kesenian rakyat yang sudah puluhan tahun dikenal dan
hidup di tengah-tengah masyarakat desa Garongan, Yogyakarta. Fungsi utama
kesenian ini adalah untuk hiburan bagi warga masyarakat, namun di dalamnya juga
terkandung ajaran-ajaran moral, norma-norma sosial dan pendidikan untuk
memelihara pergaulan sosial. Semuanya tercermin dalam pantun-pantun yang
dibawakan ketika pertunjukan ini dimainkan. Dalam garis besarnya pantun-pantun
itu dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu pantun bersifat profan dan pantun yang bersifat sakral. Pantun yang bersifat Profan melukiskan berbagai liku-liku
kehidupan manusia di alam dunia, sedangkan pantun yang bersifat sakral menuturkan hubungan manusia
dengan Tuhan. Kesenian Angguk desa Garongan ini tampak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
Hindu dan Islam, sebagaimana dapat dikenali dari unsur-unsur yang terkandung
dalam serangkaian penampilannya. Upacara-upacara sesaji yang dilengkapi dengan
persyaratan khusus seperti bunga dan membakar kemenyan untuk ditunjukkan pada
roh-roh, serta pengakuan atas adanya peristiwa manitis, merupakan unsur-unsusr kepercayaan Hindu. Begitu pula
dengan kepercayaan akan adanya tuah
atau kesaktian yang terkandung di dalam jimat
yang mereka pakai. Kesenian Angguk desa Garongan juga menggunakan kitab
Tlodo bertuliskan huruf arab yang memuat kasidah-kasidah Berzanji. Hal ini
jelas menunjukkan adanya pengaruh dari agama Islam. Pengaruh Hindu, animisme
dan Islam tampaknya memang ada dan diakui oleh warga masyarakat. Kesenian
Angguk tetap bertahan karena ditopang dan diterima oleh nilai-nilai dasar yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Koentjaraningrat
(1977:269) tak pernah ada suatu masyarakat yang semua penduduknya menganut
hanya satu macam religi saja, seperti fetishisme, animisme, monotheisme, atau lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa bentuk-bentuk kepercayaan itu
merupakan unsur yang selalu tercampur dan terjalin erat dengan berbagai unsur
kebudayaan yang erat dengan masyarakat. Suatu religi bisa merupakan suatu
kompleks unsur yang terdiri dari unsur-unsur animisme, pre-animisme, totemisme,
mistik dan sebagainya sehingga religi tersebut, walaupun pada lahirnya bersifat
monoteisme, toh dalam kenyatannya mengandung unsur-unsur politeisme, animisme,
pre-animisme, atau mistik dan sebagainya.
Kesenian Angguk ini
biasanya dipentaskan pada waktu malam hari di arena pendopo sebuah rumah dan
bersifat terbuka untuk umum. Penonton dapat bergerombol sesuka hati tanpa harus
membede-bedakan kelas, semua berada di halaman terbuka. Jumlah anggota kesenian
Angguk desa Garongan ada 24 orang yang semuanya adalah laki-laki, seluruh
pemain dapat digolongkan menjadi dua kategori. Pertama penari yang berjumlah 12 orang, penabuh
(pengiring) berjumlah 12 orang. Masing- masing golongan mempunyai fungsi
ganda, kelompok penari disamping berjoged
juga nembang. Kelompok pengiring
disamping membunyikan instrumen mereka juga mbawani,
yaitu melakukan bowo dari kitab
tlodo. Kitab tlodo ini bertuliskan
arab namun dilagukan dengan cengkok
tembang Jawa, oleh karen itu sering disebut Arab-pegon.
- Peralatan
Musik
Ada
empat macam alat yang digunakan dalam pementasan Angguk yaitu; jedor (bedug kecil), genjreng (sejenis terbang), kendang dan kecer. Dilihat dari instrumen musiknya
ada juga di sini adanya unsur-unsur Hindu dan Islam. Jedor dan genjreng merupakan
jenis instrumen seni-budaya Islam yang seringkali dipergunakan dalam selawatan maupun samroh, sedangkan kendang dan kecer merupakan jenis instrumen musik
yang sudah lama ada sejak masa Hindu, seperti sering dijumpai dalam kesenian
wayang kulit.
