Tari Pajaga
Pajaga Welado dan Pajaga Makkunrai
Istilah
Pajoge berasal dari bahasa Bugisyaitu dari kata Joge
yang artinya tari ataugoyang,
mendapat awalan pa menjadi Pajogeyang artinya kata yang menunjukkanpelaku atau penarinya. Demikian pula jikamendapat awalan ‘ma’
untuk menambahkata kerja
seperti majoge yang berartiberjoget
atau menampilkan sebuah per-tunjukan.
Jadi kata Pajoge bagi masyarakatBugis memiliki tiga makna sekaligus.Pertama adalah Pajoge
sebagai tari yangdisebut
sebagai joge, kedua dari kata jogemendapat
awalan ‘pa’ menandakan katabenda yang berarti Pajoge
artinya penari ataupelakunya,
dan ketiga Pajoge sebagai sebuahpertunjukan. Pengertian Pajoge
memilikipemaknaan berbeda-beda
namun ketiganyamerupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tari dalam bahasa Bugis Makassardisebut sere,
jaga, joge. katia atau sajo.
Istilahini dikenal sebelum
agama Islam masuk diSulawesi
Selatan (Latief; 1999/2000: 39).
Sereartinya berjalan kian
kemari, sedang jagaberarti waspada dengan tidak tidursemalaman. Sere
dan Jaga ini
dilakukan olehorang-orang Bugis Makassar pada zamandahulu yakni dalam upacara-upacara suciyang menyangkut kepercayaan terhadapDewata Seuwae
yaitu dewa yang tunggal(Yusuf;
1992: 154). Kata sere digunakanuntuk
menyebut tari-tarian yang bersifatsakral,
sedangkan istilah jaga digunakanuntuk
menyebut tari-tarian istana. Adapunistilah
joge digunakan untuk menyebut tari-tarian yang bersifat hiburan atau pergaulandan kerakyatan.Pada
zaman dahulu Pajoge dipilih danditetapkan
oleh pemilik kelompok Pajoge,yang biasanya dikoordinir oleh keluargaraja, atau turunan bangsawan. Pangibingmembawa
sekapur sirih dan menyodor-kannya
kepada penonton yang sebelumnyasudah
melapor terlebih dahulu. Penontonyang
akan memberi hadiah untuk me-nyampaikan
kepada pengibing tentangPajoge yang akan diberi hadiah.Penonton laki-laki yang akan memberi-kan hadiah atau mappasompe
ikut terlibat adalah
orang-orang yang mempunyaikehidupan
sosial lebih baik atau merupa-kan
tokoh yang disegani di daerah tersebut. Pemberian
hadiah atau uang merupakan penghargaan
tersendiri karena tidak semua penonton
laki-laki bisa mappasompe tanpa salah
satu syarat tersebut.
Uang dan status sosial (bangsawan) yang bisa melakukan itu,selebihnya hanya termasuk sebagai layak-nya penonton biasa. Seorang yang hendak mappasompe
pada seorang Pajoge,
harus duduk bersila dilantai,
lalu Pajoge yang dikawal oleh Pangibing
menghampirinya (Najamuddin;1983:
192).
Mappasompe terjadi apabila adapenonton yang tertarik atau terpikat (konta)
oleh salah satu Pajoge, maka penontontersebut dapat meminta Pajoge
untuk ballung dengan bimbingan pengawal laki-laki (Pangibing). Ngibing adalah peranan pria dalam pesta tari orang-orang Makassar
di Sulawesi Selatan, gadis penari (Pajoge) dengan mengangguk mengundangnyauntuk menari (Holt; 2000: 138).Tari Pajoge terdiri atas dua macam yaitu Pajoge Makkunrai (perempuan) dan Pajoge Angkong (penari cala
bai atau wadam).
Pajoge Makkunrai berkembang di sekitarkerajaan Bone, sampai ke beberapa daerahsekitarnya seperti Kab. Wajo, Soppeng, danBarru. Pada waktu itu, apabila ada upacaraadat maka selalu didatangkan penari PajogeMakkunrai dari Bone (Latief; 1983: 48).Pertunjukan Pajoge
Makkunrai selaluberjumlah genap atau berpasangan yakni 4,8, 10, 12, dan seterusnya, sesuai dengankebutuhan pementasan. Menurut AndiNajamuddin mengatakan, bahwa penariPajoge Makkunrai harus genap jumlahnyatergantung pada kebutuhan antara empathingga dua belas orang atau lebih (wawan-cara dengan Andi Najamuddin: Watam-pone: 2011).Pemilihan
penari ditentukan olehkeluarga
raja dengan kriteria tertentu.
Penari Pajoge
Makkunrai harus masih gadis atauyang belum bersuami dan bisa menyanyi(makkelong).
Postur tubuh yang badannya agak
berisi (malebu-lebu/mabondeng),mempunyai
wajah yang cantik (magello-gello)
dan bertingkah laku yang baik (ampe-ampe madeceng).
