Seorang sutradara mempunyai tugas cukup berat untuk meramu beberapa
tugas menjadi hasil yang maksimal. Seorang chief dalam departemen
pastilah sudah dibekali kemampuan teknis di bidang masing-masing. Dengan
kemampuan teknis itulah diharapkan bisa menghasilkan sebuah film dengan
taste dan citarasa tinggi. Intinya sutradara harus mampu
mengkolaborasikan kemampuan teknis dan estetika dalam produksi.
Seorang Sutradara Haruslah memiliki perencanaan teknik selama dia memegang kendali komando produksi sebuah film, teknik tersebut adalah teknik gaya penyutradaraan atau yang disebut:
"ART OF TECHNIQUE"
- Interpretasi naskah adalah proses paling menarik dalam pembuatan film adalah interpretasi. Naskah yang sama namun disutradarai oleh orang yang berbeda dapat dipastikan akan menghasilkan film yang berbeda pula.
- Treatment dalam produksi film adalah bagaimana kita memberikan kontribusi terhadap naskah melalui teknik dan proses produksi. Contoh : dalam produksi sebuah iklan kita sering melihat berbagai macam versi walaupun hanya untuk satu produk saja. Diharapkan dengan proses dan teknik yang berbeda kita bisa membawa penonton ke dalam cara pandang baru terhadap tema yang kita sodorkan
- Menetapkan tujuan Ini juga merupakan hal yang penting; apa tujuan dibuatnya sebuah film, siapa yang menonton, dan apa yang diharapkan dari penonton
- Jangan batasi imajinasi kita dalam interpretasi naskah menjadi gambar, gunakan seluruh kemampuan kita baik secara teknik maupun estetik serta didukung oleh pengalaman hidup kita
Mood film
Kombinasi ramuan teknik yang tepat dengan
estetika yang cukup diharapkan akan menyeret penonton ke dalam memori
yang tak terlupakan dari film kita. Berikut beberapa hal yang
mempengaruhi mood film :
- Lokasi & setting
- Warna, tekstur dan design
- Teknik lighting
- Teknik pengambilan gambar
- Teknik editing
- Performance pemain dan directing
DRAMA TECHNIQUE
Jangan berharap film akan berhasil tanpa
unsur yang satu ini : drama. Banyak sekali elemen yang harus
diperhatikan dalam membuat tangga dramatik yang sesuai di setiap
scene,antara lain :
- Karakterisasi tokoh dan interpretasi naskah oleh pemain
- Memasukkan tokoh film ke dalam pemain agar menghasilkan inner acting (acting namun berasal dari hati, bukan hapalan)
- Memainkan intonasi dan emosi pada porsinya
- Memanfaatkan bloking dan pergerakan pemain untuk menghasilkan dimensi dan dramatik yang sesuai
- Memanfaatkan gesture untuk membuat stressing emosi
Tugas berat berikutnya dari seorang
sutradara adalah bagaimana merangkai seluruh adegan yang diambil secara
acak menjadi satu kesatuan cerita yang utuh.
‘one man show’ Dalam Teater
Dalam
perteateran, konsep tentang esensi tercermin melalui kecenderungan seniman
berpentas tunggal atau yang sering disebut dengan monolog, mono play, one man
play. Sebuah naskah monolog dicipta pengarang dengan tujuan dimainkan di atas
panggung. Pada awalnya monolog atau monologue merupakan bagian dari sebuah
naskah drama yang menampilkan seorang pemain bercakap seorang diri menyampaikan
pikiran dan perasaannya, bahkan terkadang sedang dalam kondisi berdialog dengan
tokoh lain. Namun dalam perkembangan waktu, istilah monolog mendapat
‘tandingan’ pengertian melalui istilah mono play, one man play, one man show,
serta teater tunggal.
Akibatnya,
konvensi monolog yang kita pahami saat ini kemudian harus didudukkan kembali,
dan harus berdialog dengan istilah-istilah tersebut yang sebenarnya merupakan
usaha seniman membuka ‘ruang’ dalam bentuk monolog. Elemen-elemen pemanggungan
pun berusaha diangkat ke permukaan agar memiliki harkat dan martabat yang
setara. Maka, penjelajahan wacana monolog pun tidak semata persoalan estetika,
namun juga etika penyetaraan, penampilan dan penghargaan terhadap elemen
pendukung panggung. Monolog berasal dari bahasa Yunani monos dan logos. Selama
ini ada anggapan bahwa monolog berbeda dengan mono play. Logos yang berarti
percakapan melalui kata-kata pun diganti dengan play, permainan.
Play
lebih diartikan sebagai permainan bersama spektakel yang berlandaskan pada
penyutradaraan, pemeranan, dan penataan artistik. Namun, apabila kita
menterjemahkan kembali kedua kata logos dan play, maka kita akan menemukan
bahwa keduanya mengandung pengertian tentang dialog. Dialog antar istilah pun
bergeser fungsinya menjadi ajang penyadaran. Wilayah pandang-dengar-gerak
teater setara dan dihargai sama dengan pikir-tulis-citraan sastra. Wilayah
panggung yang bersifat konkret ditampilkan bersama dengan sifat abstraknya.
Maka panggung monolog–apabila kita kembali pada istilah dasarnya–adalah
sintesis dari yang konkret dan yang abstrak, yang partikular dengan yang
universal, tubuh-pikiran-batin, spektakel. Apabila saat ini marak pertunjukan
monolog, apa yang dapat kita amati dari fenomena tersebut?.
Pertama,
silang sengkarut persoalan kesenian menyebabkan kita mencari penyederhanaan
yang memberi ruang bagi permenungan, kontemplasi. Hal ini menjadi salah satu
cara menghindari konflik yang terkadang telah mempribadi.
Kedua,
seniman kembali kepada fitrahnya yaitu menghasilkan sebuah karya seni
individual. Eksplorasi dan eksperimen secara individu diharapkan menghasilkan
etos kerja yang dihasilkan oleh laboratorium-laboratorium kesenian. Hal ini
merupakan usaha mengubah prinsip dan substansi untuk menyesuaikan dan
mempertahankan diri di era globalisasi. Dengan kata lain, kembali ke monolog
berarti kembali memahami diri sendiri, apa yang diinginkan, visi dan etos
kerja, serta semangat yang tak pernah padam dalam diri seniman.
Ketiga,
budaya kolektif atau yang sering disebut sebagai budaya nasional mulai
dipertanyakan. Kriteria nasional sering diartikan sebagai usaha pemusatan,
sehingga pemahaman monolog sebagai karya individual adalah dalam rangka
mengedepankan otonomi individu, minoritas, keterpinggiran, yang lain. Keempat,
pertunjukan monolog menjadi strategi menejemen dana dan struktur kerja: dana
lebih mudah ditekan, sosialisasi berlangsung lebih efektif dan efisien, serta
mis-komunikasi personal dapat lebih teratasi. Monolog tidak sekedar percakapan
tunggal, tetapi sekaligus perancangan tunggal yang diharapkan mampu
men-dialog-kan berbagai unsur pertunjukan.
Gaya penyutradaraan film ‘one man show’
gaya penyutradaraan film ‘one man show’ sebagai bukti kalau satu orang aktor bisa membawa penampilan menawan yang tidak kalah dari film yang punya banyak pemeran. Terlepas dari penokohan, kualitas dari aspek lain seperti cerita, penyutradaraan, hingga scoring tentu juga menjadi pelengkap (artistic properties) yang bikin film-film ini terlihat lebih bagus.
dalam film ‘one man show’ bukan berarti hanya 1 tokoh saja yang muncul tetapi memang benar ada banyak tokoh yang akan mengisi film ini tetapi bukan tokoh utama dan bukan pula tokoh penggerak alur cerita, melainkan hanya tokoh pengisi saja yang muncul di opening ataupun endingnya saja.
beberapa film yang masuk kategori film dengan gaya penyutradaraan ‘one man show’ adalah :
- Ryan Reynolds, Buried 2010
- Cast Away dibintangi aktor legendaris langganan Oscar, Tom Hanks. 2000
- recked (Adrien Brody) 2010
- All is Lost mendapat standing ovation di festival film Cannes. 2013
- Samuel L. Jackson 1408 ,; 2007
- Phone Booth ; Colin Farrell ;2002
- James Franco. 127 Hours ;2010
- Life Of Pi 2012
Sumber :
Yudiaryani, - (1998) Konvensi Pertunjukan Teater: Di Antara Gagasan-Panggung-Penonton. In: Pendidikan Dasar VIII Teater , Teater Lobby-Dua STPMD “APMD”Yogyakarta, 20 November 1998, Yogyakarta.
Cahya Surya Harsakya S.Sn., M.Sn. dalam perkuliahan Videografi dan Penyutradaraan Naskah Drama. 2018.
https://www.kincir.com/movie/cinema/film-minim-pemeran-kualitas-menawan.
Hartarto Junaedi#1, Mochamad Hariadi*2, I Ketut Eddy Purnama*3
#Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknologi Elektro Institut Sepuluh Nopember Surabaya
Jl. Teknik Mesin Gedung B,C, dan AJ. Kampus ITS, Sukolilo Surabaya 60111
1hartarto12@mhs.ee.its.ac.id
*Departemen Teknik Komputer Fakultas Teknologi Elektro Institut Sepuluh Nopember Surabaya
Jl. Teknik Mesin Gedung B dan C, Kampus ITS, Sukolilo Surabaya 60111.
D. Arijon, Grammar of the Film Language. Silman-James Press,
1991.
L. Canini, S. Benini, and R. Leonardi, ―Classifying cinematographic shot types,‖ Multimedia Tools and Applications, vol. 62, no. 1, pp. 51–73, Jan. 2013.
Q. Galvane, R. Ronfard, C. Lino, and M. Christie, ―Continuity editing for 3D animation,‖ in Proceedings of the Twenty-Ninth AAAI Conference on Artificial Intelligence, Austin, Texas, 2015, pp. 753–761.
B. Brown, Cinematography: Theory and Practice : Imagemaking for Cinematographers, Directors & Videographers. Focal Press, 2002.
J. Bennett and C. P. Carter, ―Adopting virtual production for animated filmaking,‖ in Creative Industries Faculty, Singapore, 2014.
M. K. Pratt, How to Analyze the Films of Quentin Tarantino. ABDO Publishing Company, 2011.
Q. Tarantino and G. Peary, Quentin Tarantino: Interviews. University Press of Mississippi, 1998.
P. Woods, Quentin Tarantino: the film geek files. Plexus, 2000.