Senin, 10 Februari 2014

Motif Sungging Dalam Warangka Keris

Motif Sungging Dalam Warangka Keris

I.                   Mitologi Motif Jawa.

Secara keseluruhan motif di Jawa mengacu pada unsur alam, masing-masing stilasi bentuk mempunyai falsafah yang sama, mulai dari kehidupan air, darat dan kehidupan udara. Menurut paham Triloka, yaitu faham dari kebudayaan Hindu, unsur-unsur kehidupan tersebut terbagi menjadi tiga bagian, meliputi Alam Atas, Alam tengah, dan Alam Bawah. Contoh dari ketiga tempat tersebut adalah: Burung melambang Alam Atas, Pohon melambangkan Alam Tengah, Ular melambangkan Alam Bawah (Susanto, 1973:2). Ornamen yang berhubungan dengan Alam Atas atau udara seperti garuda, kupu-kupu, lidah api, burung atau binatang-binatang terbang, merupakan tempat pada Dewa. Ornamen yang berhubungan dengan Alam Tengah atau daratan, meliputi pohon hayat, tumbuh-tumbuhan, meru, binatang darat, dan bangunan, merupakan tempat manusia hidup. Ornamen yang berhubungan dengan air; seperti perahu, naga (ular), dan binatang laut lainnya, merupakan Alam Bawah sebagai tempat orang yang hidupnya tidak benar (dur angkoro murko) (Susanto, 1973:235-237).  Ornamen-ornamen yang biasa ditampilkan ke dalam motif Semen, Sawat, dan motif Alas-alasan menurut Susanto (1973:235-237), dan Veldhuisen. (1988:28)adalah:
Sawat atau garuda, melambangkan matahari atau tata surya, kesaktian, dan keperkasaan Meru merupakan tempat Dewa melambangkan kehidupan dan kesuburan Pohon hayat, melambangkan kehidupan Lidah api melambangkan api, kesaktian, dan bakti Burung melambangkan umur panjang Binatang berkaki empat melambangkan keperkasaan dan kesaktian Kapal melambangkan cobaan Dampar atau tahta melambangkan keramat, tempat Raja Pusaka melambangkan wahyu, kegembiraan, dan ketenangan Naga melambangkan kesaktian dan kesuburan Kupu-kupu melambangkan kebahagiaan dan kemujuran.[1]
            Menurut Wiyoso Yudoseputro, motif yang sering digunakan di dalam batik mempunyai lambang tertentu, seperti:
a)      Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung tempat para Dewa
b)      Lidah api melambangkan api, Dewa Api, lambang yang sakti
c)      Barito melambangkan air, demikian juga binatang-binatang yang
d)     hidup di air, misalnya katak, ular, siput dan lain-lain
e)      Burung melambangkan Alam Atas atau udara
f)       Pohon melambangkan Alam Tengah
g)      Kupu-kupu melambangkan Alam Atas
h)      Pusaka melambangkan kegembiraan dan ketenangan
i)        Garuda melambangkan Matahari.
Bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan wilayah Alam (dalam falsafah Jawa), maka menjadi sebagai berikut:
Alam Bawah Alam Tengah Alam Atas
            Tabel Struktur 3 alam :
Alam Bawah
Alam Tengah
Alam Atas
a)  Perahu
b) Naga (ular)
c)  Binatang air lainnya.

a)    Pohon Hayat
b)   Meru
c)    Bangunan
d)   Binatang berkaki
e)    Empat
f)    Pusaka
g)   Binatang Darat lainnya.
a)  Garuda (Burung)
b) Kupu-kupu
c)  Lidah Api
d) Dampar
e)  Binatang Terbang lainnya.


            Burung pada Nekara pada awalnya menggambarkan roh. Dalam mitologi Hindu, Burung merupakan kendaraan Whisnu, sehingga dalam kesenian Hindu-Jawa Burung (Garuda) dilambangkan Matahari atau Rajawali yang berlawanan dengan ular yang menjadi lambang air dan Alam Bawah. Bila diperhatikan, Naga (Ular) melambangkan kesaktian dan kesuburan. Mengapa dalam pewayangan, ular ditempatkan di Alam Bawah sebagai tempat para durjana, tempat orang yang hidupnya tidak benar, dalam faham Jawa disebut dur angkoro murko. Penempatan Naga (Ular) di Alam Bawah bagi masyarakat Jawa merupakan pangruwating dur angkoro murko yaitu sebagai alat pencegah sifat durjana, jahat merusak Alam Tengah, tanpa memperhitungkan Alam Atas.[2]
            Pohon Hayat yang ditempatkan di Alam Tengah merupakan penghubung Alam Atas dan bawah. Pohon Hayat mempunyai ke-Esa-an tertinggi yang dapat disamakan dengan Brahmana (dalam agama Hindu) dan Tao (filsafat Cina), merupakan sumber semua kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran (Hoop. 1949: 274). Pohon Hayat digambarkan pula sebagai Gunungan, disebut juga kekayon dari perkataan kayu. Mula diarani kayon tegese, yaiku mujudake yen karepe manungso iku ora tetep, miturut apa kang dibutuhake . Bahwa yang dikatakan kekayon mempunyai arti karep (keinginan), yaitu menggambarkan keinginan manusia yang tidak tetap menurut apa yang dibutuhkannya (Sajid. 1958:150). Gunungan digambarkan sebagai hutan seisinya, ada binatang terbang, binatang darat, ular, dan air. Semua itu merupakan perlambangan Jagat Gede yang tergabung dari ketiga Alam. Gunungan di dalam motif digambarkan sebagai Gunung atau Mehru yaitu tempat kediaman Dewa. Mehru digambarkan sebagai puncak yang tinggi dengan dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan gunung.
            Maksud dari ornamen tersebut di atas adalah menggambarkan, bahwa kehidupan manusia tidak akan kekal dan penuh cobaan di Alam ini (Alam Tengah), apabila manusia di Alam Tengah berbuat salah akan mengakibatkan kesengsaraan (Alam Bawah). Namun apabila ia dapat mengendalikan diri untuk mencapai kebenaran maka ia akan mendapat kemuliaan (Alam Atas). Dapat disimbolkan bahwa manusia hidup tidak gampang, adakalanya sengsara, adakalanya mulya tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup dari manusia sendiri.

A.    Tabel 1. Mitologi Jawa dalam Motif
ORNAMEN
LAMBANG

Garuda
Matahari
x
x









Meru
Dewa


x






x

Dampar
Raja








x


Pusaka
Wahyu





x
x




Pohon Hayat


x








Lidah Api
x


x







Burung




x






Binatang Berkaki Empat
x
x









Kapal







x



Naga
x










Kupu-kupu





x




x


Kesaktian
Keperkasaan
Kehidupan


Kebaktian
Umur Panjang
Kebahagiaan
Ketenangan
Cobaan
Keramat
Kesuburan
Kemujuran







Dari table mitologi Jawa yang menjelaskan mengenai motif, menurut Van Der Hoop (1949: 170) menjelaskan mengenai ornament dan lambang yang dipercaya mempengaruhi kesaktian, keperkasaan, kehidupan, kebaktian, umur panjang, kebahagiaan, ketenangan, cobaan, keramat, kesuburan, dan kemujuran.  [3]. Matahari yang menyimbolkan kesaktian dan keperkasaan, sedangkan jika mengenai symbol ataupun motif pohon hayat mempunyai pengertian kehidupan. Pohon hayat sendiri mempunyai banyak makna karena di dalam pohon hayat di dalamnya memiliki berbagai penggambaran mengenai binatang.





Gambar 8:
Relief Pohon Hayat di Candi Prambanan .
Foto Doc. Cahya.S


B.     Motif Sungging Pada Warangka Keris
Penerapan motif sungging pada warangka keris yang berupa motif alas-alasan dan binatang menyerupai bentuk pada relief medallion di Candi Kidal. Salah satu contoh salah satu  penerapan motif  binatang dan tumbuhan pada sarung senjata tradisional di tanah Jawa, penerapan motif tersebut mengandung  filosofi kehidupan dari faham triloka. 



Gambar 9:
Keris Ladrang Gaya Surakarta dengan hiasan sunggingan pada warangkanya, bergambar motif hewan. Foto Doc. Cahya.S







Gambar 10:
Detail motif pada godongan Keris Ladrang Gaya Surakarta dengan hiasan sunggingan pada warangkanya, bergambar motif hewan. Foto Doc. Cahya.S

Perabot tosan aji yang terbuat dari kayu bertekstur keras dan berserat, selain hanya diplitur (dilapis pernis)  memiliki banyak cara untuk di babar (proses akhir) . Cara pembabarannya (proses akhir) dapat dilakukan dengan pemberian warna, misalnya kuning, coklat, hitam. Selain pemberian warna juga terdapat suatu teknik pelukisan warangka keris atau disebut teknik sungging.  Teknik Sungging atau lukisan pada perabot tosan aji penerapannya  tidak hanya pada warangka keris, melainkan landeyan tombak, warangka tombak, jlagrak, dan perabot lainnya.
Hal tersebut merupakan estetika atau keindahan tingkat tinggi. Sunggingan tersebut juga dapat digunakan sebagai tatanan derajad kedudukan pada zaman feodal. Tatanan tersebut dibedakan dari warna dasar atau motif lukisannya. Motif sungging banyak ragamnya, tetapi pada umumnya terdiri dari motif fauna ( hewan) dan flora (tumbuhan). Ada motif alas – alas an, modangan, kembang, dan maupun sungging symbol kerajaan.





Gambar 11:
Keris Ladrang Gaya Yogyakarta  dengan hiasan sunggingan pada warangkanya, bergambar motif burung. Foto Doc. Cahya.S

Ketentuan motif sungging pada keluarga keraton bagi pemakainya dibedakan sebagai berikut:
1.      Ageman (yang dipakai) raja: Warangka dibabar gebekan kemudian disungging dengan motif khusus dilengkapi pendok kemalo merah.
2.      Ageman pangeran putra dan pangeran cucu: warangka diberi dasar prada kuning emas kemudian disungging dengan motif khusus, dan dilengkapi dengan pendok kemalo merah.
3.      Ageman para abdi dalem berpangkat bupati: warangka diberi dasar warna putih kemudian disungging dengan dilengkapi pendok kemalo warna hijau.
4.      Ageman para abdi dalem penewu dan mantri : warangka diberi dasar warna hijau kemudian disungging dan tidak diperkenankan memakai pendok kemalo.
5.      Ageman para abdi dalem lurah dan tingkat dibawahnya: warangka diberi warna dasar biru kemudian disungging dan tidak diperkenankan  memakai pendok kemalo.[4]       
Dari penjelasan  ketentuan motif sungging pada keluarga keraton bagi pemakainya, menurut Prasida Wibawa, motif tidak hanya sebagai symbol tetapi merupakan penonjolan dari tingkatan status dan strata social masyarakat Jawa pada zaman tersebut. Hal ini sama dengan yang mengacu pada tabel mitologi Jawa yang menjelaskan mengenai motif, menurut Van Der Hoop. Segala bentuk motif dan symbol yang digambarkan baik itu berupa relief, sunggingan maupun yang terdapat pada kain (batik), semua merupakan hubungan manusia, alam seisinya dan  Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa). 