Maka tidak heran kalaudalam catatan
perjalanan Holt ke Pompanua ditawari
kelompok Pajoge Makkunrai yang terkenal
dengan nama Labondeng (penariyang
bepostur berisi badannya). Tari Pajoge Makkunrai
ini terdiri atas 20 judul syair yang mengikutinya
(Holt: 1939: 106).
(1)Alla-alla,
(2)
Canggolong-golong,
(3)Elo-elo,
(4) Djalantete,
(5) Gondang Jawa,
(6) Balatiti,
(7) Babaralayya,
(8)Kalukunna sambung Jawa,
(9) Bujanggana,
(10) Bengko-bengko,
(11) Burego
(12)Bujang gana,
(13) Ganda-ganda,
(14)Andi-andi,
(15) Lambasari ,
(16) Jaba-jaba,
(17) Sare-sare,
(18)
Manne-manne,
(19)Labondeng,
(20)
Digandang.
Tari
Pajoge, muncul semasa kerajaan Bone sejak abad ke VII, hal ini belum jelas karena
belum ditemukan tulisan atau informasi yang dapat memberikan ketera-ngan pasti
tentang hal tersebut(Najamuddin; 1983: 191). Namun disebut-kan bahwa Raja Bone
X adalah seorangperempuan yang diangkat menjadi rajapada tahun 1602 dengan
gelar We TenriTappu Arung Matinroe ri Sidenreng, beliausudah mempunyai kelompok
tari Pajoge Makkunrai, bahkan bukan hanya tari Pajogemakkunrai yang dibina tapi
juga tari Pajagaturut dibina dan dikembangkan (Halil;1983: 44). Tari Pajoge
berkembang denganpesat sampai pada pemerintahan raja Boneyang ke XXX
(1871-1895) yaitu FatimahBanri.
Fatimah Banri merupakan pencetuside mengubah
model baju adat wanita(bajubodo ponco) yang semula panjangnya sebataslutut
menjadi panjang sebatas mata kaki(Lina; 2007: 91).Pertunjukan Pajoge Makkunrai
padaMasyarakat BugisMasuknya Agama Islam di KerajaanBone pada tahun 1611 M.
yaitu pada masapemerintahan raja Bone ke XIII (1625-1644)La Maddaremmeng
Matinroe ri Bukaka(Palloge; 2006: 286). Menurut Pelras, orangBugis menjadikan
Islam sebagai bagian in-tegral dan esensial dari adat istiadat danbudaya
mereka. Dengan demikian, padasaat yang sama, berbagai peninggalan pra-Islam
tetap mereka pertahankan sampaiakhir abad ke-20. Salah satu di
antarapeninggalan pra-Islam yang paling mena-rik ialah bissu, yaitu sebuah
kelompok yangterdiri atas pendeta-pendeta wadam yangmasih menjalankan ritual
perdukunan sertadianggap dapat berkomunikasi dengandewa-dewa leluhur (Pelras;
2006: 4-5).
Dalam Epos Galigo istilah perempuanidentik dengan kata awiseng atau
makkunraiyang dalam kehidupan sehari-hari dipan-dang sebagai belo jajareng
(hiasan rumah),ati goari (isi bilik), muttiana jajarenge (isiusungan),
laweddakna jajarenge (merpatinya rumah), muttia belo jajareng (bintang gemerlap
di langit), sulomat tappanna lolangenge (obor yang menerangi negeri),dewi
riposolarang (dewi yang tak ter-lupakan), dan retti toripatung ri nawa-nawa (si
dia yang dikenang selalu) (Masgabah;1996: 52). Ungkapan lain dapat
ditelusurilewat lagu atau nyanyian salah satu syairyang sering dinyanyikan
dalam tari Pajoge Makkunrai. Kutipan nyanyian tersebut menunjukkan juga bahwa
perempuan disebut pula keteng atau uleng tepu (bulan purnama) atau dalam
panggilan lain disebut dettia mammula cabbeng, artinya matahari yang mula terbit
(Masgabah; 1996: 52).Pajoge Makkunrai disajikan dalam pestapernikahan
dilaksanakan pada malam midodoreni (Mappacci) setelah berahirnya prosesi
Mappacci .
Pajoge massitta elong yang diiringi dengan gendang dilanjutkan dengan Pajoge
Makkunrai memasuki baruga
menghadap tamu undangan.
Kehadiran Pajoge Mak-kunrai
merupakan acara yang ditunggu-tunggu
oleh segenap tamu, baik undanganyang
ada maupun penonton yang dating khusus untuk melihat Pajoge Makkunrai.Semakin larut semakin meriah dengan hadirnya tamu atau penonton yang akan memberi hadiah berupa uang (mappasom-pe) kepada Pajoge
Makkunrai.
Pertunjukan
Pajoge MakkunraiPada Masyarakat Bugis di Sulawesi SelatanJamilahJurusan
Seni Tari, fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar. Jurnal
Panggung Vol. 26 No. 1, Maret
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar