Sabtu, 15 April 2017

LAKON DEWA RUCI CARA MENJADI JAWA

LAKON DEWA RUCI
CARA MENJADI JAWA
Sebuah Analisis Strukturalisme Levi – Strauss Dalam Kajian Wayang
Oleh; Dr. Aris Wahyudi, S.Sn. M.Hum.


Analisis atas kisah lakon Dewa Ruci yang berupa sebuah serat menuntut penelitian mengarahkan perhatiannya pada miteme satu dengan yang lainnya dan makna – makna yang muncul dari pembacaan atas miteme dan ceriteme tersebut di samping makna berbagai kata atau istilah penting yang terdapat di dalamnya.[1] Strategi analisisyang dapat diterapkan dalam analisis sebuah pertunjukan, tetapi belum tentu selurunya memadai, karena fenomena pertunjukan tidak sama persis dengan teks tetulis. Paradigma strukturalisme yang dikembangkan oleh Levi Strauss merupakan sebuah paradigma yang dimanfaatkan untuk memahami dan menjelaskan berbagai macam sosial budaya, dengan berbagai macam wujud empirisnya. Mempelajari mengenai penerapan analisis struktural terhadap berbagai dongeng (mitos), terhadap segala totemisme , terhadap sistem kekerabatan, terhadap topeng dan motif – motif seni. Paradigma strukturalisme sebagai kerangka pemikiran untuk memahami lakon Dewa Ruci secara teoritis dan subtansial.

A.       LATAR BELAKANG MASALAH
Lakon dewa Ruci yang mengisahkan Bima berguru kepada Drona untuk menguasai ngelmu kasampurnaan atau sangkan paraning dumadi merupakan kisah yang menarik dan unik. Dikatakan menarik karena relevansinya dalam kehidupan masyarakat jawa masih dijumpai sampai sekarang serta berbagai tanggapan terhadapnya, baik dari lingkungan dalang, peneliti, maupun di lingkungan orang Jawa. tangggapan atas  cerita dewa ruci dalam jagad wayang, baik di Jawa maupun di Bali berupa sastra lakon, yaitu naskah untuk kepentingan pertunjukan wayang kulit purwa yang dikenal Lakon Dewa Ruci (Hobart, 1987;32-34;Wiryamartana, 1990;2)
Sebagai sebuah fenomena kebahasaan, salah satu cara unttuk memahami Lakon Dewa Ruci adalah dengan mencari strukturnya. Sebagaimana dalam fenomena kebahasaan, sebuah pesan akan dapat ditangkpa apaabila si penerima memahami struktur (tata bahasanya) yang berlaku dalam bahasa tersebut. Ibarat Lakon Dewa Ruci adalah sebuah kalimat, Bima dan Drona adalah bagian dari kata-katanya, yang semuanya dibangun mengikuti “ tata bahasanya”. Dengan demikian untuk mengetahui makna pasangan toko bima dan Drona terlebih dahulu harus memahami struktur atau kaidah “ketata-bahasaannya” yang digunakan dalam lakon wayang. Untuk memahami psangan bima dan Drona, yaitu dengan sistem relasinya dengan tokoh yang lain, peristiwa, persoalannya dan settingnya sebagai unit-unit pokok.
Struktur pasangan Bima dan Drona yang telah di peroleh digunakan untuk memahami dalam teks Lakon Dewa Ruci. Apabila sebuah teks lakon telah diaktualisasikan dalam sebuah pertunjuakan, maaka dia akan memberikan makna lapis kedua, yang berbeda dengan makna teks lakonnya. Hal demikian dekarenkan dalam pertunjukan terlibat juga aspek ruang dan waktu. Oleh karena itulah dalam penelitian ini, aspek pertunjukan juga mendapat perhatian.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana struktur Lakon Dewa Ruci?
2.    Apa makna pasangan Bima dan Drona pada Lakon Dewa Ruci?
3.    Apa makna Lakon Dewa Ruci?
4.    Apa makna pertunjukan Lakon Dewa Ruci?

C.       TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.      Melacak dan menjelaskan struktur lakon Dewa Ruci dalam kapasitasnya sebagai “tata bahasa”  lakon wayang
2.      Struktur yang telah diperoileh tersebut digunakan untuk melacakdan menjelaskan unsur-unsur pokok pmbangunan lakon khususnya pasangan Bima- Drona.
3.      Hasil temuan dari iten 2 dan 3 digunakan untuk manafsirkan makna teks Lakon Dewa Ruci
4.      Melacak dan menjelaskan makna pertunjukan Lakon Dewa Ruci.
5.      Menawarkan model penelitian untuk kajian wayang melalui analisis strukturalisme Levi-Strauss yang berfokus pada studi lakon wayang sebagai teks sastra lakon dan pertunjukan yang berorientasi pada as[pek objektivitas dan kolektivitas
Diperoleh pengungkapan baru serta mendapatkan pemahaman yang relatif utuh atas fenomena pertunjukan wayang kulit purwa Lakon Dewa Ruci.

D.       PENELITIAN TERDAHULU
Penelitiannya P.J.Zoetmulder dalam bukunya Panthseisme En Monisme in de Javaanshe Soeloek-Litteratuur (1935) yang diterjemahkan indonesia oleh Dick Hartoko “Manunggaling Kawula-Gusti; Panthaisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” yang membahas serat Dewa Ruci.
Seno Sastroamidjojo dalam bukunya “Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit” (1964) Menafsirkan Lakon Dewa Ruci sebagai ajaran hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sempurna.
H.I.R. Hinzler dalam bukunya berjudul “Bima Swarga in Balinese Wayang (1981) membahas wayang tradisi Bali dengan menggunakan pendekatan sastra dan mempersempit ruang penelitian yang memfokuskan pada Lakon Bima Swarga, yang sangat berbeda dengan Lakon Dewa Ruci. Melalui kritik sastranya (filologi), Hinzler mengkaji makna lakon berfokus pada apa yang terceritakan, atau masih bertumpu pada pemaknaan di tingkat bahasa verbal. Dengan perbedaan tradisi dan lakon yang dikaji.   
S.P. Adhikara dengan buku berjudul “Dewa Ruci (1984) dan “Nawa Ruci (1984) pemaknaan menekankan pada aspek keteladanan berdasarkan peristiwa-peristiwa, teruama sikap Bima dalam menghadapi segala rintangan untuk mencapai cita-citanya. Dijelaskan bahwa yang dilakukan Bima merupakan tuntunan hidup masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan dengan berpijak pada pancabhakti atau pancasembah, yaitu: sembah kepada dewa, sembah kepada raja, sembah kepada orang tua, sembah kepada guru, dan sembah kepada diri pribadi. Memaknai tokoh Nawa Ruci serta wejangan Nawa Ruci kepada Bima melalui analisis terminologi hermeunetik.  
Woro Aryandhini Sumaryoto dengan buku berjudul “Citra Bima dalam Karya Sastra Jawa (1988) yang harus diperhatikan dalam membuat analog fenomena wayang dan fenomena sosial tidak dapat hanya berdasarkan satu peristiwa, melainkan harus melihat dari berbagai aspek yang melekat dalam wayang itu serta interterkstualitasnya. Selain itu diketahui bahwa tokoh seperti Arjuna, Baladewa, dan Kresna, yang mengalami peristiwa seperti Bima bahkan lebih eksplisit ditunjukkan Baladewa. Baladewa menjadi petani ketika diungsikan di kademangan Widorokandhang, dan menjadi Brahmana dalam lakon Wasi Jaladara.    
Magniz Susena dalam bukunya berjudul “Etika Jawa(1988) Semua unsur pertunjukan wayang beserta lakon dan semua tokoh-tokohnya dipandang sebagai lamabang hidup manusia Jawa. Keberadaanya dipandang sebagai tuntunan atau acuan (etika) orang Jawa dalam menjalani kehidupannya. Bahwa lakon Dewa Ruci merupakan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti dalam mistik Islam Jawa.
Soetarno dalam laporan penelitiannya berjudul “Serat Bima Suci dengan berbagai Aspeknya” (1989), meneliti Serat Bimasuci karya Yasadipura I yang ditulis kembali oleh R. Tanaya dengan huruf latin terbitan balai pustaka (1979). Melalui pendekatan Filsafat, Serat Bimasuci disimpulkan memiliki beberapa aspek yaitu aspek metafisika tentang sangkan paraning dumadi, aspek antropologi yang meliputi segi lahir dan batin manusia, aspek etika/estetika yaitu pencapaian kesempurnaan melalui sarana etika dan estetika, aspek epistimologi yaitu pencapaian pengetahuan melalui cipta-rasa-karsa. Kesemua aspek tersebut dipandang sebagai mistisisme Jawa dalam rangka Manunggaling Kawula-Gusti.    
Effendy Zarkasi buku yang berjudul “Unsur-unsur Islam Dalam Pewayangan (1996)” menjelaskan bahwa Cerita Dewa Ruci disusun pada abad XVI. Yang perlu dipertimbangkan pula bahwa meskipun pada masa itu adalah masa awal perkembangan Islam di Jawa, bukan berarti dapat serta-merta dikatakan sebagai gubahan orang Islam karena agama yang lama, baik itu Hindu, Budha atau beberapa kepercayaan yang masih dianut oleh sebagaian masyarakat Jawa pada waktu itu.  
Soebardi bukunya berjudul “Serat Cabolek (2004). Kandungan Serat Cabolek yang dihubungkan dengan ajaran mistik serta cerita Dewa Ruci. Cerita Dewa Ruci jelas berasal dari zaman Pra-Islam dan bagian utamanya mungkin berasal dari Mahabharata. Cerita tersebut telah mengalami perubahan-perubahan tertentu dimana peran Bhima telah dibuat lebih penting dibandingkan peran Arjuna (Soebardi, 2004:63).
Heddy Shri Ahimsa- Putra dengan karya buku yang berjudul “Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra (2006)” Pertama, mengkaji Lakon Dewa Ruci dalam kapasitasnya sebagai sastra lakon. Untuk itu makna Lakon Dewa Ruci tidak hanya dikaji melalui analisis teks lakonnya saja tetapi juga analisis teks pertunjukannya. Kedua, mengkaji Lakon Dewa Ruci dengan melibatkan keseluruhan unsur pembangun lakon sebagai satu kesatuan. ( Levi Strauss: 206-207; Luxemburg, 1984 : 86-90).   

E.        RUANG LINGKUP KAJIAN
Dalam studi budaya sebuah istilahseringkali memiliki beberapa pengertian yang berbeda – beda, yang disesuaikan dengan sudut pandang pendekatan dan disiplin yang digunakan peneliti (Alasuutari,1995:35). Oleh karena itu dalam kebutuhan ini perlu dilakukan perumusan konsep atas istilah yang digunakan sebagai ranah analisis agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pembaca dengan peneliti, serta memberikan arahan dalam menyusun teori (Koentjaraningrat, 1977: 32 – 36)
Wayang sudah hidup pada zaman prasejarah sebagai sarana ritual animisme untuk upara pemujaan kepada arwah para leluhur (Brandon,1970:3; Yudhianta,1988:103). Pertunjukan wayang telah lama dikenal dan digemarimasyarakat Jawa, salah satu petunjuk adalah inskripsi peninggalan kuno yang diperkirakan tahun 907 masehi, pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung. Dalam peninggalan tersebut disebutkan mengenai sebuah pertunjukan wayang (Amir,1991:34). Soedarsono menjelaskan bahwa prasasti tersebut menjelaskan tentang pertunjukan wayang wong (Soedarsono,1977:3-4).
Untuk memahami wayang, harus pula memahami pandangan orang Jawa mengenai kelir. Kelir dalam pertunjukan wayang dipandang sebagai simbol sebagai tempat segala makhluk (pertunjukan wayang) beraktifitas (sastroamidjojo,1964:70). Oleh karena wayang kulit berdimensi dua,maka kelirnya pun juga berdimensi dua, yaitu berupa kain putih yang dibentangkan. Sebagaimana dalam pandangan masyarakat Jawa, kelir merupakan identifikasi dari jagad atau ruang hidup yang ada masanya digelar dan digulung. Apabila jagadnya digulung maka dimaknai sebagai berakhirnya kehidupan. Dengan demikian wayang dapat diorientasikan dengan makna jagad dengan segala isinya. Rangka kesesuaian dimensi sebagai simbol alam beserta isinya (jagad saisine). Bayang – bayang yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit adalah hanya sebuah efek dari jagad dua dimensi yang terkena sinar blencong (matahari).      
Wayang adalah ssudah jagad imajiner sebagai perwujudan jagad pikir mitis orang Jawa untuk menerjemahkan pengetahuannya mengenai mikrokosmos dan makrokosmos. Pengertian wayang mencakup tokoh, permasalahan, persoalan, tempat dan bentuk pertunjukan. Wayang adalah kesatuan dari boneka, cerita, dan pertunjukan yang saling menjalin dalam rangkaian cerita yang sangat panjang, sebagai jagad simbol dengan kompleksitas fenomena budaya. Ketiga makna wayang tersebut dihargai sebagai sesuatu yang telah menyatu dan tidak dapat terpisahkan. Ketika wayang disebut sebagai “cerita” secara otomatis akan terbersit mengenai boneka dan pertunjukannya sekaligus, demikian sebaliknya ketika wayang disebut sebagai sebuah pertunjukan akan tersertakan dua aspek yanglainnya, atau disebut dengan jagad wayang.
Istilah struktur dalam kajian budaya memiliki pengertian yang berbeda – beda. Bidang ilmu sosiologi, antropologi, sastra, seni, maupun beberapa penelitian menjabarkan pengertian struktur menggunakan analogi berdasarkan paradigma dan latar belakang pengetahuannya (model). Struktur dalam bidang sastra dimaknai suatu kaitan-kaitan tetap anatara kelompok-kelompok gejala dengan menekankan kategorisasi (oposisi) penokohan: utama-membantu, antagonis-protagonis, dan sebagainya (Luxemburg: 36-40; Teeuw,2003: 102-104 dan 113).
Kata Struktur biasa menunjuk pada hubungan – hubungan yang terjadi di antara manusia yang berbeda kedudukannya. Struktur cenderung menghasilkan jarak, ketidaksamaan, seringkali malah mengarah pada eksploitasi antara manusia dengan manusia, laki-laki terhadap perempuan, dan yang tua kepada yang muda. (Y.W Wartaya Winangun, 1990: 56).