- Kostum
Pemain
Pakaian
yang digunakan antara pengiring dan penari berbeda, pada kelompok penari
pakaian yang digunakan mirip pakaian prajurit kerajaan. Ada juga yang
menyatakan mirip dengan pakaian serdadu kumpeni (serdadu Belanda). Mereka yang
tergolong sebagai penari semuanya memakai topi-pet berwarna hitam yang di
bagian pinggirnya diplisir kain yang berwarna merah-putih yang dikombinasi
dengan warna kuning emas. Di bagian depan topi-pet terdapat jambul dari bobat
(rambut ekor kuda). Pakaian yang digunakan pengiring lebih menunjukkan
ciri-ciri pakaian santri yang berupa sarung, baju lengan panjang yang
dilengkapi jas bukak serta kopiah.
- Tarian
dalam Angguk
Dalam
satu pementasan Angguk terdapat 11 macam tarian yang dapat digolongkan ke dalam
dua kategori yaitu: Tari Ambyakan dan Tari Pasangan. Dalam kategori tari
Ambyakan terdapat tiga buah tari, yakni;
a. Tari
Bakti
b. Tari
Srokal
c. Tari
Penutup
Berbeda
halnya dengan tari berpasangan, terakhir hanya tinggal sepasang penari saja
yang tampil dengan peranannya. Termasuk dalam tari pasangan ini adalah:
a. Tari
Mandaroka
b. Tari
Kamudaan
c. Tari
Cikalo-ado
d. Tari
Layung-dilayung
e. Tari
intik-intik
f. Tari
Saya-cari
g. Tari
Jalan-jalan
h. Tari
Robisari.
- Pantun-pantun
dalam Angguk
a) pantun
nasehat (pendidikan)
b) pantun
muda-mudi
c) pantun
sakral.
Apresiasi
Masyarakat Yogyakarta Terhadap Musik Populer
Pada dasarnya musik
dipilah dalam beberapa macam sehubungan dengan kriteria yang dipergunakan
berdasarkan pemakaian titi nadanya, ditemukan musik pentatonis dan diatonis. Ditinjau
dari segi sosial, setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi warga
masyarakat terhadap musik populer yakni; derajat pengenalan, pembiasaan, dan
intensitas pergaulannya dengan musik populer. Intensitas pergaulan yang
dimaksudkan adalah pengetahuan yang lebih mendasar mengenai aspek-aspeknya
serta keterlibatannya (baik secara kualitatif maupun kwantitatif) dalam
kegiatan yang menggunakan musik populer sebagai sarana salah satu pokoknya.
Dalam pengenalan dan pembiasaan, hasrat sengaja bersentuhan dengan musik
populer bukanlah suatu yang mutlak harus ada. Dengan kata lain, pengenalan dan
pembiasaan terhadap musik populer bisa saja terjadi secara alami atau tanpa
adanya unsur kesengajaan.
Apabila benar
pengetahuan seseorang tentang aspek musik populer berjalan sejajar dengan
kemampuan pengenalan dan pembiasaanya, maka warga masyarakat golongan yang
sanggup mengkonsumsi produk audio visual akan lebih lengkap pengetahuannya dari
pada warga masyarakat kampungan yang lebih terbatas pada penikmat auditif saja.
Oleh karena itu warga masyarakat gedongan (kaya) juga akan lebih mampu
mengadakan pengamatan dari dekat instrumen-instrumen yang dipergunakan berikut
dengan cara memainkannya (setidak-tidaknya dengan garis besar). Di sekitar
tahun 1972-1973, di seberang Pasar Beringharjo (di trotoar sebelah selatan
gedung bioskop “Indra”) Yogyakarta, hampir setiap malam anak-anak muda di
lapsian bawah yang bernyanyi dan menari sampai agak larut malam. Tema kritik
sosial atau tema-tema masalah dunia yang menuntut adanya lingkup informasi dan
pemikiran yang lebih luas. Masyarakat pada golongan atas lebih potensial untuk
menyerap tema-tema seperti ini. Dengan kemampuan potensial untuk menyerap
segala jenis tema yang ada, masyarakat gedongan lebih berfungsi sebagai
selektor tema-tema lagu populer yang didengarkan. Di lain pihak masyarakat
kampung karena keterbatasan informasi dan lingkup pemikirannya, lebih berada
pada posisi tersudut. Mereka hanya mendengarkan lagu-lagu populer dengan tema
syair yang mudah diserap. Hasil penelitian mengenai apresiasi musik populer
jenis ndang-ndut dan bukan ndang-ndut di daerah Kotabaru dan Cokrodirjan di
kota Yogyakarta memperlihatkan bahwa memang ada perbedaan apresiasi di kalangan
warga masyarakat yang tinggal di daerah gedongan (lapisan atas), dengan mereka
yang tinggal di daerah kampung. Merekalah yang tinggal di daerah orang kaya dan
warga lapisan atas (Kotabaru) ternyata lebih menggemari musik populer dari
jenis bukan ndang-ndut, sedangkan mereka di lapisan kampung (warga lapisan
bawah) lebih menggemari musik ndang-ndut. Apa perbedaan disini karena oleh
kemampuan menyerap atau menikmati komposisis musiknya atau oleh kebiasaan saja,
yang dibentuk dari kebiasaan sosial, atau oleh hal-hal yang lain tampaknya
masih harus dijawab melalui penelitian lain di masa mendatang.
Dagelan
Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta
Dagelan Mataram adalah
suatu jenis kesenian Jawa, yang dilahirkan oleh masyarakat Jawa di Yogyakarta.
Dagelan ini lahir di lingkungan Kraton Yogyakarta, ketika GP. Hangabei, putra
Sultan Hamengkubuwana VIII, pada tiap-tiap hari kelahirannya memanggil para
abdi dalem oceh-ocehan ke rumah kediamannya untuk membuat tertawa orang yang
melihat dan mendengarkan ocehan mereka. Setelah mengalami berbagai perkembangan
pada bentuknya yang baku, dagelan kini muncul dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- mengandung
cerita tertentu
- memakai
bahasa jawa
- materi
cerita diangkat dari kehidupan sosial masyarakat Jawa
- diiringi
gamelan dan sinden sebagai illustrasi
- kadang-kadang
memakai tari-tarian
- pemain
kadang-kadang menyanyikan tembang
- memakai
kostum pakaian Jawa gaya Surakarta atau pakaian yang berasal dari kesenian
Jawa lainnya (ketoprak atau wayang orang).
Dewasa ini kebudayaan
barat modern telah amat berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia. Dagelan
Mataram yang dihasilkan oleh sistem kebudayaan lam, dengan gaya dan ungkapan
yang bersumber pada gaya hidup masyarakat Jawa Yogyakarta tampak ikut terdesak,
meskipun ada penyesuaian di segala bidang agar tidak tersingkir. Dagelan Mataram
tampak terdesak dengan adanya dagelan-dagelan baru, atau dagelan lama yang
ungkapannya lebih mengikuti perkembangan jaman.
Sri mulat misalnya,
yang semula memakai gaya dagelan Mataram, kini mulai memperkenalkan musik
pengiring berupa band. Penyanyi bukan sinden melainkan biduan dan biduanita.
Lagu yang dibawakan bukan tembang
melainkan lagu populer baik keroncong, langgam, ndang-ndut, maupun lagu-lagu
barat dari segala aliran.
Uraian mengenai hubungan antara
kenyataan dan perubahan beberapa bentuk seni teater tradisional Jawa dengan
lembaga-lembaga social yang ada di sekitarnya. Beberapa bentuk seni teater
tradisional Jawa mulai menipis penggemarnya dan dihadapkan pada beberapa
tantangan akibat perubahan social budaya yang terjadi di Indonesia. Perubahan social
budaya tersebut antara lain adalah perkembangan teknologi komunikasi, perubahan
system social, dan perubahan system nilai. Perubahan atas hal-hal itu
membuahkan atas tuntutan-tuntutan baru pada seni tradisional yaitu tuntutan
akan keunikan dan akan kemampuan merangsang keinginan penonton yang mulai malas
meninggalkan rumah.
Pertama, perubahan yang
terjadi dalam kehidupan beberapa bentuk seni teater tradisional Jawa
berhubungan dengan perubahan social budaya yang ada di sekitarnya, terutama
perubahan dalam teknologi komunikasi, system social dan system nilai. Kedua,
perubahan social budaya telah menyebabkan munculnya rasa malas masyarakat untuk
menonton seni teater tradisional secara langsung. Lahirnya beberapa bentuk seni
modern yang lebih cocok dengan tuntutan system nilai modern, lahirnya tuntutan
akan latar yang kongkret, tokoh yang psikologi, alur yang menegangkan, cerita
yang baru, yang kesemuanya berpusat pada konsep dasar yaitu keunikan, telah
membuat warga masyarakat semakin sedikit memperhatikan kesenian tradisional.
Unik disini berarti kongkret, baru, dan individualistic, dan tuntutan akan
bahasa yang lugas serta penampilan yang efisien dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar