LAKON
DEWA RUCI
CARA
MENJADI JAWA
Sebuah
Analisis Strukturalisme Levi – Strauss Dalam Kajian Wayang
Oleh;
Dr. Aris Wahyudi, S.Sn. M.Hum.
Analisis atas kisah
lakon Dewa Ruci yang berupa sebuah serat menuntut penelitian mengarahkan
perhatiannya pada miteme satu dengan yang lainnya dan makna – makna yang muncul
dari pembacaan atas miteme dan ceriteme tersebut di samping makna berbagai kata
atau istilah penting yang terdapat di dalamnya.[1]
Strategi analisisyang dapat diterapkan dalam analisis sebuah pertunjukan,
tetapi belum tentu selurunya memadai, karena fenomena pertunjukan tidak sama
persis dengan teks tetulis. Paradigma strukturalisme
yang dikembangkan oleh Levi Strauss merupakan sebuah paradigma yang
dimanfaatkan untuk memahami dan menjelaskan berbagai macam sosial budaya,
dengan berbagai macam wujud empirisnya. Mempelajari mengenai penerapan analisis
struktural terhadap berbagai dongeng (mitos), terhadap segala totemisme , terhadap sistem kekerabatan,
terhadap topeng dan motif – motif seni. Paradigma strukturalisme sebagai
kerangka pemikiran untuk memahami lakon Dewa Ruci secara teoritis dan
subtansial.
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Lakon
dewa Ruci yang mengisahkan Bima berguru kepada Drona untuk menguasai ngelmu
kasampurnaan atau sangkan paraning dumadi merupakan kisah yang menarik dan
unik. Dikatakan menarik karena relevansinya dalam kehidupan masyarakat jawa
masih dijumpai sampai sekarang serta berbagai tanggapan terhadapnya, baik dari
lingkungan dalang, peneliti, maupun di lingkungan orang Jawa. tangggapan
atas cerita dewa ruci dalam jagad
wayang, baik di Jawa maupun di Bali berupa sastra lakon, yaitu naskah untuk
kepentingan pertunjukan wayang kulit purwa yang dikenal Lakon Dewa Ruci
(Hobart, 1987;32-34;Wiryamartana, 1990;2)
Sebagai
sebuah fenomena kebahasaan, salah satu cara unttuk memahami Lakon Dewa Ruci
adalah dengan mencari strukturnya. Sebagaimana dalam fenomena kebahasaan, sebuah
pesan akan dapat ditangkpa apaabila si penerima memahami struktur (tata
bahasanya) yang berlaku dalam bahasa tersebut. Ibarat Lakon Dewa Ruci adalah
sebuah kalimat, Bima dan Drona adalah bagian dari kata-katanya, yang semuanya
dibangun mengikuti “ tata bahasanya”. Dengan demikian untuk mengetahui makna pasangan
toko bima dan Drona terlebih dahulu harus memahami struktur atau kaidah
“ketata-bahasaannya” yang digunakan dalam lakon wayang. Untuk memahami psangan
bima dan Drona, yaitu dengan sistem relasinya dengan tokoh yang lain,
peristiwa, persoalannya dan settingnya sebagai unit-unit pokok.
Struktur
pasangan Bima dan Drona yang telah di peroleh digunakan untuk memahami dalam
teks Lakon Dewa Ruci. Apabila sebuah teks lakon telah diaktualisasikan dalam sebuah
pertunjuakan, maaka dia akan memberikan makna lapis kedua, yang berbeda dengan
makna teks lakonnya. Hal demikian dekarenkan dalam pertunjukan terlibat juga
aspek ruang dan waktu. Oleh karena itulah dalam penelitian ini, aspek
pertunjukan juga mendapat perhatian.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
struktur Lakon Dewa Ruci?
2. Apa
makna pasangan Bima dan Drona pada Lakon Dewa Ruci?
3. Apa
makna Lakon Dewa Ruci?
4. Apa
makna pertunjukan Lakon Dewa Ruci?
C. TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Melacak
dan menjelaskan struktur lakon Dewa Ruci dalam kapasitasnya sebagai “tata
bahasa” lakon wayang
2. Struktur
yang telah diperoileh tersebut digunakan untuk melacakdan menjelaskan
unsur-unsur pokok pmbangunan lakon khususnya pasangan Bima- Drona.
3. Hasil
temuan dari iten 2 dan 3 digunakan untuk manafsirkan makna teks Lakon Dewa Ruci
4. Melacak
dan menjelaskan
makna pertunjukan Lakon Dewa Ruci.
5. Menawarkan
model penelitian untuk kajian wayang melalui analisis strukturalisme
Levi-Strauss yang berfokus pada studi lakon wayang sebagai teks sastra lakon
dan pertunjukan yang berorientasi pada as[pek objektivitas dan kolektivitas
Diperoleh
pengungkapan baru serta mendapatkan pemahaman yang relatif utuh atas fenomena
pertunjukan wayang kulit purwa Lakon Dewa Ruci.
D. PENELITIAN
TERDAHULU
Penelitiannya P.J.Zoetmulder
dalam bukunya Panthseisme En Monisme in de Javaanshe Soeloek-Litteratuur (1935)
yang diterjemahkan indonesia oleh Dick Hartoko “Manunggaling Kawula-Gusti; Panthaisme dan Monisme dalam Sastra
Suluk Jawa” yang membahas serat Dewa Ruci.
Seno Sastroamidjojo
dalam bukunya “Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit” (1964) Menafsirkan
Lakon Dewa Ruci sebagai ajaran hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup yang
sempurna.
H.I.R.
Hinzler dalam bukunya berjudul “Bima Swarga
in Balinese Wayang”
(1981) membahas wayang tradisi Bali dengan menggunakan
pendekatan sastra dan mempersempit ruang penelitian yang memfokuskan pada Lakon Bima Swarga, yang sangat berbeda
dengan Lakon Dewa Ruci. Melalui kritik
sastranya (filologi), Hinzler mengkaji makna lakon berfokus pada apa yang
terceritakan, atau masih bertumpu pada pemaknaan di tingkat bahasa verbal.
Dengan perbedaan tradisi dan lakon yang dikaji.
S.P.
Adhikara dengan buku berjudul “Dewa Ruci” (1984) dan “Nawa Ruci” (1984) pemaknaan menekankan pada aspek keteladanan
berdasarkan peristiwa-peristiwa, teruama sikap Bima dalam menghadapi segala
rintangan untuk mencapai cita-citanya. Dijelaskan bahwa yang dilakukan Bima
merupakan tuntunan hidup masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan dengan
berpijak pada pancabhakti atau
pancasembah, yaitu: sembah kepada dewa, sembah kepada raja, sembah kepada orang
tua, sembah kepada guru, dan sembah kepada diri pribadi. Memaknai tokoh Nawa
Ruci serta wejangan Nawa Ruci kepada
Bima melalui analisis terminologi hermeunetik.
Woro
Aryandhini Sumaryoto dengan buku berjudul “Citra Bima dalam Karya Sastra Jawa” (1988) yang harus diperhatikan dalam membuat analog fenomena
wayang dan fenomena sosial tidak dapat hanya berdasarkan satu peristiwa,
melainkan harus melihat dari berbagai aspek yang melekat dalam wayang itu serta
interterkstualitasnya. Selain itu diketahui bahwa tokoh seperti Arjuna,
Baladewa, dan Kresna, yang mengalami peristiwa seperti Bima bahkan lebih
eksplisit ditunjukkan Baladewa. Baladewa menjadi petani ketika diungsikan di kademangan Widorokandhang, dan menjadi
Brahmana dalam lakon Wasi Jaladara.
Magniz
Susena dalam bukunya berjudul “Etika Jawa”(1988) Semua unsur
pertunjukan wayang beserta lakon dan semua tokoh-tokohnya dipandang sebagai
lamabang hidup manusia Jawa. Keberadaanya dipandang sebagai tuntunan atau acuan
(etika) orang Jawa dalam menjalani kehidupannya. Bahwa lakon Dewa Ruci
merupakan ajaran Manunggaling
Kawula-Gusti dalam mistik Islam Jawa.
Soetarno
dalam laporan penelitiannya berjudul “Serat Bima Suci dengan berbagai Aspeknya” (1989), meneliti Serat
Bimasuci karya Yasadipura I yang ditulis kembali oleh R. Tanaya dengan
huruf latin terbitan balai pustaka (1979). Melalui pendekatan Filsafat, Serat Bimasuci disimpulkan memiliki
beberapa aspek yaitu aspek metafisika tentang sangkan paraning dumadi, aspek antropologi yang meliputi segi lahir
dan batin manusia, aspek etika/estetika yaitu pencapaian kesempurnaan melalui
sarana etika dan estetika, aspek epistimologi yaitu pencapaian pengetahuan
melalui cipta-rasa-karsa. Kesemua
aspek tersebut dipandang sebagai mistisisme Jawa dalam rangka Manunggaling Kawula-Gusti.
Effendy Zarkasi buku
yang berjudul “Unsur-unsur Islam Dalam Pewayangan (1996)” menjelaskan bahwa
Cerita Dewa Ruci disusun pada abad XVI. Yang perlu dipertimbangkan pula bahwa
meskipun pada masa itu adalah masa awal perkembangan Islam di Jawa, bukan
berarti dapat serta-merta dikatakan sebagai gubahan orang Islam karena agama
yang lama, baik itu Hindu, Budha atau beberapa kepercayaan yang masih dianut
oleh sebagaian masyarakat Jawa pada waktu itu.
Soebardi
bukunya berjudul “Serat Cabolek”
(2004). Kandungan Serat Cabolek yang dihubungkan dengan
ajaran mistik serta cerita Dewa Ruci. Cerita Dewa Ruci jelas berasal dari zaman
Pra-Islam dan bagian utamanya mungkin berasal dari Mahabharata. Cerita tersebut
telah mengalami perubahan-perubahan tertentu dimana peran Bhima telah dibuat
lebih penting dibandingkan peran Arjuna (Soebardi, 2004:63).
Heddy Shri Ahimsa-
Putra dengan karya buku yang berjudul “Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan
Karya Sastra (2006)” Pertama, mengkaji Lakon Dewa Ruci dalam kapasitasnya
sebagai sastra lakon. Untuk itu makna Lakon Dewa Ruci tidak hanya dikaji
melalui analisis teks lakonnya saja tetapi juga analisis teks pertunjukannya.
Kedua, mengkaji Lakon Dewa Ruci dengan melibatkan keseluruhan unsur pembangun
lakon sebagai satu kesatuan. ( Levi Strauss: 206-207; Luxemburg, 1984 : 86-90).
E.
RUANG LINGKUP KAJIAN
Dalam studi budaya sebuah istilahseringkali memiliki
beberapa pengertian yang berbeda – beda, yang disesuaikan dengan sudut pandang pendekatan
dan disiplin yang digunakan peneliti (Alasuutari,1995:35). Oleh karena itu
dalam kebutuhan ini perlu dilakukan perumusan konsep atas istilah yang
digunakan sebagai ranah analisis agar tidak terjadi kesalahpahaman antara
pembaca dengan peneliti, serta memberikan arahan dalam menyusun teori
(Koentjaraningrat, 1977: 32 – 36)
Wayang sudah hidup pada zaman prasejarah sebagai
sarana ritual animisme untuk upara pemujaan kepada arwah para leluhur
(Brandon,1970:3; Yudhianta,1988:103). Pertunjukan wayang telah lama dikenal dan
digemarimasyarakat Jawa, salah satu petunjuk adalah inskripsi peninggalan kuno
yang diperkirakan tahun 907 masehi, pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung.
Dalam peninggalan tersebut disebutkan mengenai sebuah pertunjukan wayang (Amir,1991:34).
Soedarsono menjelaskan bahwa prasasti tersebut menjelaskan tentang pertunjukan wayang wong (Soedarsono,1977:3-4).
Untuk memahami wayang, harus pula memahami pandangan
orang Jawa mengenai kelir. Kelir dalam pertunjukan wayang dipandang
sebagai simbol sebagai tempat segala makhluk (pertunjukan wayang) beraktifitas
(sastroamidjojo,1964:70). Oleh karena wayang kulit berdimensi dua,maka kelirnya
pun juga berdimensi dua, yaitu berupa kain putih yang dibentangkan. Sebagaimana
dalam pandangan masyarakat Jawa, kelir merupakan identifikasi dari jagad atau
ruang hidup yang ada masanya digelar dan digulung. Apabila jagadnya digulung
maka dimaknai sebagai berakhirnya kehidupan. Dengan demikian wayang dapat
diorientasikan dengan makna jagad dengan segala isinya. Rangka kesesuaian
dimensi sebagai simbol alam beserta isinya (jagad
saisine). Bayang – bayang yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit adalah
hanya sebuah efek dari jagad dua dimensi yang terkena sinar blencong (matahari).
Wayang adalah ssudah jagad imajiner sebagai perwujudan
jagad pikir mitis orang Jawa untuk menerjemahkan pengetahuannya mengenai
mikrokosmos dan makrokosmos. Pengertian wayang mencakup tokoh, permasalahan,
persoalan, tempat dan bentuk pertunjukan. Wayang adalah kesatuan dari boneka,
cerita, dan pertunjukan yang saling menjalin dalam rangkaian cerita yang sangat
panjang, sebagai jagad simbol dengan kompleksitas fenomena budaya. Ketiga makna
wayang tersebut dihargai sebagai sesuatu yang telah menyatu dan tidak dapat
terpisahkan. Ketika wayang disebut sebagai “cerita” secara otomatis akan
terbersit mengenai boneka dan pertunjukannya sekaligus, demikian sebaliknya
ketika wayang disebut sebagai sebuah pertunjukan akan tersertakan dua aspek yanglainnya,
atau disebut dengan jagad wayang.
Istilah struktur dalam kajian budaya memiliki
pengertian yang berbeda – beda. Bidang ilmu sosiologi, antropologi, sastra,
seni, maupun beberapa penelitian menjabarkan pengertian struktur menggunakan
analogi berdasarkan paradigma dan latar belakang pengetahuannya (model).
Struktur dalam bidang sastra dimaknai suatu kaitan-kaitan tetap anatara
kelompok-kelompok gejala dengan menekankan kategorisasi (oposisi) penokohan:
utama-membantu, antagonis-protagonis, dan sebagainya (Luxemburg: 36-40;
Teeuw,2003: 102-104 dan 113).
Kata Struktur biasa menunjuk pada hubungan – hubungan
yang terjadi di antara manusia yang berbeda kedudukannya. Struktur cenderung
menghasilkan jarak, ketidaksamaan, seringkali malah mengarah pada eksploitasi
antara manusia dengan manusia, laki-laki terhadap perempuan, dan yang tua
kepada yang muda. (Y.W Wartaya Winangun, 1990: 56).
F.
LANDASAN TEORI
Levi-Strauss berpandangan bahwa struktur adalah model
yang dibuat oleh antropolog untuk memahami dan menjelaskan fenomena budaya yang
ditelitinya dan yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu
sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, yang merupakan keteraturan mekanisme yang tidak disadari oleh
penggunanya (Baal,1988: 118-119). Dalam pandangan ini setiap fenomena budaya
merupakan bahasa-bahasa, yaitu suatu perangkat tanda dan simbol yang
menyampaikan pesan-pesan tertentu. Struktur diperoleh dengan cara
mengabstraksikan ketertataan (order)
serta keterulangan (regularities) pada
berbagai fenomena budaya dan merumuskan aturan-aturan abstrak (model) dibalik fenomena budaya yang
ditelitinya. Dengan demikian yang dimaksud struktur disini adalah “tata
bahasa”, yaitu pola-pola yang
menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, yang mengatur
sistem relasi dari relasi unsur-unsur dalam Lakon
Dewa Ruci dan pertunjukannya (Ahimsa-Putra; 60-61). Struktur ini dapat
digunakan untuk memahami berbagai fenomena budaya Jawa. Artinya struktur disini
merupakan sesuatu yang bermakna.
Makna Lakon
dewa Ruci sebagai sebuah teks yang otonom dan berdiri sendiri memiliki otoritas
makna yang terlepas dari fenomena budaya yang melingkupinya, tidak berhubungan
dengan konteksnya. Makna teks dipandang stabil, tidak mengalami perubahan,
serta tidak terpengaruh oleh dinamikanya (Segers, 1978:87; Teeuw, 2003:53-54;
Palmer, 2005: 185-186). Makna di sini adalah gagasan pokok yang terkandung
dalam Lakon Dewa Ruci yang dibangun oleh keseluruhan unsur sebagai sistem
simbol berdasarkan struktur yang diperoleh dari analisis struktural. Artinya
bahwa makna adalah merupakan hasil pembacaan dan penafsiran yang berfokus pada
bagaimana cara unsur-unsur Lakon Dewa Ruci itu direlasikan baik dalam relasi
sintagmatik maupun paradigmatik (Levi-Strauss, 1967:206).
Makna disini menekankan pada relasinya, meskipun bukan
berarti mengabaikan simbol. Simbol
merupakan unsur penting yang memberi acuan referensial dalam membangun
makna lakon. Lakon Dewa Ruci dalam analisis ini dipandang sebagai sebuah
kalimat yang terdiri dari serangkaian kata-kata. Melalui model ini sangat
mungkin bahwa makna yang diperoleh memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
makna yang dimaksudkan oleh penanggapnya, tetapi juga sangat mungkin justru sangat
berbeda atau tidak ada kaitannya sama sekali dengan maksud si penanggap.
Penelitian yang berpusat pada studi teks ini berupaya melacak pasangan
Bima-Drona dalam Lakon Dewa Ruci pertunjukan Wayang Kulit Purwa dengan
menggunakan model linguistik yang ditawarkan Levi-Strauss.
Wayang sebagai budaya Jawa banyak diwarnai konsep asma kinarya japa. Yang dimaksudkan
dengan asma kinarya japa adalah
sistem tanda yang menggunakan istilah terminologi. Oleh karena itu dalam
penelitian ini dilibatkan pula analisis transformasi hermeneutik. Wayang di
satu sisi lain juga sebagai mitologi Jawa, yang dibangun untuk dijadikan acuan
(model for) orang Jawa dalam menjalani kehdupannya, dan sekaligus sebagai
representasi (model of) dari sistem nalar orang Jawa. (Peursen, 1992:
38-39)oleh karen itu sistem nalar orang Jawa sangat Mitis, maka dilibatkan pula
analisis mitologi wayang yang merupakan dasar pemikiran mitologis dalam Jagad
Wayang (Zoetmulder, 1994:26; Laksono, 1985: 22; Becker, 1979: 226-230).
Metode
Penelitian
Penelitian ini
berdasarkan paradigma strukturalisme Levi-Strauss, namun pengertian mitos dalam
wayang agak berbeda dengan pandangan Levi-Strauss sehingga strategi analisisnya
pun memiliki sedikit perbedaan, perbedaan itu terletak pada tiga hal:
1. Keterlibatan analisis
mitologi yang oleh Levi-Strauss abaikan, dalam penelitian ini dihargai sebagai
persoalan pentig dalam rangka menentukan relasi paradigmatik atas miteme-miteme yang diperoleh.
2. Lakon Dewa Ruci sebagai
salah satu bagian dari rangkaian cerita panjang Mahabharata Jawa, keberadaanya
tidak dapat lepas dari teks-teks lakon yang lain (intertekstualitas). Hal
demikian berbeda dengan sifat mitos-mitos yang dianalisis Levi-Strauss, yakni
mitos pendek dan terpisah-pisah.
3. Sebagai teks pertunjukan,
sifat lakon wayang berbeda dengan mitos-mitos yang dianalisis oleh Levi-Strauss
maupun Ahimsa-Putra yang bersifat sastra fiksi. Lakon Dewa Ruci sebagai lakon,
aspek pementasan merupakan persoalan penting yang memiliki makna tersendiri,
sebagai makna lapis kedua. Oleh karena itu aspek pertunjukan mendapat perhatian
khusus dalam penelitian ini.
Tahapan analisis
struktural meruakan tampilan fakta-fakta yang ditampilkan dalam analisis
dramatik, selanjutnya dilakukan kategorisasi untuk mendapatkan miteme. Melalui percermatan atas relasi
antar miteme kemudian dibangun
kerangka relasionalnya secara sintagmatik dan paradigmatik. Dengan cara
demikian diperoleh deep structure Lakon
Dewa Ruci. Analisis lakon wayang sebagai wujud transformasi dalam sebuah
konsep dilakukan dengan cara:
a. Memperhatikan kerangka
relasional antara unsur-unsur cerita yang meliputi tokoh, peristiwa, persoalan,
dan setting, baik secara sintagmatik maupun paradigmatik.
b. Pembacaan dan penafsirannya
secara paradigmatik dengan melibatkan aspek mite yang ditunjukkan melalui nama,
kepemilikan atas sesuatu, karakter, inkarnasi dan keturunan.
c. Penelaahan secara
hermeneutika dan terminologi dipandang penting mengingat bahwa sistem simbol
dalam tradisi Jawa banyak berpijak pada konsep asma kinarya japa, yaitu nama selalu
bermakna.
d. Hasil pembacaan dan
penafsiran secara paradigmatik ini kemudian dicari kesesuaiannya dalam relasi
sintagmatik.
Teks
Dramatik Lakon Dewa Ruci
1.
Unsur Dramatik Lakon Dewa Ruci
Pementasan disini dapat dipahami sebagai
pertunjukan manapun pembacaan aktif atas teks lakon Dewa Ruci ( Soemanto,
2002:42). Dalam penlitian ini
pertunjukan dihargai sebagai sisi laindari teks lakon, yang memberikan kepda drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg,
1984:158)
2. Kedudukan teks lakon dalam
penelitian
Analisis teks lakon dalam penelitian ini
didudukan sebagai struktur luar (Surface Structure), yang akan dianalisis dalam
bab selanjutnya untuk mendapatkan struktur dalam atau deep structure (Ahimsa-Putra,
2006:61 dan 204).
Dalam kepentingannya
dengan penelitian ini sebagaimana diketahui bahwa sanggit-sanggit Lakon dewa
Ruci yang dijumpai dalam tradisi wayang, masing-masing selalu diwarnai subjektivitas
yang nyanggit. Oleh karena itu pemiliha teks dramatik yang bersumber dari kaset
rekaman wayang oleh dalang Ki Narto Sabdo ini di dudukan sebagai sebuah data
ethnografi yang mewakili teks-teks yang lain.
Bima
– Drona Sebagai Transformasi Prana dalam Prananya
oleh masyarakat Jawa diartikan sebagai sistem
simbol dalam rangka penyampaian sejumlah pesan atau makna. Makna tersebut
diartikulasikan melalui tokoh, peristiwa,persoalan dan setting atau tempat
peristiwa tersebut terjadi (Soetarno, 1993:2). Meskipun pada bagian ini
membahas makna pasangan Bima-Drona, tetapi bukan berarti memandangnya sebagai
tokoh utama karena dalam analisis strukturalisme, pandangan demikian tidak
diberlakukan.
