Sabtu, 18 Mei 2019

#PajagaWelado dan #PajagaMakkunrai #Celebes1930









Tari  Pajaga
Pajaga Welado dan Pajaga Makkunrai




Istilah Pajoge berasal dari bahasa Bugisyaitu dari kata Joge yang artinya tari ataugoyang, mendapat awalan pa menjadi Pajogeyang artinya kata yang menunjukkanpelaku atau penarinya. Demikian pula jikamendapat awalan ‘ma’ untuk menambahkata kerja seperti majoge yang berartiberjoget atau menampilkan sebuah per-tunjukan. Jadi kata Pajoge bagi masyarakatBugis memiliki tiga makna sekaligus.Pertama adalah Pajoge sebagai tari yangdisebut sebagai joge, kedua dari kata jogemendapat awalan ‘pa’ menandakan katabenda yang berarti Pajoge artinya penari ataupelakunya, dan ketiga Pajoge sebagai sebuahpertunjukan. Pengertian Pajoge memilikipemaknaan berbeda-beda namun ketiganyamerupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Tari dalam bahasa Bugis Makassardisebut sere, jaga, joge. katia atau sajo. Istilahini dikenal sebelum agama Islam masuk diSulawesi Selatan (Latief; 1999/2000: 39). Sereartinya berjalan kian kemari, sedang jagaberarti waspada dengan tidak tidursemalaman. Sere dan Jaga ini dilakukan olehorang-orang Bugis Makassar pada zamandahulu yakni dalam upacara-upacara suciyang menyangkut kepercayaan terhadapDewata Seuwae yaitu dewa yang tunggal(Yusuf; 1992: 154). Kata sere digunakanuntuk menyebut tari-tarian yang bersifatsakral, sedangkan istilah jaga digunakanuntuk menyebut tari-tarian istana. Adapunistilah joge digunakan untuk menyebut tari-tarian yang bersifat hiburan atau pergaulandan kerakyatan.Pada zaman dahulu Pajoge dipilih danditetapkan oleh pemilik kelompok Pajoge,yang biasanya dikoordinir oleh keluargaraja, atau turunan bangsawan. Pangibingmembawa sekapur sirih dan menyodor-kannya kepada penonton yang sebelumnyasudah melapor terlebih dahulu. Penontonyang akan memberi hadiah untuk me-nyampaikan kepada pengibing tentangPajoge yang akan diberi hadiah.Penonton laki-laki yang akan memberi-kan hadiah atau mappasompe ikut terlibat adalah orang-orang yang mempunyaikehidupan sosial lebih baik atau merupa-kan tokoh yang disegani di daerah tersebut. Pemberian hadiah atau uang merupakan penghargaan tersendiri karena tidak semua penonton laki-laki bisa mappasompe tanpa salah satu syarat tersebut. 

Uang dan status sosial (bangsawan) yang bisa melakukan itu,selebihnya hanya termasuk sebagai layak-nya penonton biasa. Seorang yang hendak mappasompe pada seorang Pajoge, harus duduk bersila dilantai, lalu Pajoge yang dikawal oleh Pangibing menghampirinya (Najamuddin;1983: 192).  

Mappasompe terjadi apabila adapenonton yang tertarik atau terpikat (konta) oleh salah satu Pajoge, maka penontontersebut dapat meminta Pajoge untuk ballung dengan bimbingan pengawal laki-laki (Pangibing). Ngibing adalah peranan pria dalam pesta tari orang-orang Makassar di Sulawesi Selatan, gadis penari (Pajoge) dengan mengangguk mengundangnyauntuk menari (Holt; 2000: 138).Tari Pajoge terdiri atas dua macam yaitu Pajoge Makkunrai (perempuan) dan Pajoge Angkong (penari cala bai atau wadam)

Pajoge Makkunrai berkembang di sekitarkerajaan Bone, sampai ke beberapa daerahsekitarnya seperti Kab. Wajo, Soppeng, danBarru. Pada waktu itu, apabila ada upacaraadat maka selalu didatangkan penari PajogeMakkunrai dari Bone (Latief; 1983: 48).Pertunjukan Pajoge Makkunrai selaluberjumlah genap atau berpasangan yakni 4,8, 10, 12, dan seterusnya, sesuai dengankebutuhan pementasan. Menurut AndiNajamuddin mengatakan, bahwa penariPajoge Makkunrai harus genap jumlahnyatergantung pada kebutuhan antara empathingga dua belas orang atau lebih (wawan-cara dengan Andi Najamuddin: Watam-pone: 2011).Pemilihan penari ditentukan olehkeluarga raja dengan kriteria tertentu. 
Penari Pajoge Makkunrai harus masih gadis atauyang belum bersuami dan bisa menyanyi(makkelong). Postur tubuh yang badannya agak berisi (malebu-lebu/mabondeng),mempunyai wajah yang cantik (magello-gello) dan bertingkah laku yang baik (ampe-ampe madeceng). Maka tidak heran kalaudalam catatan perjalanan Holt ke Pompanua ditawari kelompok Pajoge Makkunrai yang terkenal dengan nama Labondeng (penariyang bepostur berisi badannya). Tari Pajoge Makkunrai ini terdiri atas 20 judul syair yang mengikutinya (Holt: 1939: 106).


(1)Alla-alla,
(2) Canggolong-golong,
(3)Elo-elo,
(4) Djalantete,
(5) Gondang Jawa,
(6) Balatiti,
(7) Babaralayya,
(8)Kalukunna sambung Jawa,
(9) Bujanggana,
(10) Bengko-bengko,
(11) Burego
(12)Bujang gana,
(13) Ganda-ganda,
(14)Andi-andi,
(15) Lambasari ,
(16) Jaba-jaba,
(17) Sare-sare,
(18) Manne-manne,
(19)Labondeng,
(20) Digandang.

Tari Pajoge, muncul semasa kerajaan Bone sejak abad ke VII, hal ini belum jelas karena belum ditemukan tulisan atau informasi yang dapat memberikan ketera-ngan pasti tentang hal tersebut(Najamuddin; 1983: 191). Namun disebut-kan bahwa Raja Bone X adalah seorangperempuan yang diangkat menjadi rajapada tahun 1602 dengan gelar We TenriTappu Arung Matinroe ri Sidenreng, beliausudah mempunyai kelompok tari Pajoge Makkunrai, bahkan bukan hanya tari Pajogemakkunrai yang dibina tapi juga tari Pajagaturut dibina dan dikembangkan (Halil;1983: 44). Tari Pajoge berkembang denganpesat sampai pada pemerintahan raja Boneyang ke XXX (1871-1895) yaitu FatimahBanri. 

Fatimah Banri merupakan pencetuside mengubah model baju adat wanita(bajubodo ponco) yang semula panjangnya sebataslutut menjadi panjang sebatas mata kaki(Lina; 2007: 91).Pertunjukan Pajoge Makkunrai padaMasyarakat BugisMasuknya Agama Islam di KerajaanBone pada tahun 1611 M. yaitu pada masapemerintahan raja Bone ke XIII (1625-1644)La Maddaremmeng Matinroe ri Bukaka(Palloge; 2006: 286). Menurut Pelras, orangBugis menjadikan Islam sebagai bagian in-tegral dan esensial dari adat istiadat danbudaya mereka. Dengan demikian, padasaat yang sama, berbagai peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampaiakhir abad ke-20. Salah satu di antarapeninggalan pra-Islam yang paling mena-rik ialah bissu, yaitu sebuah kelompok yangterdiri atas pendeta-pendeta wadam yangmasih menjalankan ritual perdukunan sertadianggap dapat berkomunikasi dengandewa-dewa leluhur (Pelras; 2006: 4-5).

Dalam Epos Galigo istilah perempuanidentik dengan kata awiseng atau makkunraiyang dalam kehidupan sehari-hari dipan-dang sebagai belo jajareng (hiasan rumah),ati goari (isi bilik), muttiana jajarenge (isiusungan), laweddakna jajarenge (merpatinya rumah), muttia belo jajareng (bintang gemerlap di langit), sulomat tappanna lolangenge (obor yang menerangi negeri),dewi riposolarang (dewi yang tak ter-lupakan), dan retti toripatung ri nawa-nawa (si dia yang dikenang selalu) (Masgabah;1996: 52). Ungkapan lain dapat ditelusurilewat lagu atau nyanyian salah satu syairyang sering dinyanyikan dalam tari Pajoge Makkunrai. Kutipan nyanyian tersebut menunjukkan juga bahwa perempuan disebut pula keteng atau uleng tepu (bulan purnama) atau dalam panggilan lain disebut dettia mammula cabbeng, artinya matahari yang mula terbit (Masgabah; 1996: 52).Pajoge Makkunrai disajikan dalam pestapernikahan dilaksanakan pada malam midodoreni (Mappacci) setelah berahirnya prosesi Mappacci

Pajoge massitta elong yang diiringi dengan gendang dilanjutkan dengan Pajoge Makkunrai memasuki baruga menghadap tamu undangan. Kehadiran Pajoge Mak-kunrai merupakan acara yang ditunggu-tunggu oleh segenap tamu, baik undanganyang ada maupun penonton yang dating khusus untuk melihat Pajoge Makkunrai.Semakin larut semakin meriah dengan hadirnya tamu atau penonton yang akan memberi hadiah berupa uang (mappasom-pe) kepada Pajoge Makkunrai.

Pertunjukan Pajoge MakkunraiPada Masyarakat Bugis di Sulawesi SelatanJamilahJurusan Seni Tari, fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar. Jurnal Panggung Vol. 26 No. 1, Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...