F.        LANDASAN TEORI
Levi-Strauss berpandangan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh antropolog untuk memahami dan menjelaskan fenomena budaya yang ditelitinya dan yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang merupakan keteraturan mekanisme yang tidak disadari oleh penggunanya (Baal,1988: 118-119). Dalam pandangan ini setiap fenomena budaya merupakan bahasa-bahasa, yaitu suatu perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Struktur diperoleh dengan cara mengabstraksikan ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena budaya dan merumuskan aturan-aturan abstrak (model) dibalik fenomena budaya yang ditelitinya. Dengan demikian yang dimaksud struktur disini adalah “tata bahasa”, yaitu pola-pola yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, yang mengatur sistem relasi dari relasi unsur-unsur dalam Lakon Dewa Ruci dan pertunjukannya (Ahimsa-Putra; 60-61). Struktur ini dapat digunakan untuk memahami berbagai fenomena budaya Jawa. Artinya struktur disini merupakan sesuatu yang bermakna.
Makna Lakon dewa Ruci sebagai sebuah teks yang otonom dan berdiri sendiri memiliki otoritas makna yang terlepas dari fenomena budaya yang melingkupinya, tidak berhubungan dengan konteksnya. Makna teks dipandang stabil, tidak mengalami perubahan, serta tidak terpengaruh oleh dinamikanya (Segers, 1978:87; Teeuw, 2003:53-54; Palmer, 2005: 185-186). Makna di sini adalah gagasan pokok yang terkandung dalam Lakon Dewa Ruci yang dibangun oleh keseluruhan unsur sebagai sistem simbol berdasarkan struktur yang diperoleh dari analisis struktural. Artinya bahwa makna adalah merupakan hasil pembacaan dan penafsiran yang berfokus pada bagaimana cara unsur-unsur Lakon Dewa Ruci itu direlasikan baik dalam relasi sintagmatik maupun paradigmatik (Levi-Strauss, 1967:206).
Makna disini menekankan pada relasinya, meskipun bukan berarti mengabaikan simbol. Simbol  merupakan unsur penting yang memberi acuan referensial dalam membangun makna lakon. Lakon Dewa Ruci dalam analisis ini dipandang sebagai sebuah kalimat yang terdiri dari serangkaian kata-kata. Melalui model ini sangat mungkin bahwa makna yang diperoleh memiliki kesamaan atau kemiripan dengan makna yang dimaksudkan oleh penanggapnya, tetapi juga sangat mungkin justru sangat berbeda atau tidak ada kaitannya sama sekali dengan maksud si penanggap. Penelitian yang berpusat pada studi teks ini berupaya melacak pasangan Bima-Drona dalam Lakon Dewa Ruci pertunjukan Wayang Kulit Purwa dengan menggunakan model linguistik yang ditawarkan Levi-Strauss.
Wayang sebagai budaya Jawa banyak diwarnai konsep asma kinarya japa. Yang dimaksudkan dengan asma kinarya japa adalah sistem tanda yang menggunakan istilah terminologi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilibatkan pula analisis transformasi hermeneutik. Wayang di satu sisi lain juga sebagai mitologi Jawa, yang dibangun untuk dijadikan acuan (model for) orang Jawa dalam menjalani kehdupannya, dan sekaligus sebagai representasi (model of) dari sistem nalar orang Jawa. (Peursen, 1992: 38-39)oleh karen itu sistem nalar orang Jawa sangat Mitis, maka dilibatkan pula analisis mitologi wayang yang merupakan dasar pemikiran mitologis dalam Jagad Wayang (Zoetmulder, 1994:26; Laksono, 1985: 22; Becker, 1979: 226-230).

Metode Penelitian

Penelitian ini berdasarkan paradigma strukturalisme Levi-Strauss, namun pengertian mitos dalam wayang agak berbeda dengan pandangan Levi-Strauss sehingga strategi analisisnya pun memiliki sedikit perbedaan, perbedaan itu terletak pada tiga hal:
1.      Keterlibatan analisis mitologi yang oleh Levi-Strauss abaikan, dalam penelitian ini dihargai sebagai persoalan pentig dalam rangka menentukan relasi paradigmatik atas miteme-miteme yang diperoleh.
2.      Lakon Dewa Ruci sebagai salah satu bagian dari rangkaian cerita panjang Mahabharata Jawa, keberadaanya tidak dapat lepas dari teks-teks lakon yang lain (intertekstualitas). Hal demikian berbeda dengan sifat mitos-mitos yang dianalisis Levi-Strauss, yakni mitos pendek dan terpisah-pisah.
3.      Sebagai teks pertunjukan, sifat lakon wayang berbeda dengan mitos-mitos yang dianalisis oleh Levi-Strauss maupun Ahimsa-Putra yang bersifat sastra fiksi. Lakon Dewa Ruci sebagai lakon, aspek pementasan merupakan persoalan penting yang memiliki makna tersendiri, sebagai makna lapis kedua. Oleh karena itu aspek pertunjukan mendapat perhatian khusus dalam penelitian ini.
Tahapan analisis struktural meruakan tampilan fakta-fakta yang ditampilkan dalam analisis dramatik, selanjutnya dilakukan kategorisasi untuk mendapatkan miteme. Melalui percermatan atas relasi antar miteme kemudian dibangun kerangka relasionalnya secara sintagmatik dan paradigmatik. Dengan cara demikian diperoleh deep structure Lakon Dewa Ruci. Analisis lakon wayang sebagai wujud transformasi dalam sebuah konsep dilakukan dengan cara:
a.       Memperhatikan kerangka relasional antara unsur-unsur cerita yang meliputi tokoh, peristiwa, persoalan, dan setting, baik secara sintagmatik maupun paradigmatik.
b.      Pembacaan dan penafsirannya secara paradigmatik dengan melibatkan aspek mite yang ditunjukkan melalui nama, kepemilikan atas sesuatu, karakter, inkarnasi dan keturunan.
c.       Penelaahan secara hermeneutika dan terminologi dipandang penting mengingat bahwa sistem simbol dalam tradisi Jawa banyak berpijak pada konsep asma kinarya japa, yaitu nama selalu bermakna.
d.      Hasil pembacaan dan penafsiran secara paradigmatik ini kemudian dicari kesesuaiannya dalam relasi sintagmatik.

Teks Dramatik Lakon Dewa Ruci

1.      Unsur Dramatik Lakon Dewa Ruci
Pementasan disini dapat dipahami sebagai pertunjukan manapun pembacaan aktif atas teks lakon Dewa Ruci ( Soemanto, 2002:42). Dalam  penlitian ini pertunjukan dihargai sebagai sisi laindari teks lakon, yang memberikan kepda drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg, 1984:158)
2.      Kedudukan teks lakon dalam penelitian
Analisis teks lakon dalam penelitian ini didudukan sebagai struktur luar (Surface Structure), yang akan dianalisis dalam bab selanjutnya untuk mendapatkan struktur dalam atau deep structure (Ahimsa-Putra, 2006:61 dan 204).
Dalam kepentingannya dengan penelitian ini sebagaimana diketahui bahwa sanggit-sanggit Lakon dewa Ruci yang dijumpai dalam tradisi wayang, masing-masing selalu diwarnai subjektivitas yang nyanggit. Oleh karena itu pemiliha teks dramatik yang bersumber dari kaset rekaman wayang oleh dalang Ki Narto Sabdo ini di dudukan sebagai sebuah data ethnografi yang mewakili teks-teks yang lain.

Bima – Drona Sebagai Transformasi Prana dalam Prananya

 oleh masyarakat Jawa diartikan sebagai sistem simbol dalam rangka penyampaian sejumlah pesan atau makna. Makna tersebut diartikulasikan melalui tokoh, peristiwa,persoalan dan setting atau tempat peristiwa tersebut terjadi (Soetarno, 1993:2). Meskipun pada bagian ini membahas makna pasangan Bima-Drona, tetapi bukan berarti memandangnya sebagai tokoh utama karena dalam analisis strukturalisme, pandangan demikian tidak diberlakukan.
Didudukannya sebagai fokus analisis karena secara nyata (terceritakan) pasangan Bima-Drona memiliki relasi dengan keseluruhan unsur pembangun lakon. Dari sini dapat diasumsikan bahwa makna masing-masing unsur pembangun lakon ditentukan oleh relasinya dengan Bima, dan sebaliknya, serta ditentukan pula oleh relasinya pasanya Bima-Drona dengan unsur lainnya. Dengan demikian jelas bahwa untuk menganalisis makna pasangan Bima-Drona secara otomatis membahas makna keseluruhan unsur pembangun lakonnya.
Peristiwa dan permasalahan Bima-Drona dalam penelitian inidifokuskan pada apa yang terjadi dalam lakon Dewa Ruci. Dipahami bahwa Bima-Drona merupakan bagian dari tokoh-tokoh yang ada dalam Lakon Dewa Ruci. Artinya bahwa teks dari lakon Dewa Ruci. Lakon merupakan wahana yang mewadahi dari segala aktifitas pasangan tokoh Bima-Drona dalam berelasi dengan unsur yang lain. Bersandingan unsur-unsur disini dirangkai melalui jalan cerita dan peristiwa dalam teks Lakon Dewa Ruci. Analisi tersebut disejajarkan dengan analisis kalimat dalam fenomena kebahasaan. Relasi antara unsur dalam sebuah struktur akan membangun makna test Lakon Dewa Ruci. Yang perlu diidentifikasikan pertama kali adalah dari sifat lakon yang dikaji. Berdasarkan penggunaan  nama Dewa Ruci sebagai judul lakon mengisyaratkan bahwa persoalan cerita ini memiliki keterkaitan yang saangat erat dengan aspek kedewaan, keillahian, maupun mengenai fenomena mitis. Oleh karen itu dalam hal ini, tidak dapat mengabaikan analisis mitologi. Namun demikian bukan berarti analisis mitologi sebagai tujuan penelitian, melainkan sebagai tahap awal dalam rangka melakukan kategorisasi.
Setiap unsur lakon wayang tidak lepas dari mitologi wayang. Oleh karena itu, dalam pendapat Hiltebeitel bahwa semua peristiwa yang dialami tokoh-tokoh epik (tokoh titah untuk wayang) selalu melibatkan campur tangan dari tokoh-tokoh mite (tokoh dewa untuk wayang). Campur tangan tersebut ditunjukkan melalui sistem simbol yang berupa inkarnasi, kepemilikan atas sesuatu, karakter, ciri-ciri fisik, penggunaan nama, dan keturunan (Hiltebeitel, 1990: 35-37). Berdasarkan pandangan di atas setiap tokoh wayang (ksatria) selalu memiliki aspek mite (aspek dewa). Minkowski mengatakan bahwa kelahiran Mahabharata dilatar belakangi konsep pemikiran Hindu tentang ajaran ritual Wedik Brah manisme yang meliputi prinsip-prinsip kehirarkian dan keseimbangan alam yang diatur dalam sebuah kelembagaan ritual (Minkowski, 1989:401). Penyebarannya di Jawa telah mengalami transformasi kembali  yang disertai penafsiran-penafsiran baru, dan kemudian dikembangkan lagi menjadi bentuk pertunjukan wayang.
Perjalanan sejarahnya yang sangat panjang dan proses pewarisannya telah mengalami perubahan sebagai upaya penegasan dan arah perhatian terhadap konsep maupun makna wayang untuk disesuaikan dengan selera, minat, dan penilaian selaras dengan latar belakang sosial, budaya dan religius masyarakat tradisi wayang (Wiryamartana, 1990:463). Wayang meskipundikatakan sebagai kebudayaan asli Jawa tetapi sangat lekat dengan tradisi Hindu, karena bagaimanapun juga wayang merupakan sinkretisme Jawa-Hindu. Oleh karena itu dapat dipahami apabila beberapa ahli berpendapat bahwa Hindu merupakan akar budaya wayang (Wiryamartana, 1990; Jayaatmaja, 1994;Widyaseputra 2006:171-200; Prastiyono dan Manu Jayaatmaja, 2007:1-26; periksa Ananda Murti, 1991; Ahimsa-Putra, 2012: 512-513). Edi Sedyawati menyebutkan bahwa berbagai kebudayaan di Indonesia, khususnya wayang merupakan hasil akulturasi dengan kebudayaan India (periksa Soedarsono, 1985:4-10, Ahimsa-Putra, 2012:513). Meskipun proses transformasi tersebut telah berjalan dalam kurun waktu  sangat panjang, namun masih memungkinkan untuk dilacak jejak-jejak masa lampaunya (Jayaatmaja, 1994:4). Berkenaan dengan pandangan di atas, yang sangat menarik adalah pernyataan Soebardi dalam Serat Cabolek (2004) sebagai berikut:
Cerita DewaRuci jelas berasal dari zaman Pra-Islam dan sebagaian utamanya mungkin berasal dari Mahabharata. Cerita tersebut telah mengalami perubahan-perubahan tertentu di mana peran Bhima telah dibuat lebih penting dibandingkan dengan peran Arjuna
(Soebardi, 2004:63).
     
Pola Bangunan Lakon Dewa Ruci
Satu lakon dibagi menjadi tiga bagian atau fase yang disebut degan istilah pathet, yaitu; Pathet Nem, Pathet Sanga, Pathet Manyura. (Holt,2000; 185-188; Brandon, 2003; 126-133)
Pola pembagian demikian dapat dijumpai dala, tradisi Surakarta dan Ngayogyakarta. Levelisasi pembagian bangunan lakon tradisi wayang Surakarta berdasarkan sistem penulisan dalam Pakem pedalanga jangkep, baik yang disusun R.Ng. Nojoworongko terbitan Tjabang bagian bahasa Jogjakarta Djawatan Kebudajaan, Departemen P.P. danK., (1960), maupun Ki Ng. Wigyosoetarno terbitan STSI Press Surakarta dan PDMN (1996) menyebutkan bahwa dalam satu lakon terdiri dari satu jejer, yaitu pada adegan I, sedangkan selanjutnya dikategorikan sebagai adegan. Pembagian demikian, dalam kebutuhan penelitian ini agak membingungkan karena ada sebuah adegan yang teryata merupakansub adegan dari adegan sebelumnya, tetapi kategorisasinya masih sama.

Pertunjukan Lakon Dewa Ruci Sebagai Ritual Pemujaan Siwa
Menjelaskan makna pertunjukan Lakon Dewa Ruci sebagai sebuah teks, melalui sistem relasi astar unsurnya berdasarkan stuktur yang mencakup aspek pertunjukannya. Dalam analisis ini pertunjukan Lakon Dewa Ruci di dudukan sebagai subjek otonom, yang memiliki otoritas teks, yang makna terpisah dari tujuan dan maksud penanggap atau penyelenggaranya, atau dengan kata lain bahwa makna yang dimaksud di sini adalah makna otoritas teks yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris atas peristiwa budaya itu sendiri (Ahimsa-Putra, 2006:60). Analisis pertunjukan ini tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh atau innterelasi denga teks lakonnya. Hal demikian peting karena sebagaimana pandangan Tarigan bahwa antara teks play (materi pertunjukan) dengan pertunjukannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Tarigan 1984:73). Sebagaimana makna lapisan kedua maka keberadaanya sanagat ditentukan oleh makna text play. Dipahami pula bahwa pertunjukan sebagai sebuah teks, ia dibangun oleh lapisan- lapisan makna yang lainnya, baik dari lapisan yang paling kecil (peristiwa, tokoh,masalah, dan setting) hingga lapis yang paling besar dalam keseluruhan pertunjukan wayang. Antara lapis tersebut saling berelasi dalam rangka membangun makna tunggal, yaitu teks pertunjukan Lakon Dewa Ruci. Fenomena demikian yanag membedakan antar Lakon Dewa Ruci sebagai sastra lakon dengan sastra fiksi.    
                                                                             
      





[1] Ahimsa-Putra, 2011. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...