Kesimpulan
Pandangan Hidup Orang Jawa

            Kejawen merupakan pandangan hidup orang jawa yang didasari oleh sifat lahiriyah dan batiniyah, yaitu; Rela, Narimo, Temen, Sabar, dan Budi Luhur dengan rasa kekeluargaan dan kehormatan. Dalam hidupnya tidak harus ngoyo, sepadan, apa adanya, bersyukur dengan apa yang telah diberikan, dan bisa mengendalikan diri agar bisa bersifat adil sesemanya. Narimo ing pandum dan kalah keporo ngalah merupakan bagian dari darma baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk nandur kabecikan. Hal tersebut haruslah selaras antara lahir dan batin hingga akhirnya terwujud manunggaling kawulo Gusti. Dalam hidupnya, manusia mempunyai kasunyatan, yaitu asal-usul dan tujuan akhir manusia untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dan inilah yang dikatakan sangkan paraning dumadi.[5]
            Sifat lahiriah dan batiniah pada diri orang Jawa selalu dituangkan dalam karya-karyanya. Lukisan, bentuk dan penggambaran ornamen yang pada awalnya tercipta melalui meditasi (tapa) atau tirakat (mutih), yaitu penjernihan diri dan penyerahan diri terhadap Yang Maha Kuasa, guna menghasilkan karya besar dan berbobot secara visual maupun spiritual. Motif adat yang berkembang di dalam keraton merupakan pangejawantahan unsur-unsur alam ke dalam kehidupan orang Jawa. Kehidupan sebagaimana dijalankan manusia sebagai kawulane Gusti, seperti Pancasila orang Jawa, tergambar pada bagan sebagai berikut:





Tabel Van Der Hoop. 1949, Alur kehidupan Falsafah Orang Jawa.

            Motif unsur alam yang memanfaatkan unsur-unsur alam, sebagai unsur motif seperti burung, binatang berkaki empat, ular, bunga, kupu-kupu, bangunan, perahu, karang, arah mata angin, dan sebagainya. Beberapa unsur alam tersebut kalau dikelompokkan menjadi tiga bagian menurut pengertian wilayah alam. Burung, kupu-kupu, dan sejenisnya merupakan penguasa Alam Atas, sebagai tempat para Dewa (Tuhan). Binatang berkaki empat, bunga, dan sebagainya adalah menggambarkan Alam Tengah, merupakan tempat hidup manusia. Sedang ular, perahu, dan sebagainya menggambarkan Alam Bawah, yaitu tempat kehidupan yang tidak benar. Maksud dari ketiga wilayah keduniaan tersebut adalah sebagai peringatan kepada manusia, bahwa dalam hidupnya harus berbakti kepada Yang Maha Kuasa dan berhati sumeleh dalam menjalankan hidupnya. Apabila dalam hidupnya tidak benar, tentunya akan menemukan kesengsaraan pada dirinya. Maka untuk mencapai hidup yang tenteram dan damai harus selalu ingat pada Yang Maha Kuasa, saling menghormati dan menghargai sesamanya, sehingga tercermin manunggaling kawulo Gusti.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Archipelago1995, Monthly Tourism Magazine, First Edition.
E. Martasudjita. 1998, Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.
Jan Fontein, R. Soekmono, Edi Sedyawati. 1990. Sculptured of Indonesia, National Gallery of Art, ISBN 0-89468-141-9.
Kawindrosusanto, Kuswadji. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Tata Rias dan Busana Tari Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Moelyono, S. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Djambatan. Dinas Pariwisata Daerah Tk. I Jawa Timur 1992, 700 Tahun Majapahit.
Nagoro, Hardjo Krt. 1988. Sekapur Sirih tentang Pola Batik, Malam batik, Pola, dan Pesona. Surakarta: UNS Press.
Prasida Wibawa, 2008.  Pesona Tosan Aji.  Gramedia Pustaka Utama,  Jakarta.
Ranggawarsita, R. Ng. Winter Sr. C.F. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sajid. R.R. 1968. Bauwarna Wayang (Jilid I): Keterangan lan Rinenggo ing Gambar-gambar. Surakarta: Widya Duta.
Sulyom, Garrett dan Bronwer. 1984. Fabric Traditions at Indonesia. Washington: Woshington State University Press.
Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninkligk: Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen.
W. L .Jenkins, 1952.B, Fritz, Dorothy. The Use of Symbolism in Christian Education. United States of America: McmlXI.



[1] Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam Hal. 135.
[2]  BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003Hal. 136. Van Der Hoop (1949: 166-178).
[3] Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninkligk: Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen. Hal. 166-178.
[4] Prasida Wibawa,2008.  Hal 20. 
[5]  BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003. Hal. 138.
[6]  BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003.Hal. 140


Festival Keraton Nusantara 2019 Luwu Palopo

   Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII tahun 2019 Tana Luwu . Festival Keraton Nusantara atau FKN adalah sebuah pameran...