Motif Sungging Dalam Warangka Keris
I.
Mitologi
Motif Jawa.
Secara
keseluruhan motif di Jawa mengacu pada
unsur alam, masing-masing stilasi bentuk
mempunyai falsafah yang sama, mulai dari kehidupan air, darat dan kehidupan
udara. Menurut paham Triloka, yaitu faham dari kebudayaan Hindu, unsur-unsur
kehidupan tersebut terbagi menjadi tiga bagian, meliputi Alam Atas, Alam
tengah, dan Alam Bawah. Contoh dari ketiga tempat tersebut adalah: Burung
melambang Alam Atas, Pohon melambangkan Alam Tengah, Ular melambangkan Alam
Bawah (Susanto, 1973:2). Ornamen yang berhubungan dengan Alam Atas atau udara
seperti garuda, kupu-kupu, lidah api, burung atau binatang-binatang
terbang, merupakan tempat pada Dewa. Ornamen yang berhubungan dengan Alam
Tengah atau daratan, meliputi pohon hayat, tumbuh-tumbuhan, meru,
binatang darat, dan bangunan,
merupakan tempat manusia hidup. Ornamen yang berhubungan dengan air; seperti
perahu, naga (ular), dan binatang laut lainnya, merupakan Alam Bawah sebagai
tempat orang yang hidupnya tidak benar (dur angkoro murko) (Susanto,
1973:235-237). Ornamen-ornamen yang biasa ditampilkan ke dalam motif
Semen, Sawat, dan motif Alas-alasan menurut Susanto (1973:235-237), dan
Veldhuisen. (1988:28)adalah:
Sawat atau
garuda, melambangkan matahari atau tata surya, kesaktian, dan keperkasaan Meru merupakan tempat Dewa melambangkan
kehidupan dan kesuburan Pohon hayat, melambangkan kehidupan Lidah api
melambangkan api, kesaktian, dan bakti Burung melambangkan umur panjang Binatang
berkaki empat melambangkan keperkasaan dan kesaktian Kapal melambangkan cobaan Dampar
atau tahta melambangkan keramat, tempat Raja Pusaka melambangkan wahyu,
kegembiraan, dan ketenangan Naga melambangkan kesaktian dan kesuburan Kupu-kupu
melambangkan kebahagiaan dan kemujuran.[1]
Menurut
Wiyoso Yudoseputro, motif yang sering digunakan di dalam batik mempunyai
lambang tertentu, seperti:
a) Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung tempat para
Dewa
b) Lidah api melambangkan api, Dewa Api, lambang yang
sakti
c) Barito melambangkan air, demikian juga
binatang-binatang yang
d) hidup di air, misalnya katak, ular, siput dan
lain-lain
e) Burung melambangkan Alam Atas atau udara
f) Pohon melambangkan Alam Tengah
g) Kupu-kupu melambangkan Alam Atas
h) Pusaka melambangkan kegembiraan dan ketenangan
i)
Garuda melambangkan Matahari.
Bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan
wilayah Alam (dalam falsafah Jawa), maka
menjadi sebagai berikut:
Alam Bawah Alam Tengah Alam Atas
Tabel
Struktur 3 alam :
Alam Bawah
|
Alam Tengah
|
Alam Atas
|
a) Perahu
b) Naga (ular)
c) Binatang air lainnya.
|
a) Pohon Hayat
b) Meru
c) Bangunan
d) Binatang berkaki
e) Empat
f) Pusaka
g) Binatang Darat lainnya.
|
a) Garuda (Burung)
b) Kupu-kupu
c) Lidah Api
d) Dampar
e) Binatang Terbang lainnya.
|
Burung
pada Nekara pada awalnya menggambarkan roh. Dalam mitologi Hindu, Burung
merupakan kendaraan Whisnu, sehingga dalam kesenian Hindu-Jawa Burung (Garuda) dilambangkan
Matahari atau Rajawali yang berlawanan dengan ular yang menjadi lambang air dan
Alam Bawah. Bila diperhatikan, Naga (Ular) melambangkan kesaktian dan
kesuburan. Mengapa dalam pewayangan, ular ditempatkan di Alam Bawah sebagai tempat
para durjana, tempat orang yang hidupnya tidak benar, dalam faham Jawa disebut dur
angkoro murko. Penempatan Naga (Ular) di Alam Bawah bagi masyarakat Jawa
merupakan pangruwating dur angkoro murko yaitu sebagai alat pencegah
sifat durjana, jahat merusak Alam Tengah, tanpa memperhitungkan Alam Atas.[2]
Pohon
Hayat yang ditempatkan di Alam Tengah merupakan penghubung Alam Atas dan bawah.
Pohon Hayat mempunyai ke-Esa-an tertinggi yang dapat disamakan dengan Brahmana
(dalam agama Hindu) dan Tao (filsafat Cina), merupakan sumber semua kehidupan,
kekayaan, dan kemakmuran (Hoop. 1949: 274). Pohon Hayat digambarkan pula
sebagai Gunungan, disebut juga kekayon dari perkataan kayu. Mula diarani
kayon tegese, yaiku mujudake yen karepe manungso iku ora tetep, miturut
apa kang dibutuhake . Bahwa yang dikatakan kekayon mempunyai arti karep
(keinginan), yaitu menggambarkan keinginan manusia yang tidak tetap menurut apa
yang dibutuhkannya (Sajid. 1958:150). Gunungan digambarkan sebagai hutan
seisinya, ada binatang terbang, binatang darat, ular, dan air. Semua itu
merupakan perlambangan Jagat Gede yang tergabung dari ketiga Alam. Gunungan di
dalam motif digambarkan sebagai Gunung atau Mehru yaitu tempat kediaman Dewa.
Mehru digambarkan sebagai puncak yang tinggi dengan dikelilingi oleh
tumbuh-tumbuhan gunung.
Maksud
dari ornamen tersebut di atas adalah menggambarkan, bahwa kehidupan manusia
tidak akan kekal dan penuh cobaan di Alam ini (Alam Tengah), apabila manusia di
Alam Tengah berbuat salah akan mengakibatkan kesengsaraan (Alam Bawah). Namun
apabila ia dapat mengendalikan diri untuk mencapai kebenaran maka ia akan
mendapat kemuliaan (Alam Atas). Dapat disimbolkan bahwa manusia hidup tidak gampang,
adakalanya sengsara, adakalanya mulya tergantung dari perbuatan dan
pengendalian hidup dari manusia sendiri.
A. Tabel 1. Mitologi Jawa dalam Motif
ORNAMEN
|
LAMBANG
|
|||||||||||
Garuda
|
Matahari
|
x
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Meru
|
Dewa
|
|
|
x
|
|
|
|
|
|
|
x
|
|
Dampar
|
Raja
|
|
|
|
|
|
|
|
|
x
|
|
|
Pusaka
|
Wahyu
|
|
|
|
|
|
x
|
x
|
|
|
|
|
Pohon Hayat
|
|
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lidah Api
|
x
|
|
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Burung
|
|
|
|
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
Binatang Berkaki Empat
|
x
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kapal
|
|
|
|
|
|
|
|
x
|
|
|
|
|
Naga
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kupu-kupu
|
|
|
|
|
|
x
|
|
|
|
|
x
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dari table mitologi Jawa yang menjelaskan mengenai
motif, menurut Van Der Hoop (1949: 170) menjelaskan mengenai ornament dan
lambang yang dipercaya mempengaruhi kesaktian, keperkasaan, kehidupan,
kebaktian, umur panjang, kebahagiaan, ketenangan, cobaan, keramat, kesuburan,
dan kemujuran. [3].
Matahari yang menyimbolkan kesaktian dan keperkasaan, sedangkan jika mengenai
symbol ataupun motif pohon hayat mempunyai pengertian kehidupan. Pohon hayat
sendiri mempunyai banyak makna karena di dalam pohon hayat di dalamnya memiliki
berbagai penggambaran mengenai binatang.
Gambar
8:
Relief
Pohon Hayat di Candi Prambanan .
Foto
Doc. Cahya.S
B. Motif Sungging Pada Warangka
Keris
Penerapan motif sungging pada warangka keris yang
berupa motif alas-alasan dan binatang menyerupai bentuk pada relief medallion
di Candi Kidal. Salah satu contoh salah satu
penerapan motif binatang dan
tumbuhan pada sarung senjata tradisional di tanah Jawa, penerapan motif
tersebut mengandung filosofi kehidupan
dari faham triloka.
Gambar
9:
Keris
Ladrang Gaya Surakarta dengan hiasan sunggingan pada warangkanya, bergambar
motif hewan. Foto Doc. Cahya.S
Gambar
10:
Detail
motif pada godongan Keris Ladrang
Gaya Surakarta dengan hiasan sunggingan pada warangkanya, bergambar motif
hewan. Foto Doc. Cahya.S
Perabot tosan aji yang terbuat dari kayu bertekstur
keras dan berserat, selain hanya diplitur (dilapis pernis) memiliki banyak cara untuk di babar (proses
akhir) . Cara pembabarannya (proses akhir) dapat dilakukan dengan pemberian
warna, misalnya kuning, coklat, hitam. Selain pemberian warna juga terdapat
suatu teknik pelukisan warangka keris atau disebut teknik sungging. Teknik Sungging atau lukisan pada perabot
tosan aji penerapannya tidak hanya pada
warangka keris, melainkan landeyan tombak, warangka tombak, jlagrak, dan
perabot lainnya.
Hal tersebut merupakan estetika atau keindahan
tingkat tinggi. Sunggingan tersebut juga dapat digunakan sebagai tatanan
derajad kedudukan pada zaman feodal. Tatanan tersebut dibedakan dari warna
dasar atau motif lukisannya. Motif sungging banyak ragamnya, tetapi pada
umumnya terdiri dari motif fauna ( hewan) dan flora (tumbuhan). Ada motif alas
– alas an, modangan, kembang, dan maupun sungging symbol kerajaan.
Gambar
11:
Keris
Ladrang Gaya Yogyakarta dengan hiasan
sunggingan pada warangkanya, bergambar motif burung. Foto Doc. Cahya.S
Ketentuan motif sungging pada keluarga keraton bagi
pemakainya dibedakan sebagai berikut:
1.
Ageman (yang dipakai) raja: Warangka dibabar
gebekan kemudian disungging dengan motif khusus dilengkapi pendok kemalo merah.
2.
Ageman pangeran putra dan pangeran cucu: warangka
diberi dasar prada kuning emas kemudian disungging dengan motif khusus, dan
dilengkapi dengan pendok kemalo merah.
3.
Ageman para abdi dalem berpangkat bupati:
warangka diberi dasar warna putih kemudian disungging dengan dilengkapi pendok
kemalo warna hijau.
4.
Ageman para abdi dalem penewu dan mantri :
warangka diberi dasar warna hijau kemudian disungging dan tidak diperkenankan
memakai pendok kemalo.
5.
Ageman para abdi dalem lurah dan tingkat
dibawahnya: warangka diberi warna dasar biru kemudian disungging dan tidak
diperkenankan memakai pendok kemalo.[4]
Dari penjelasan
ketentuan motif sungging pada keluarga keraton bagi pemakainya, menurut Prasida Wibawa, motif tidak hanya sebagai symbol
tetapi merupakan penonjolan dari tingkatan status dan strata social masyarakat
Jawa pada zaman tersebut. Hal ini sama dengan yang mengacu pada tabel mitologi
Jawa yang menjelaskan mengenai motif, menurut Van Der Hoop. Segala bentuk motif
dan symbol yang digambarkan baik itu berupa relief, sunggingan maupun yang
terdapat pada kain (batik), semua merupakan hubungan manusia, alam seisinya
dan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).
Kesimpulan
Pandangan Hidup Orang Jawa
Kejawen
merupakan pandangan hidup orang jawa yang didasari oleh sifat lahiriyah dan
batiniyah, yaitu; Rela, Narimo, Temen, Sabar, dan Budi Luhur dengan rasa
kekeluargaan dan kehormatan. Dalam hidupnya tidak harus ngoyo, sepadan,
apa adanya, bersyukur dengan apa yang telah diberikan, dan bisa mengendalikan
diri agar bisa bersifat adil sesemanya. Narimo ing pandum dan kalah
keporo ngalah merupakan bagian dari darma baktinya kepada Tuhan Yang Maha
Esa untuk nandur kabecikan. Hal tersebut haruslah selaras antara lahir
dan batin hingga akhirnya terwujud manunggaling kawulo Gusti. Dalam
hidupnya, manusia mempunyai kasunyatan, yaitu asal-usul dan tujuan akhir
manusia untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dan inilah yang dikatakan sangkan
paraning dumadi.[5]
Sifat
lahiriah dan batiniah pada diri orang Jawa selalu dituangkan dalam
karya-karyanya. Lukisan, bentuk dan penggambaran ornamen yang pada awalnya tercipta melalui meditasi (tapa) atau tirakat (mutih), yaitu penjernihan diri dan penyerahan diri terhadap Yang Maha
Kuasa, guna menghasilkan karya besar dan berbobot secara visual maupun spiritual.
Motif adat yang berkembang di dalam keraton merupakan pangejawantahan
unsur-unsur alam ke dalam kehidupan orang Jawa. Kehidupan sebagaimana
dijalankan manusia sebagai kawulane Gusti, seperti Pancasila orang Jawa,
tergambar pada bagan sebagai berikut:
Tabel Van Der Hoop. 1949, Alur kehidupan Falsafah Orang
Jawa.
Motif
unsur alam yang memanfaatkan unsur-unsur alam, sebagai unsur motif seperti
burung, binatang berkaki empat, ular, bunga, kupu-kupu, bangunan, perahu,
karang, arah mata angin, dan sebagainya. Beberapa unsur alam tersebut kalau
dikelompokkan menjadi tiga bagian menurut pengertian wilayah alam. Burung,
kupu-kupu, dan sejenisnya merupakan penguasa Alam Atas, sebagai tempat
para Dewa (Tuhan). Binatang berkaki empat, bunga, dan sebagainya adalah
menggambarkan Alam Tengah, merupakan tempat hidup manusia. Sedang ular,
perahu, dan sebagainya menggambarkan Alam
Bawah, yaitu tempat kehidupan yang tidak benar. Maksud dari ketiga wilayah
keduniaan tersebut adalah sebagai peringatan kepada manusia, bahwa dalam
hidupnya harus berbakti kepada Yang Maha Kuasa dan berhati sumeleh dalam
menjalankan hidupnya. Apabila dalam hidupnya tidak benar, tentunya akan
menemukan kesengsaraan pada dirinya. Maka untuk mencapai hidup yang tenteram
dan damai harus selalu ingat pada Yang Maha Kuasa, saling menghormati dan menghargai
sesamanya, sehingga tercermin manunggaling kawulo Gusti.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Archipelago1995,
Monthly Tourism Magazine, First Edition.
E.
Martasudjita. 1998, Memahami
Simbol-simbol dalam Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.
Jan Fontein,
R. Soekmono, Edi Sedyawati. 1990. Sculptured of Indonesia, National
Gallery of Art, ISBN
0-89468-141-9.
Kawindrosusanto,
Kuswadji. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Tata Rias dan Busana
Tari Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Moelyono, S.
1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Djambatan. Dinas Pariwisata
Daerah Tk. I Jawa Timur 1992, 700 Tahun Majapahit.
Nagoro,
Hardjo Krt. 1988. Sekapur Sirih tentang Pola Batik, Malam batik, Pola, dan
Pesona. Surakarta: UNS Press.
Prasida Wibawa, 2008.
Pesona Tosan Aji. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ranggawarsita,
R. Ng. Winter Sr. C.F. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Sajid. R.R.
1968. Bauwarna Wayang (Jilid I): Keterangan lan Rinenggo ing Gambar-gambar.
Surakarta: Widya Duta.
Sulyom,
Garrett dan Bronwer. 1984. Fabric Traditions at Indonesia. Washington:
Woshington State University Press.
Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven.
Koninkligk: Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen.
W. L .Jenkins, 1952.B, Fritz, Dorothy. The
Use of Symbolism in Christian Education. United States of America: McmlXI.
[3] Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninkligk:
Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen. Hal. 166-178.