Didudukannya sebagai
fokus analisis karena secara nyata (terceritakan) pasangan Bima-Drona memiliki
relasi dengan keseluruhan unsur pembangun lakon. Dari sini dapat diasumsikan
bahwa makna masing-masing unsur pembangun lakon ditentukan oleh relasinya
dengan Bima, dan sebaliknya, serta ditentukan pula oleh relasinya pasanya
Bima-Drona dengan unsur lainnya. Dengan demikian jelas bahwa untuk menganalisis
makna pasangan Bima-Drona secara otomatis membahas makna keseluruhan unsur
pembangun lakonnya.
Peristiwa dan
permasalahan Bima-Drona dalam penelitian inidifokuskan pada apa yang terjadi
dalam lakon Dewa Ruci. Dipahami bahwa Bima-Drona merupakan bagian dari
tokoh-tokoh yang ada dalam Lakon Dewa Ruci. Artinya bahwa teks dari lakon Dewa
Ruci. Lakon merupakan wahana yang mewadahi dari segala aktifitas pasangan tokoh
Bima-Drona dalam berelasi dengan unsur yang lain. Bersandingan unsur-unsur
disini dirangkai melalui jalan cerita dan peristiwa dalam teks Lakon Dewa Ruci.
Analisi tersebut disejajarkan dengan analisis kalimat dalam fenomena kebahasaan.
Relasi antara unsur dalam sebuah struktur akan membangun makna test Lakon Dewa
Ruci. Yang perlu diidentifikasikan pertama kali adalah dari sifat lakon yang
dikaji. Berdasarkan penggunaan nama Dewa
Ruci sebagai judul lakon mengisyaratkan bahwa persoalan cerita ini memiliki
keterkaitan yang saangat erat dengan aspek kedewaan, keillahian, maupun
mengenai fenomena mitis. Oleh karen itu dalam hal ini, tidak dapat mengabaikan
analisis mitologi. Namun demikian bukan berarti analisis mitologi sebagai
tujuan penelitian, melainkan sebagai tahap awal dalam rangka melakukan
kategorisasi.
Setiap unsur lakon
wayang tidak lepas dari mitologi wayang. Oleh karena itu, dalam pendapat
Hiltebeitel bahwa semua peristiwa yang dialami tokoh-tokoh epik (tokoh titah
untuk wayang) selalu melibatkan campur tangan dari tokoh-tokoh mite (tokoh dewa
untuk wayang). Campur tangan tersebut ditunjukkan melalui sistem simbol yang
berupa inkarnasi, kepemilikan atas sesuatu, karakter, ciri-ciri fisik,
penggunaan nama, dan keturunan (Hiltebeitel, 1990: 35-37). Berdasarkan
pandangan di atas setiap tokoh wayang (ksatria) selalu memiliki aspek mite
(aspek dewa). Minkowski mengatakan bahwa kelahiran Mahabharata dilatar
belakangi konsep pemikiran Hindu tentang ajaran ritual Wedik Brah manisme yang meliputi prinsip-prinsip kehirarkian dan
keseimbangan alam yang diatur dalam sebuah kelembagaan ritual (Minkowski,
1989:401). Penyebarannya di Jawa telah mengalami transformasi kembali yang disertai penafsiran-penafsiran baru, dan
kemudian dikembangkan lagi menjadi bentuk pertunjukan wayang.
Perjalanan sejarahnya
yang sangat panjang dan proses pewarisannya telah mengalami perubahan sebagai
upaya penegasan dan arah perhatian terhadap konsep maupun makna wayang untuk
disesuaikan dengan selera, minat, dan penilaian selaras dengan latar belakang
sosial, budaya dan religius masyarakat tradisi wayang (Wiryamartana, 1990:463).
Wayang meskipundikatakan sebagai kebudayaan asli Jawa tetapi sangat lekat
dengan tradisi Hindu, karena bagaimanapun juga wayang merupakan sinkretisme
Jawa-Hindu. Oleh karena itu dapat dipahami apabila beberapa ahli berpendapat
bahwa Hindu merupakan akar budaya wayang (Wiryamartana, 1990; Jayaatmaja,
1994;Widyaseputra 2006:171-200; Prastiyono dan Manu Jayaatmaja, 2007:1-26;
periksa Ananda Murti, 1991; Ahimsa-Putra, 2012: 512-513). Edi Sedyawati
menyebutkan bahwa berbagai kebudayaan di Indonesia, khususnya wayang merupakan
hasil akulturasi dengan kebudayaan India (periksa Soedarsono, 1985:4-10, Ahimsa-Putra,
2012:513). Meskipun proses transformasi tersebut telah berjalan dalam kurun
waktu sangat panjang, namun masih
memungkinkan untuk dilacak jejak-jejak masa lampaunya (Jayaatmaja, 1994:4).
Berkenaan dengan pandangan di atas, yang sangat menarik adalah pernyataan
Soebardi dalam Serat Cabolek (2004) sebagai berikut:
Cerita DewaRuci
jelas berasal dari zaman Pra-Islam dan sebagaian utamanya mungkin berasal dari
Mahabharata. Cerita tersebut telah mengalami perubahan-perubahan tertentu di
mana peran Bhima telah dibuat lebih penting dibandingkan dengan peran Arjuna
(Soebardi,
2004:63).
Pola
Bangunan Lakon Dewa Ruci
Satu lakon dibagi
menjadi tiga bagian atau fase yang disebut degan istilah pathet, yaitu; Pathet
Nem, Pathet Sanga, Pathet Manyura. (Holt,2000; 185-188; Brandon, 2003; 126-133)
Pola pembagian demikian dapat dijumpai
dala, tradisi Surakarta dan Ngayogyakarta. Levelisasi pembagian bangunan lakon
tradisi wayang Surakarta berdasarkan sistem penulisan dalam Pakem pedalanga
jangkep, baik yang disusun R.Ng. Nojoworongko terbitan Tjabang bagian bahasa
Jogjakarta Djawatan Kebudajaan, Departemen P.P. danK., (1960), maupun Ki Ng.
Wigyosoetarno terbitan STSI Press Surakarta dan PDMN (1996) menyebutkan bahwa
dalam satu lakon terdiri dari satu jejer, yaitu pada adegan I, sedangkan
selanjutnya dikategorikan sebagai adegan. Pembagian demikian, dalam kebutuhan
penelitian ini agak membingungkan karena ada sebuah adegan yang teryata
merupakansub adegan dari adegan sebelumnya, tetapi kategorisasinya masih sama.
Pertunjukan
Lakon Dewa Ruci Sebagai Ritual Pemujaan Siwa
Menjelaskan makna
pertunjukan Lakon Dewa Ruci sebagai sebuah teks, melalui sistem relasi astar
unsurnya berdasarkan stuktur yang mencakup aspek pertunjukannya. Dalam analisis
ini pertunjukan Lakon Dewa Ruci di dudukan sebagai subjek otonom, yang memiliki
otoritas teks, yang makna terpisah dari tujuan dan maksud penanggap atau
penyelenggaranya, atau dengan kata lain bahwa makna yang dimaksud di sini
adalah makna otoritas teks yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris
atas peristiwa budaya itu sendiri (Ahimsa-Putra, 2006:60). Analisis pertunjukan
ini tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh atau innterelasi denga teks
lakonnya. Hal demikian peting karena sebagaimana pandangan Tarigan bahwa antara
teks play (materi pertunjukan) dengan pertunjukannya merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan (Tarigan 1984:73). Sebagaimana makna lapisan kedua
maka keberadaanya sanagat ditentukan oleh makna text play. Dipahami pula bahwa
pertunjukan sebagai sebuah teks, ia dibangun oleh lapisan- lapisan makna yang lainnya,
baik dari lapisan yang paling kecil (peristiwa, tokoh,masalah, dan setting)
hingga lapis yang paling besar dalam keseluruhan pertunjukan wayang. Antara
lapis tersebut saling berelasi dalam rangka membangun makna tunggal, yaitu teks
pertunjukan Lakon Dewa Ruci. Fenomena demikian yanag membedakan antar Lakon
Dewa Ruci sebagai sastra lakon dengan sastra fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar